Share

Rahasia Terpendam Sang Istri Konglomerat
Rahasia Terpendam Sang Istri Konglomerat
Author: Amy J.Harper

SETELAH LIMA BELAS TAHUN

“Senang bertemu denganmu lagi, Mahreen. Sudah sangat lama ternyata." Uluran tangan di depan mata Mahreen tak disambut olehnya, ia hanya memandangi laki-laki dengan kemeja berwarna biru langit yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Tatanan rambutnya begitu rapi dan dari jarak satu meter, Mahreen bisa menebak parfum apa yang digunakan laki-laki yang ada di hadapannya.

“Jadi kau tak suka bersalaman denganku?” tanyanya lagi dengan tangan yang digerakkan , berusaha menunjukkan bahwa ia masih menunggu wanita yang datang terlambat satu setengah jam itu untuk berjabat tangan dengannya.

“Apa aku boleh duduk sekarang?” 

Mahreen tak menanggapi pertanyaan yang dilontarkan lawab bicaranya, ia justru melemparkan pertanyaan.

“Oh tentu, kau boleh duduk. Untuk kedua pengawalmu, apa boleh aku meminta mereka pergi dari sini? Aku lebih suka membahas semuanya hanya berdua denganmu.” Jari telunjuk laki-laki terulur sedikit menunjuk pada kedua pengawal Mahreen yang mengantarnya hingga ke suit terbaik hotel milik keluarga besar Zaire.

Mahreen menoleh kepada kedua pengawalnya dan memberikan anggukan. “Aku baik-baik saja. Terimakasih. Kalian bisa turun dan menungguku di lobi.” Mahreen mengatakannya dengan tenang dan wajah yang meyakinkan. Itu membuat kedua pengawalnya langsung berpamitan tanpa saling bertatapan atau memberikan bantahan.

“Apa kau selalu seperti itu, Mahreen? Diikuti oleh dua orang aneh?” Laki-laki itu mengambil satu botol wine merah dan dua gelas yang sangat tipis bentukannya.

Mahreen mendaratkan tubuhnya pada sofa berwarna hitam, menaruh tas miliknya di sebelahnya, dan menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri karena terasa cukup pegal. Tiga hari ke belakang, ia berada di kantor lebih dari dua belas jam. Kepindahannya kembali ke kota ini justru membuat hidupnya semakin dipenuhi dengan pekerjaan.

Ia melihat kamar suit hotel yang didatanginya. Mereka saat ini berada di bagian depan, ruang tamu. Tentu saja. Jika laki-laki yang menjadi lawan bicaranya ini melakukan hal tak pantas kepadanya, ia takkan membiarkannya. Ia membawa setruman listrik untuk menghadapi siapapun yang berani melakukan hal buruk.

“Minumlah! Kita harus dalam kondisi baik untuk membicarakan hal yang cukup berat ini.” Lelaki itu menjulurkan gelas berisi wine merah itu yang sudah diisikan dengan es berbentu bulat besar ke dalamnya.

“Aku tak minum alkohol, terimakasih untuk tawarannya.”

Uluran gelas itu tak mendapat respon dari Mahreen. Dan itu membuat Elvaro tersenyum.

“Belum apa-apa aku sudah mendapatkan dua penolakan. Kau menolakku untuk berjabat tangan dan sekarang menolak minuman yang ku berikan.” 

Mahreen tau Elvaro tak tersinggung dengan apa yang dilakukannya. Ia tau Elvaro hanya mengatakan apapun yang ingin dikatakannya. Itu saja. Lelaki yang ada di hadapannya ini bukanlah sosok yang mudah terluka harga dirinya hanya karena hal-hal remeh.

“Baiklah, kalau begitu kau mau minum apa? Cola? Air mineral? Teh? Kopi? Aku bersedia membuatkannya untuk teman masa kecil yang pergi begitu saja setelah aku selamatkan dari kebakaran besar.” Ujung bibir Elvaro tertarik ke atas. Ia sedang meledek Mahreen mengenai masa lalu mereka.

“Diet coke? Apakah punya?”

Elvaro bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dalam. Mahreen kembali mengamati ruang tamu suit tersebut yang menurutnya terlalu polos. Tak ada pajangan apapun. Di atas meja hanya terdapat taplak meja berwarna abu-abu yang di atasnya terdapat sebuah buku.

