“Dek, jangan nangis. Nanti saya antar kamu pulang.”Bukannya mereda, tangis Yuna semakin menjadi.“Memang kamu punya uang antar aku pulang?” bentaknya.Yuna tidak bisa pulang sendiri, saat ini dalam dompetnya hanya ada kartu debit kosong. Biasanya memang diisi setiap bulannya oleh papanya untuk bulan ini jelas sudah dihabiskan untuk berlibur apalagi mengingat kemarin adalah hari terakhir dan rencananya akan pulang hari ini.Tapi naas kejadian tak diinginkan malah menghambat jalannya untuk pulang.Afnan terdiam. Ia tidak tahu dimana Yuna tinggal tapi sudah dipastikan di kota dan butuh ongkos yang tidak sedikit untuk pergi ke sana. Untuk makan sehari-hari saja Afnan kesulitan apalagi mengumpulkan uang untuk mengantar Yuna pulang.Beruntung karena biaya pengobatan ibunya ditanggung pemerintah karena mereka memang warga miskin.“I-iya, nanti saya usahakan.” Meski dirinya tidak yakin dapat uang dari mana.Tidak ada orang yang mau meminjamkan uang karena tahu Afnan tidak akan bisa membayar
Bagaimana caranya aku beritahu ibu dan Nisa ya soal kejadian tadi malam?Sepanjang perjalanan pulang, Afnan memikirkan hal itu. Tidak mungkin kalau menyembunyikan Yuna karena besok ibunya pulang.Ia ingin segera sampai di rumah untuk memastikan Yuna baik-baik saja. Sebenarnya perasaannya tidak karuan saat meninggalkan Yuna karena gadis itu sendirian di rumah dan tidak tahu menahu soal daerah di sana. Meski sudah beberapa kali liburan tapi tidak pernah masuk ke pemukiman warga.Butuh waktu lama untuk sampai di rumah kalau menggunakan angkutan umum, kecuali pakai kendaraan pribadi. Tapi apa daya, motor saja Afnan tidak punya.Awan sudah mulai menghitam dan suara guntur bersahutan. Afnan yang baru saja turun dari angkutan harus berjalan menuju rumahnya ditemani rintik hujan yang mulai lebat.Baru saja pukul dua siang tapi langit begitu gelap. Langkah lelaki itu semakin cepat karena khawatir pada Yuna. Gadis itu memang tidak dikenalnya tapi Afnan punya tanggung jawab untuk menjaganya kare
Pengantin baru itu duduk dalam posisi berjauhan. Tadi Afnan mencoba menjelaskan pada mertuanya soal apa yang terjadi. Nata yang awalnya khawatir bisa bernapas lega karena Yuna disentuh suaminya sendiri bukan orang lain.Memang Yuna saja yang berlebihan, ia lupa kalau sudah menikah dan harus melayani lelaki yang menjadi suaminya. Berhubung yang terjadi begitu mendadak membuatnya lupa akan status barunya.Saat ingatan soal semalam melintas dalam benak, Yuna malu sendiri karena ia yang lebih dulu mengajak Afnan. Tapi bukan Yuna namanya kalau mengakui kalau dirinya yang memulai. Gengsi perempuan satu ini sangat tinggi.Mana Papa nggak belain aku lagi.Yuna menggerutu dalam hati. Ia sudah kehilangan mahkota berharganya yang ia jaga tapi satu hal yang seharusnya tidak ia sesali, setidaknya ia melakukan dengan lelaki yang sah menjadi suaminya bukan kekasihnya yang sudah berulang kali memberikan kode pada Yuna untuk mau diajak melakukan hal di luar batas.Karena terlalu cinta bisa membuat Yun
“Ini dari Mbak Aura?” Afnan terbelalak melihat aneka menu makanan di hadapan Yuna.“Enak saja. Aku beli sendiri,” sahutnya lalu mencomot udang crispy.“Oh ya, saya mau minta tolong sama kamu.”Sebelah alis Yuna terangkat. “Berani minta tolong setelah-”“Saya mohon, ibu saya sakit. Saya nggak mau ibu makin drop nantinya. Kamu nggak perlu bersikap baik ke saya tapi setidaknya ke ibu. Tolong jangan meninggikan suara di hadapannya, saya mohon.” Afnan menjatuhkan harga dirinya, memohon pada Yuna untuk kenyamanan sang ibu.Tadi di jalan Afnan sudah bilang pada ibunya kalau ia sebenarnya sudah menikah dan istrinya ada di rumah. Mendengar itu, ibunya tentu kaget tapi bahagia karena akhirnya putranya itu menikah karena selama ini tidak ada yang mau pada Afnan karena pemuda itu sangat miskin.“Gratis?” Kedua tangan Yuna terlipat di dada.Afnan semakin gusar karena tadi ia meminta ibu dan adiknya menunggu di depan.“Apapun yang kamu minta, selama saya bisa. Saya lakukan.” Hanya itu yang bisa dik
