"Ehm ... itu, itu Tante tanya orang waktu mengunjungi rumahmu Ya, katanya kamu masuk rumah sakit, jadi Tante langsung menuju kesini," jawabnya masih dengan meremas-remas jemarinya dan menunduk. Ia terlihat gugup. Entahlah, apa hanya perasaanku saja.
Aku menatap Fajar mencari tahu apakah jawaban Tante Yuna benar. Karena jujur aku sendiri tidak tahu menahu keadaan rumah selama terbaring di rumah sakit ini.
Fajar manggut-manggut seolah membenarkan. "Oh mungkin yang kerja di rumah Kakak itu yang ngasih tahu kondisi Kak Aya, saat Fajar sudah sampai sana, Fajar mendapat kabar kalau Kak Aya kecelakaan," tebaknya.
"Nah itu, i-iya. Tante tahunya dari mereka. Sejak dari kemarin perasaan Tante nggak enak sama kamu, kayak ada sesuatu yang buruk menimpa kamu Ya, jadi Tante putuskan malam itu juga berangkat pergi ke kota ini buat nemui kamu. Tapi sampai di
Fajar memandang penuh arti ke arah Ibu, lalu berganti arah ke sosok wanita paruh baya satunya. Ada sesuatu yang ingin disampaikan, tapi masih ditahannya.Kuamati dua sosok tersebut lamat-lamat."Ada apa sebenarnya Bu, Tante? biasanya kalian tidak begini?" tanyaku menghentikan perdebatan mereka.Sontak keduanya kaget. Tante Yuna masih meremas jemarinya. Aku tahu dia mencoba menetralkan kegugupannya dengan cara seperti itu. Sudah kucermati gaya bicaranya dari tadi. Raut wajahnya pun tidak bisa berbohong, mudah sekali ditebak. Aku menatapnya tajam. Berbeda sama Ibu yang lebih pintar memainkan raut wajah."Memangnya kami kenapa Nak?" sahut Ibu menatapku sayu."Ada yang kalian sembunyikan dari kami, bukan begitu Tante?" tembak Fajar sembari melirik ke arah Tante Yuna.
Aku masih menangis sesegukan dalam dekapan Fajar. Tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi ini semua. Rasanya seperti mimpi buruk."Cahaya, dengarkan Ibu dulu, Ibu bisa jelaskan semuanya," bujuk Ibu merangsek maju dengan membawa kursi rodanya menuju ke arahku."Tahan, Nyonya Tiar, tetap disana. Kakakku tidak akan mau berdekatan dengan seorang pembohong." Fajar mendesis dan mengarahkan telapak kanannya ke udara untuk menghentikan gerak Ibu yang mencoba mendekati."Tante Yuna! bawa temanmu itu keluar dari sini, kami tidak ingin melihat wajahnya lagi." Fajar menunjuk wajah Ibu dengan telunjuknya.Ibu menggeleng. Tidak Jar, kasih Ibu kesempatan untuk menjelaskannya, Cahaya harus tahu kalau Ibu benar-benar menyayanginya setulus hati Ibu," ungkap Ibu dengan berlinang air mata di wajah pucatnya yang keriput dimakan
Aku memandang keluar dari jendela kamar rawatku ini untuk mengalihkan kesedihan di hati. Tampak taman depan penuh dengan bunga dan tanaman beraneka warna. Indah. Melihatnya, mengingatkanku akan kenangan bersama Ibu. Kami sering menyiram bersama atau sekedar duduk santai memandangi keindahan mereka.Aku mengerjap. Air mata menetes dari kedua sudut mata. Kuhirup oksigen dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Lega? Belum. Masih ada yang berdenyut nyeri. Kutekan dada ini, berharap sakitnya hilang. Tidak mau juga, rasa itu masih betah bersemayam di dalamnya. Entah kapan dia akan pergi.***"Kak," sapa Fajar membuyarkan lamunanku."Ya.""Semua sudah beres, kita bisa pergi sekarang," ujarnya. Aku menganggukkan kepala."Barang Kakak sudah lengkap? ap