Ia ragu Elvaro membaca sebuah buku. Terlebih lagi dengan judul buku yang tertera jelas. Meskipun mereka tak pernah lagi bersinggungan, Mahreen yakin tak ada yang bisa membuat Elvaro berubah menjadi sosok penyuka literasi. Laki-laki yang baru saja pergi untuk mencari minuman yang diinginkan Mahreen itu hanya menganggap buku sebagai pajangan.

Tangan Mahreen terjulur dan mengambil buku itu, ia membukanya dan sebuah note berwarna kuning tertempel di salah satu halaman. Hanya satu-satunya sticky notes yang ada di sana. 

“Seperti biasa, jam 22.00 WIB. I know you want it MORE.”

Mahreen tersenyum meledek sambil kembali menutup buku, terlebih setelah melihat  kata terakhir dalam catatan tersebut yang dikapitalkan.

Sepertinya kau benar-benar seperti yang dikatakan banyak orang, ya, El, pikir Mahreen. 

Elvaro membawakannya dua kaleng diet coke dan menjulurkannya kepada Mahreen. “Terimakasih.” 

Satu kaleng diterima dan kaleng yang lainnya ditaruh.

“Kau menertawakanku saat membuka buku yang ada di meja. Apa kau tak percaya aku menjadi kutubuku?” goda Elvaro. Mahreen tau bahwa Elvaro bukanlah sosok yang berusaha menutupi kehidupannya. Apalagi setelah Elvaro menelponnya beberapa waktu lalu dan mengatakan bahwa ia akan menikahi Mahreen seperti yang diinginkan eyang.

“Tidur dengan seorang kutubuku tak akan membuatmu berubah langsung menjadi kutubuku juga.” Kali ini Mahreen lebih leluasa untuk melebarkan senyumannya. Tangan Mahreen membuka diet coke dan Elvaro menyesap red wine setelah mereka melakukan ‘cheers’ entah untuk apa.

“Tapi aku rasa aku akan menjadi kutubuku setelah tidur beberapa kali denganmu.”

Kalimat itu sukses membuat cairan yang seharusnya turun ke kerongkongan Mahreen justru berbalik arah, memasuki saluran pernapasannya hingga membuat Mahreen tersedak dan terbatuk-batuk beberapa kali. Elvaro mengulurkan sapu tangannya kepada Mahreen, dan buru-buru diambil olehnya sebelum cairan itu keluar melalui hidungnya. Ia mengelap bagian depan hidungnya dan mengambil napas panjang. 

Sedakan itu membuat Mahreen tak nyaman. Apa yang dikatakan Elvaro membuatnya tak nyaman.

“Kau bilang apa tadi? Sepertinya aku salah dengar.” ucap Mahreen sambil kembali mengelap sekitar bibirnya dengan sapu tangan yang diberikan Elvaro kepadanya.

Elvaro menggelengkan kepala. Pandangan mata mereka saling terkunci selama beberapa detik.  Buru-buru Mahreen mengalihkannya. “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu, hmmm?” Mahreen menaruh sapu tangan itu di meja dan mengubah posisi duduknya, ia menyandarkan punggungnya dan melipat kedua tangannya di depan dada.

Lagi dan lagi Elvaro tersenyum, masih dengan tangan kanan yang menggerakkan gelas di tangannya, membuat red wine itu berputar-putar di dalamnya.

“Kau cantik. Dan aku selalu tidur dengan wanita cantik. Aku cukup pemilih."

Kalimat yang keluar dari bibir lelaki itu jelas-jelas sangat mengganggu. Sangat. Entah apakah ini hanya caranya bicara kepada Mahreen atau memang ia selalu menggoda perempuan yang bertemu dengannya. 

Mahreen tak peduli dengan pujian seperti cantik atau apalah, ia terbiasa dengan itu hingga pujian itu sama sekali tak ada harganya lagi baginya. Tapi untuk pertama kali semasa hidupnya, ia direndahkan dalam jumpa pertama.

Aku bersyukur aku bisa mengendalikan diriku. Aku bersyukur aku tak menyerangnya dan berteriak. Aku bersyukur aku bisa berdamai dengan pelecehan yang pernah ku alami lebih dari ini.

Mahreen membatin seorang diri.

Jika bukan karena eyangnya yang memiliki masa hidup kurang dari empat bulan, ia takkan pernah mau menghirup udara yang sama dengan laki-laki di hadapannya ini lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status