Pengakuan Yuna sukses melukai Afnan, namun lelaki itu sadar diri dan hanya bisa diam.Bicara saat Yuna bertanya, selebihnya memilih untuk bungkam. Ia terus mengikuti langkah Yuna yang tampak semangat belanja, bukan untuknya tapi untuk orang rumah termasuk Nisa dan Bu Dini.Ada rasa iba yang dirasakan Yuna melihat seperti apa kondisi kehidupan keluarga suaminya yang jauh dari kata layak menurut Yuna. Terlihat dari pakaian mereka yang sudah lusuh dengan warna memudar."Nanti saya ganti uangnya.""Hm." Yuna hanya menyahut singkat, fokusnya pada penjual jajanan yang berjejer.Sebenarnya Yuna sama sekali tidak minta uangnya dikembalikan. Ia murni melakukan itu karena hatinya tergerak, ia juga diperlakukan dengan baik oleh keluarga Afnan."Jajanan apa yang enak?" Yuna melirik Afnan yang berdiri agak jauh darinya."Semua enak, tergantung selera, Dek."Apa yang dikatakan Afnan tidak salah makanya Yuna tidak mencak-mencak. Masalahnya ia tidak pernah jajan di tempat seperti ini yang isinya bera
“Ini cuman dugaan ibu saja, tapi nanti kamu periksa biar jelas.”Yuna masih membeku, tidak terima dengan dugaan ibu mertuanya.“Iya, Mbak. Bang Afnan pasti senang. Aku juga senang dapat keponakan.” Nisa sumringah.Masih bisa mengontrol diri, Yuna tersenyum tipis ia melanjutkan sandiwara menjadi istri yang baik.“Iya, biar nanti aku periksa.”“Tunggu Afnan ya, Nak. Sekarang kamu mau makan apa? Biar nanti Nisa carikan.”“Nggak mau apa-apa, Bu.” Yuna mencoba untuk menutupi rasa gundahnya.Kabar baik yang belum jelas kebenarannya itu sudah membuat Bu Dini dan Nisa bahagia tapi berbanding terbalik dengan Yuna. Jika memang ia hamil maka petaka baginya, ia akan semakin sulit untuk keluar dari tempat ini.Dengan gelisah Yuna menunggu Afnan pulang, biasanya ia tidak akan pernah peduli pada lelaki itu tapi sekarang sangat ditunggu kepulangannya.Selera makannya hilang, meski perutnya terus berbunyi. Selain karena rasa mual, memikirkan kondisi yang kemungkinan hamil membuat Yuna tidak tenang sam
Malamnya, mereka kedatangan tamu yang tentu saja kehadirannya membuat Yuna sangat bahagia. Pulang. Hanya itu yang dipikirkannya saat ini.“Ma, aku mau pulang.” Dengan erat Yuna memeluk Hana.“Iya, kita pulang.” Hana pun tak tega melihat kondisi putrinya yang terlihat kurus jika dilihat secara langsung.Bisa dipastikan memang Yuna tidak nyaman. Hana tidak bisa bayangkan jika Yuna lebih lama lagi tinggal di sini. Mungkin kondisinya lebih memperhatikan daripada ini.Yuna dan Hana mengobrol di dalam kamar sedangkan Nata membawa menantunya keluar. Kalau saja bukan karena Hana memaksa, mana mungkin Nata datang malam-malam ke sini. Merasa dejavu karena dulu pernah datang ke tempat ini malam hari karena berita menggemparkan.Bu Dini sudah istirahat, beliau tidak terusik karena memang kalau sudah minum obat pasti tidurnya akan nyenyak sedangkan Nisa sendiri tadi sempat bertemu dengan mertua kakaknya sebentar dan kembali masuk ke kamar.“Pokoknya aku mau pulang, Ma. Kalau nggak, mending aku mat
Laissa menceritakan semuanya pada Yuna tanpa ada yang ditutupi sedikitpun, ia ingin membantu sang adik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Tidak tega juga melihat Yuna yang harus bertarung dengan badai dalam hidupnya di usia yang masih muda seperti ini."Apa jangan-jangan dia mau balas dendam, Kak? Kayak di drakor-drakor itu loh, jadi balas dendamnya lewat orang terdekat."Ada manfaatnya juga Yuna suka menonton drama Korea karena apa yang dilakukan oleh Aura memang ingin menghancurkan Laissa lewat orang-orang terdekatnya karena kalau langsung pada orangnya sudah tidak ada celah."Terus suami kamu juga terlibat?"Yuna mengedikan bahu. "Mana aku tahu, bisa jadi iya bisa juga nggak. Ya, kakak cari tahu dong. Aku capek, Kak. Bawaannya lemes, kepala pusing mana mual lagi. Kakak ada kenalan dokter yang bisa aborsi nggak?"Laissa melotot. "Sembarangan! Sebenci apapun kamu ke bayi itu, jangan berpikir melenyapkannya. Dia berhak lahir, Yuna