Sinar matahari menyapa netra laki-laki yang masih bergelung di bawah selimutnya. Merasa cahaya masuk, dia mengucek mata dan mulai bangun. Merenggangkan otot dan beranjak masuk kamar mandi. Baru saat melewati jam di dinding kamar mandi, dia mengetahui kalau dia sudah bangun terlambat.
“Kok tumben, sepi.” Harshad membawa baju handuknya keluar kamar. Dan tak berselang lama, Danu berjalan menaiki tangga, berniat membangunkan Harshad.
“Tuan Muda,” panggilnya.
“Bryan belum ke sini?” tanya Harshad. Danu mengangguk dan berdiri di samping Harshad.
“Sekretaris Bryan ada di kolam renang bawah, Tuan.”
“Ngapain?”
“Berenang, sembari menunggu anda bangun, Tuan.”
"Ckck, pede banget," gumam Harshad.
Alis Harshad bertaut. Biarlah, toh itu juga kebiasaan Bryan setiap kali sampai di rumah lama ini.
“Mobil yang aku minta sudah kamu siapkan?” tanya Harsh
Harshad membawa sendiri mobil yang kemarin dia pesan pada Danu. Laki-laki yang bertugas menjaga keamanan Harshad itu membawakan mobil dari showroom perusahaan dan baru menyelesaikan urusan izin di kepolisian tadi malam. Harshad menemani Anya berkeliling di sekitar penthouse nya. Tadi pagi, Harshad sudah mendapatkan izin dari dokter Irene untuk mengajak Anya keluar. Anya sudah baik-baik saja, hanya belum terlalu kuat untuk berjalan jauh. Dan dengan tertawa Harshad menawarkan diri untuk menjaga Anya apapun yang terjadi. Itu adalah hal baru bagi dokter Irene. Sampai dokter Irene mengucapkan syukur berkali-kali. Setidaknya Harshad bisa sedikit demi sedikit melepaskan trauma di masa lalunya. Dokter Irene merasa kalau Anya adalah perempuan yang akan menyembuhkan Harshad di masa depan nanti. Harshad melirik Anya yang terus tersenyum semenjak keluar dari rumah. Dia sedikit bingung, tapi memilih diam. “Apa sih, Shad? Liat-liat?” tanya Anya menyadari tatapan Ha
“Iya, kita memang cocok dalam keadaan apapun,” balas Harshad yang sepertinya memahami pikiran otodidak Anya. Mata Anya membulat sempurna, menempelkan tangannya di depan mulut.“Waaahhhh, Jangan-jangan kamu punya indra ke-enam?” tebak Anya.“Ada, ke-tujuh sampe dua puluh juga ada, mau liat?” tawar Harshad. Lalu Anya mencebikkan bibirnya mendengar lelucon garing itu. Dia tahu, sebenarnya Harshad tidak dalam mood baik untuk bercanda.“Udah, sekarang cerita!” Harshad yang tadi masih tersenyum tipis, sekarang senyum itu lenyap sama sekali. Pandangannya lurus dan kosong.“Aku mewujudkan keinginan ayah untuk terakhir kalinya. Aku juga yang memeluknya sampai beliau benar-benar menutup mata untuk selamanya. Dan bahkan tidak ada seorang pun yang menemaniku atau setidaknya menjadi saksi untuk perlakuan kejam para pembunuh bayaran itu.” Harshad menghela nafas panjangnya.“Kejadian yang menjadi a
Mata Anya terbelalak, dia membuang pandangan dari Harshad. Menyentuh tengkuknya yang meremang. Sepandai-pandai tupai melompat pasti pernah jatuh, ternyata ungkapan itu adalah benarnya.Sudah beberapa tahun berlalu dan semua orang yang disuruh ayahnya mengawasi tidak ada yang paham atas perintah ayahnya. Hanya laki-laki konyol di depannya ini yang langsung benar menebak.“Iya, kan, Nya?” tanya Harshad memastikan sesuatu yang selama ini dia dan Bryan simpulkan.“Apaan sih, enggak! Elu tau dari mana juga?” bela Anya.Harshad menggelengkan kepala tak percaya, dia mengelus rambut Anya sembari berkata pelan. “Seenggaknya kalo lu cerita, gue bisa bantu kalo nanti ada apa-apa,” kata Harshad. Dia melihat Anya menyatukan tangan gusar.Cukup lama mereka terdiam, keheningan menyela mereka berdua hingga akhirnya Harshad angkat suara lagi.“Kemarin ayah lu ke perusahaan, dia cari elu. Awalnya gue nggak mau kasih t
“Iya, kakekku masih hidup. Tapi dia bersama ajudannya. Dia tidak mau tinggal bersama ibuku, dan sekarang kakekku dinyatakan meninggal.”“Emang kamu doang yang tahu kalau sebenarnya beliau masih hidup?”“Iya, dan juga cuma aku yang tahu beliau di mana. Tapi sekarang sudah nggak ada yang bisa dihubungi,” jawab Anya melepas pandangan jauh. Ekspresi sedihnya terlihat nyata.“Lalu sebenernya kamu sekolah di sini juga karena permintaan kakekmu?” tanya Harshad. Pikirannya menerawang jauh.Anya menoleh terkejut, alisnya bertaut erat. “Kok kamu tau?”“Bentar, ini cuman dugaan gue ya, Nya.” Harshad berkata, menjelaskan benang rumit yang bersarang di kepalanya. “Rencana awal kakek lu adalah menyelamatkan berkas itu setelah kematian Sekretaris nya. Lalu untuk mengalihkan perhatian Tuan Jane, beliau harus pergi agar seolah-olah menghindari Tuan Jane karena beliau membawa berkas itu?&r