Aku melirik ke arah Fajar. "Iya Kak, buat nenangin diri dulu. Biar nggak keingat sama kecelakaan yang lalu," balas Fajar menjawab pertanyaan Mas Daffa. Syukur Fajar tidak mengatakan alasan yang sebenarnya."Oh, baguslah buat menyegarkan pikiran juga. Bintang tahu 'kan?"Sebenarnya aku malas menjawab rasa penasaran Mas Daffa. Tapi kalau tidak dijawab juga nggak enak karena aku numpang naik mobilnya. "Iya," sahutku cepat lalu segera menyenderkan badan ke punggung kursi dan memejamkan kedua mata. Aku berharap Mas Daffa berhenti bertanya atau mengajak bicara setelah melihat posisiku sekarang.***"Kak, bangun. Sudah sampai." Tangan Fajar mencolek bahuku pelan. "Hoamm ...." Aku berpura terbangun. Padahal aku tidak tertidur sepanjang jalan."Maaf ketiduran," ucapku samb
Kusentuh setiap sisi dalam kamar ini. Dari ranjang sampai ke meja kerja Mas Bintang. Aku duduk sebentar di kursi kebesarannya saat bekerja. Nyaman. Menghela nafas panjang lalu segera bangkit berjalan menuju lemari pakaian. Kuambil selembar kemejanya, kuusap dan kuhirup bau harum aroma khas parfum yang sering ia pakai di tubuhnya. Tersadar, kujatuhkan kemeja tersebut ke bawah.Untuk apa aku membaui harum bajunya? bukankah aku ingin melupakannya?Kulipat dan kuletakkan kembali kemeja tersebut ke tempat semula. Kupandangi tumpukan bajuku yang masih tersisa banyak di dalam lemari ini.'bawa apa tidak ya?' pikirku.Mataku mengitari sisi kamar. 'sudahlah, biarkan saja disini. Terlalu banyak kalau kubawa pulang semua. Terserah kalau Mas Bintang mau membuangnya'.&nbs
Untuk apa Mas Bintang menghubungiku sebanyak ini? Merindu kah? atau baru menyesal karena tidak mencegah kepergianku. Tidak, kurasa tidak keduanya. Kuletakkan kembali ponsel ke atas kasur. Tepatnya dibanting.Drrtt ... Drrtt ... Drrtt ...Ponselku berdering.Kuambil ponsel tadi dengan posisi masih rebahan. Kumiringkan kepala ke kanan. "Mas Bintang," gumamku.Kubiarkan deringnya berbunyi sampai nada terakhir, panggilan pun berakhir.Haruskah kublokir nomornya? Tidak, nanti dulu. Mungkin lebih baik kulihat dulu isi pesannya yang belum dibuka.{Angkat Ya}"Nggak," ketusku bergumam sendiri.{Kamu dimana?}"Bukan urusanmu!"
Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya selesai sudah aku diinterogasi oleh Mas Daffa. Interogasi? Yah ... anggaplah begitu. Mas Daffa hanya memintaku menyiapkan buku nikah, KTP, dan kartu KK. Selebihnya biar dia yang menyiapkan semua dokumen untuk persyaratan pengajuan gugatan cerai. Setidaknya aku tidak perlu repot bolak-balik ke kantor pengadilan untuk mengurusnya. Tapi tetap saja saat ada panggilan sidang dari pengadilan, aku diharapkan hadir karena akulah yang mengajukan gugatan perceraian.Setelah Mas Daffa pergi, langsung saja kuhajar Fajar dengan kemarahanku."Kamu gimana sih Jar, nggak bantu Kakak sama sekali," ujarku sewot sambil menepuk bahunya dengan keras."Aduh ..., Sakit Kak. Apa yang harus Fajar bantu? Kak Aya kan tinggal ceritakan semuanya, itu ... bisa," ucapnya berkelit."Tapi setidaknya
Empat belas hari sudah aku berada disini. Di rumah masa kecilku. Mas Bintang masih berusaha menghubungiku lewat Fajar karena nomornya sudah kublokir.Sesuai dugaan Mas Daffa, Mas Bintang menolak gugatan cerai yang kulayangkan kepadanya. Dia bersikukuh tetap ingin mempertahankan rumah tangga kami.Pernah juga di hari ketujuh atau seminggu aku berada disini, Mas Bintang nekat mendatangiku. Ia bahkan sudah kehilangan urat malunya dengan rela berlutut di depan pintu rumah dan memohon agar aku membatalkan gugatan cerai kami. Para tetangga dan warga sekitar heboh menyaksikan aksinya. Bahkan ada yang sengaja ingin merekam mengambil videonya, untung sempat dihalangi Fajar. Fajar bahkan mengancam akan melaporkan ke polisi siapa pun yang sengaja merekam atau memvideokan aksi Mas Bintang, dan untungnya mereka tidak ada yang berani melakukan karena tahu Fajar kuliah hukum.