Share

Mall

Sedari mereka keluar dari area taman, alis Harshad terus menyatu. Dia diam sembari fokus pada kemudinya. Anya tidak merasa bersalah, karena dia tidak melakukan apapun, normalnya seseorang yang tinggal di rumah orang yang tidak dia kenal, ya harus pergi setelah sadar.

"Mau ngapain kesini?” tanya Anya, Harshad diam saja dan masih fokus mencari tempat parkir untuk mobil kesayangannya ini. “Heh, gue tanya mau ngapain kita kesini?”

“Ya coba lo pikir sendiri, masa iya gue kesini mau main badminton,” jawab Harshad sedikit ketus. Dia keluar dari mobil mengabaikan Anya yang juga ikut bersungut-sungut.

“Astaga, gue mimpi apaan ya?” dengus Anya. Anya melingkarkan tangannya di depan dada. Ingin tau apa yang dilakukan Harshad kalau dia tidak turun.

Laki-laki bermarga Akandra tersebut menoleh karena tak ada suara langkah ataupun suara bising ocehan Anya. Bibir Harshad terangkat sebelah, dia geram tapi ingin tertawa.

“Turun cepetan!” pintanya.

“Nggak mau,” jawab Anya memalingkan wajah.

“Turun nggak lu?”

“Kagak!” Harshad kembali mendekat dan membuat Anya sedikit bangga, dia membusungkan dadanya sambil masih memasang wajah cuek.

“Terserah elu,” ucap Harshad membuka pintu mobil lalu menutupnya kembali dan mengunci mobil tersebut dari smartkey nya. Mata Anya langsung membulat.

“Woi, eh elu gila ya?” teriak Anya yang tidak terlalu didengar oleh Harshad. Harshad berdiri diam tak jauh dari mobilnya. Mencari ponsel dan memanggil seseorang. “Lo mau bunuh anak orang?”

Tanpa mempedulikan teriakan Anya, dia menekan smartkey mobilnya. Dan terbukalah pintu mobil berwarna hitam tersebut. Sambil bersungut Anya keluar dari mobil menghampiri Harshad.

Sejak keluarnya Anya, perempuan tersebut terus-terusan mengomel. Walaupun masih ikut berjalan mengikuti Harshad dari belakang.

“Ssshhhh, lu bisa diem kaga? Kuping gue panas denger lu ngoceh mulu dari tadi,” ucap Harshad. Dia menghentikan langkah, mereka sampai di depan sebuah toko pakaian. “Sana ganti baju!” tambah Harshad dengan tatapan elang miliknya.

Anya nyelonong masuk aja tanpa memperhatikan lagi sedang ngapain laki-laki yang membawanya kesini. Di dalam, mulutnya menganga kecil, “Waaah, ternyata gue diajak ke toko mahal,” gumam Anya. Dia terkikik kecil, dan melanjutkan mencari pakaian.

Dia tau itu baju mahal karena melihat bandrol harga yang menggantung di setiap pakaian. Yang diharapkan Anya hanya satu sekarang, semoga saja Harshad tidak meminta ginjal atau hatinya sebagai imbalan dari belanja pakaian ini.

***

Bryan duduk berkonsentrasi di meja kerjanya, berusaha menganalisis apa yang terjadi baru-baru ini. Tentang ketidaksengajaan tuan mudanya membawa pulang seorang gadis, hingga bagaimana ternyata gadis itu adalah seseorang yang mungkin akan berpengaruh pada tuan muda kedepannya.

“Selamat siang, tuan,” ucap seseorang yang berdiri di depan pintu.

“Iya, Doni,” jawab Bryan. Dia meletakkan dokumen yang ada di tangannya.

"Maaf, tuan. Saya sudah mengetuk pintu, tapi mungkin anda tidak mendengar,” tambah Doni.

“Iya, sepertinya.” Doni mendekat ke meja Bryan.

“Apa ada yang mengganggu pikiran anda?” tanya Doni, Bryan menatap Doni sekilas, lalu berpikir.

“Ada, tapi aku tidak bisa menceritakan masalah ini padamu,” balas Bryan. Doni mengangguk paham dan menyerahkan map yang ada di tangannya. “Kami membutuhkan tanda tangan ketua, tuan,” imbuh Doni.

