Share

Bertemu Harshad

“Mampus gue, lari Anya! Lari cepetan!” gumam Anya merasa ada yang tidak beres dengan dua orang laki-laki yang memanggilnya. Sudah cukup orang-orang sekelilingnya menatap heran baju handuknya, jangan tambah lagi adegan kejar-kejaran ini.

Anya berlari meninggalkan mesin kopi yang dia jadikan tempat berpikir tadi. Melewati beberapa orang yang berjalan tak beraturan membuat lari Anya sedikit terganggu. Dia menabrak seseorang hingga hampir terjatuh.

“Oh, i’m sorry, i’m sorry,” ucap Anya sembari mengatupkan kedua tangannya. Orang yang dia tabrak tak mengatakan banyak hal, hanya sedikit sinis menatapnya.

Tak membuang waktu, Anya kembali berlari. Bodoamat lah urusan perempuan yang dia tabrak tadi, toh dia juga sudah meminta maaf. Yang harus dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan diri dari dua orang yang sedang gencar-gencarnya mengejar dia.

Dia tidak tau ada urusan apa sebenarnya laki-laki yang dipanggil tuan itu dengan dirinya. Dia saja tidak mengenal mereka, tidak terkecuali. Dia bisa bela diri, tapi kalau musuhnya banyak dan laki-laki semua yah dia bisa pingsan di tempat.

“Gilak, aku salah apa, Oh Tuhan?” gumam Anya berbisik, dia mengatur nafas lagi setelah menemukan tempat untuk bersembunyi. Dia duduk di samping sebuah toko pakaian, tempat yang nyaman untuk bersembunyi.

Anya mendongak sebentar lalu melihat barang yang sejak tadi sudah ada di tangannya. Sikat gigi, benda itu menjadi saksi bisu atas semua kejadian hari ini.

“Kenapa dari tadi pagi kerjaan gue cuma dikejar-kejar orang mulu? Tadi pagi anak buahnya Harshad, sekarang orang-orang gila itu,” batinnya berbicara. “Tapi setidaknya anak buah Harshad nggak gila kek mereka, apa gue langsung ke kantor polisi aja ya? Laporin mereka?”

Oke, itu ide bagus Anya. Otakmu memang tidak pernah mengecewakan. Semangat. Suara hati Anya bergembira, dia tersenyum lagi sebelum beranjak dari tempatnya bersembunyi.

“Ahhh,” pekik Anya, tangannya ditarik paksa oleh kedua orang yang tadi mengejarnya. Ternyata mereka tau kalau Anya bersembunyi di sana, tapi mereka tak langsung menangkapnya. “I don’t have problem with you,” ucap Anya.

“Iya benar, nona. Sebenarnya kita juga tidak punya masalah dengan anda, tapi karena anda kabur semalam, maka sekarang anda punya masalah dengan kami,” jawab salah satu dari mereka.

"Weh, apa aku salah? Kalian mau melecehkan aku, normalnya aku harus melindungi diri dong,” kata Anya menjadi menuntut. Ini bukan seperti sebuah penculikan, kenapa gadis itu tidak ada takut-takutnya, malah seolah seperti sedang tawar-menawar.

“Silahkan jelaskan pada tuan kami,” jawab mereka lagi.

“Enggak, aku nggak mau!” kata Anya menendang kaki mereka satu persatu bergantian dan memilih lari lagi.

“What the fu*k, kapan sih capeknya?” umpat seseorang.

Ini memang sebuah masalah, seharusnya dia tidak kabur, tapi diakan hanya berusaha melindungi diri, apa yang salah dengan melindungi diri?

“Oh God, Anya belum sarapan Tuhan, masa udah suruh lari-lari gini?” Anya menoleh melihat musuhnya. Setidaknya di sini lebih ramai dari pada tempat tadi. Kemungkinan menemukan dirinya jadi semakin kecil.

“Sini!” tangan Anya ditarik seseorang sambil mulutnya dibungkam.

***

Ketika bukan weekend, mayoritas taman hiburan dan pusat perbelanjaan akan sepi. Sama juga di sini, Harshad selalu meminta hari libur yang tidak sama dengan orang lain agar bisa menikmati semuanya sendirian.

Dia meminta kunci mobil pada Bryan, dan meminta Bryan menggantikan semua tugasnya hari ini. Ini bukan hari libur Harshad, tapi dia ingin mengosongkan pikirannya. Bahkan saat dia berada di taman, dia hanya duduk sambil meminum kopi yang dia beli di kantor tadi.

Tapi ada hal yang mengganggu penglihatannya saat pulang. Dia melihat seseorang yang dia kenal, Harshad menghentikan mobilnya di tepi jalan dan menyebrang untuk menghampiri perempuan tersebut.

“Sini!” Harshad menarik tangan perempuan yang tadi malam tidur di ranjangnya. Dia membungkam mulut gadis itu agar tidak berteriak, Harshad sudah mengira kalau perempuan itu akan berteriak karena dia paksa.