Anya memasang masker hitamnya, memakai kacamata hitam dan juga topi hitam. Dia berniat masuk ke rumah sewa yang sudah lumayan lama dia tinggalkan. Apalagi sekarang dia sudah tinggal bersama Harshad. Jadi rumah itu sama sekali tidak dia jenguk.Seperti biasa, Harshad menunggu Anya dari dalam mobil di depan rumah. Dia mengawasi keadaan sekitar dengan tenang, dia juga ingat kalau tidak ada orang yang tahu keberadaan rumah Anya kali ini.Laki-laki itu juga baru tahu kalau Anya bisa menghapus semua data-data tentang dirinya. Pantas saja Bryan kesusahan menemukan identitas asli Anya. Ternyata perempuan itu memang tidak sesederhana yang dia pikirkan.Masih ada satu pertanyaan yang dia simpan untuk Anya. Nanti setelah sampai rumah dia akan bertanya.Ting... Ting...Harshad meninggalkan permen di tangannya, dia meraih ponsel yang dia simpan di dashboard mobil.‘Tuan Muda, Nyonya Helen aman'Pesan singkat dari Bryan, mengundang senyum smi
Harshad sedang menonton film di lantai bawah, ada Bryan dan Danu yang sedang membahas pekerjaan di depannya. Harshad terkikik sendiri menyadari ada yang lucu antara Bryan dan Danu. Dia tidak tahu sejak kapan dua orang itu berbicara santai, tapi dia menyukainya.“Udah-udah, kerjaan ini besok aja. Sekarang temenin saya nonton film,” kata Harshad menutup map yang ada di atas meja.Spontan Bryan melongo lama, dia menoleh menatap dalam Harshad. “Lu baik-baik aja, kan?” tanya Bryan. Harshad memandang bergantian Danu dan Bryan. Apa yang salah?“Laporan ini dibutuhkan besok, Tuan Muda.” Danu angkat bicara. Setelahnya Bryan mengangguk setuju.“Sudahlah, aku sudah muak dengan kertas-kertas itu,” balas Harshad santai tapi tersenyum. Lalu Bryan mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda pasrah.“Sudahlah, Dan. Lagipula laporan itu juga dia yang mempertanggung jawabkan,” kata Bryan. Tangannya bergerak me
Anya menunggu Harshad dengan tidak tenang. Tangannya sibuk menghancurkan camilam di sebelahnya. Berubah menjadi butiran-butiran kecil. Tidak tahu apa yang dia khawatirkan, tapi dia memang sangat khawatir kalau nanti tiba-tiba Harshad kehilangan moodnya.Menurutnya, Harshad itu jarang sekali badmood. Tapi sekali badmood pasti meruntuhkan pertahanan dia buat songong di depan Harshad. Karena dia panik saat Harshad mendiamkan dirinya.***Dua orang sudah tersungkur di belakang Jane karena bogem yang dilemparkan oleh Anton. Yang paling kesal saat ini adalah Anton. Karena dia sudah yakin dan membanggakan kinerjanya pada Jane. Tapi nyatanya, anak buah yang dia bangga-banggakan malah membuatnya kecewa.Sedangkan Jane hanya melipat tangannya tanpa ekspresi apapun di wajahnya. “Aku benci kegagalan!” ucap Jane lirih tapi tajam. Dia mendongak menatap Anton, Sekretaris yang mengatur semua ini.“Saya minta maaf, Tuan. Saya tidak mengira kalau N
“Tidak, Bu. Kalau Ibu ingin Harshad pulang, setidaknya beri alasan yang jelas. Karena di sini Harshad bukan sedang bermain-main,” ucap Harshad di telepon.“Ibu tidak mau tahu, Harshad. Kamu harus pulang segera!!”Tuuut... Tuuut...Harshad mendecak, tangan kirinya menghantam keras tembok di sampingnya. Juga mengacak rambutnya frustasi.“Harshad,” panggil Anya setelah lumayan lama laki-laki itu belum kembali. Dia berjalan dari ruang tengah tempat mereka nonton film tadi sampai kolam renang, tapi benar-benar tidak menemukan siapa-siapa.Hanya ada beberapa penjaga yang mendapat bagian malam. Anya sebal, dia mendongak melihat balkon lantai dua. Lampu di sana baru saja mati, bisa saja Harshad berada di sana.Dia memilih diam berdiri di pinggiran kolam renang. Anya selesai mengganti bajunya karena ketumpahan cokelat panas tadi. Dan sekarang dia hanya mengenakan hot pants pendek berwarna hitam dan kemeja putih ked