“Iya, tinggalkan saja di sini, nanti aku sampaikan.” Bryan kembali mengutik-utik komputernya, dia tidak melihat Doni pergi, Doni adalah orang yang berpengaruh pada perusahaan setelah dirinya, mungkin saja Doni bisa dia percayai untuk mencari identitas dan apa hubungan perempuan itu dengan musuh besar bosnya.

Tapi Bryan punya prinsip. Walaupun orang terdekatnya, dia tidak bisa mempercayakan apapun pada orang lain. Maka dari itu, dia tidak langsung memberi tau sekretaris kedua tuan Harshad tersebut.

***

Harshad menatap keramaian di sekitarnya. Ada rasa tidak nyaman, tapi memang dia tidak bisa melakukan apapun karena Bryan sedang tak bersamanya. Lagipula kartu hitam ajaibnya juga sepertinya tidak dia bawa. Jadi dia tak bisa memboking toko.

Dia melirik jam tangannya sekilas, sudah tiga puluh menit Anya di dalam sana. Karena bosan, Harshad berdiri masuk ke dalam toko. Dia merasa aneh masuk toko pakaian perempuan, bahkan ibunya saja jarang mengajaknya masuk ke dalam toko kalau sedang berbelanja.

Harshad sendiri tak tau mengapa dia malas masuk toko saat berbelanja. “Apa sih yang dia cari?” gumam Harshad. Berjalan melewati rak kaca berisi pakaian.

“Oh shit,” umpat Harshad pelan. Dia lihat Anya sedang membenarkan resleting punggungnya dibantu oleh penjaga toko. Sebelum Anya mengetahui keberadaannya dia harus pergi.

Tapi salah, entah Harshad yang lupa atau memang Anya yang selalu waspada dengan keadaan di sekitarnya. “Heh, woi,” panggil Anya saat melihat Harshad berjalan membelakanginya.

“Harshad?” panggil Anya lagi. “Dihh, bisa-bisa nih orang bikin ubun-ubun gue terbakar, huh,” rutuknya.

Harshad tak menoleh, menjawab pun tidak. Dia kembali keluar ke tempat dimana dia duduk tadi. Melihat Harshad yang duduk di depan toko, ganti Anya yang mendekati Harshad.

“Lu minta gue ambil baju berapa?” tanya Anya langsung berbisik di telinga Harshad.

“Shit, bisa ga sih, ga usah ngagetin gue,” sembur Harshad sembari sedikit melotot.

“Lagian elu gue panggilin kaga denger, ya kan siapa tau lu emang budek, gue deketin deh tanya gue ke kuping lu,” jawab Anya dengan pedenya.

“Udah terserah elu, ambil aja yang lu mau, tapi cepetan, sampe beruban gue nunggu elu,” ucap Harshad. Anya tersenyum girang dong, jiwa perempuannya meronta.

“Baiklah, tuan muda. Laksanakan,” kata Anya memasang pose hormat pada Harshad dan berlalu masuk lagi ke dalam toko dengan senyum terkembang.

Anya tertawa kecil, beruntung dong dapet baju mahal tapi gratis. Apalagi setelah ayahnya membekukan kartu debitnya, dia jadi tak bisa banyak menghabiskan uang. Karena hanya mengandalkan uang dari ibunya. Walaupun sebenarnya itu juga termasuk banyak, tapi pada ibunya, dia tak tega melakukan hal seperti itu.

Mengingat ibu selalu berhasil membuatnya murung, seorang perempuan yang tak tau apa-apa, digelimangi oleh harta tanpa kasih sayang seorang suami, mungkin kata-kata itu sesuai untuk ibunya, walaupun dia berat mengatakannya.

Perempuan yang mengenakan baju berwarna putih tersebut mengambil asal baju di toko dan memberikannya pada penjaga toko. Dia langsung memanggil Harshad karena saatnya membayar.

“Sini, waktunya bayar,” ucap Anya langsung menarik Harshad ke kasir. Harshad yang sedang meeting spontan mengerutkan kening sedikit emosi, menutup ponselnya yang otomatis juga menghentikan tampilannya di LCD kantor.

“Iya, iya, gue bayar, tapi ga perlu kali tarik gue kek tadi, lu ga liat gue lagi meeting?” tanya Harshad mendengus. Anya terdiam, melihat ponsel Harshad.

“Mana? Kaga usah boong lu!” Harshad menatap Anya capek, dia segera membayar belanjaan Anya dan pergi keluar mendahuluinya tanpa melihat apa saja yang dibeli Anya.

“Heh tungguin gue! Harshad!”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status