“Kenapa lo lagi sih? Elo kan yang nyuruh mereka?” ucap Anya. Dia menunjuk wajah Harshad. Laki-laki yang mengenakan kacamata hitam tersebut melepas kasar kacamatanya.

“Elo tuh anak siapa sih? Kenapa pikiran lo isinya cuma hal buruk, hah?” jawab Harshad setelah tersenyum sinis. Dia ingat kata dokter tadi malam. Kalau Anya tidak hanya terpengaruh alkohol, tetapi juga obat tidur. Apalagi setelah dia mendengar kabar dari Bryan kalau perempuan ini kabur dari Arnold, pasti ada yang tidak beres.

“Anaknya emak gue lah, masa anak lo,” balas Anya. Dia berjalan meninggalkan Harshad. Alis Harshad menyatu, bingung menatap perempuan di depannya ini.

“Heh, mau kemana lo?”

“Serah gue dong, kenapa? Lo mau ikut?”

“Dasar cewek gila, elu tau nggak, kalau lu dikejar anak buahnya Arnold?” tanya Harshad sedikit frustasi, dia menarik tangan Anya agar berhenti berjalan dan menatapnya.

“Gue tau makanya gue lari, gue kabur.” Jawaban Anya membuat Harshad mengusap pelan wajahnya. Jawaban yang asal bagi Anya, dia tidak tau siapa itu Arnold, tapi ya sudahlah. Daripada dia bersama Harshad. 

“Gobloknya elu, sekarang ngapain coba lu kabur dari apartemen gue? Hah?” ucap Harshad sedikit teriak, Anya menatapnya bingung. “Kalo lu sekarang ada disana, kaga mungkin tuh mereka nemuin elu,” lanjut Harshad. Kening Anya berkerut.

“Lah kenapa elu yang sewot sekarang?” dan untuk kesekian kalinya, Harshad benar-benar ingin menelan hidup-hidup perempuan di depannya ini. “Ish, ya gue takut lah, gue kaga kenal elu juga,” tambah Anya sedikit berbisik.

“Lu ya.” Harshad tak jadi meneruskan ucapannya karena mendengar nama Anya dipanggil seseorang. Alisnya bertaut, nalurinya sebagai laki-laki keluar, memasang tubuhnya untuk menutupi Anya, berpura-pura menciumnya.

Awalnya Anya ingin menjitak kepala Harshad, tapi telinganya mendengar sesuatu yang tidak beres. Akhirnya dia diam dan menurut pada apa yang dilakukan Harshad. Mata Anya menatap  Harshad sebentar, laki-laki yang mengenakan jas navy itu tak menatapnya sama sekali, memang jika orang lain melihat mereka, pasti mengira kalau mereka sedang berciuman.

Tapi sebenarnya Harshad menggunakan ibu jarinya sebagai batasan antara bibirnya dan Anya. Jiwa sehat Anya memberontak, dia ingin menendang Harshad kalau saja keselamatan dia bukan ada di tangan Harshad sekarang.

“Anya!” mata Harshad membulat setelah mengetahui siapa yang tadi memanggil Anya, dia segera menarik Anya menjauh dari tempat yang tadi dia anggap aman.

Harshad melepaskan jas dan memakaikan jas itu pada tubuh Anya, setidaknya ada sedikit penyamaran. Juga satu lagi, kacamata hitamnya juga dia berikan pada Anya.

Dia membukakan pintu mobil sembari menelisik keadaan sekitar, dia tau betul kalau musuh bebuyutannya itu sudah turun tangan, pasti sesuatu yang dia cari bukanlah orang sembarangan.

“Ish, pelan-pelan ngapa? Kaga ada alus-alusnya sama sekali deh,” gerutu Anya. Dia menatap Harshad yang memutari mobil menuju kursi kemudi. “Lama-lama gue gila, dari tadi ngomong sendiri mulu,” gumam Anya kemudian.

“Ngomong apa lu?” tanya Harshad mulai melajukan mobilnya meninggalkan area taman. “Kenapa lu bisa sampe sini sih?” dengus Harshad.

“Ya gue pengen bebas dong, ngapain coba gue di rumah lu, kenal elu aja kaga,” balas Anya sewot.

“Dih, ya kali gue mau nyimpen elu di rumah gue, elo boleh keluar dari rumah gue semau lu bego, tapi seenggaknya pakek baju lo!” tambah Harshad.

Anya langsung terdiam, pukulan telak oleh Harshad. Dia melirik Harshad sebentar sebelum akhirnya memilih fokus pada jalanan di depannya.

“Mana masih bawa sikat gigi gue lagi,” gumam Harshad. Anya hanya melotot pada Harshad, tapi tak mengucapkan apapun. Nah, ini baru sifat Harshad yang sebenarnya, pikir Anya tidak mungkin Harshad memperhatikannya. Pasti karena sesuatu, dan feelingnya benar, ini gara-gara dia membawa kabur sikat gigi dari rumahnya

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status