Rafael duduk termangu di kamarnya, setelah mengantarkan Yui yang tidak sadarkan diri akibat terlalu banyak tenaga meluap tiba-tiba. Dia masih bingung dengan hilangnya Yoru yang tiba-tiba.“Kemana dia pergi?” gumam Rafael.Pria jangkung dengan rambut hitam cepak itu berdiri di depan cermin. Pantulan dirinya terlihat jelas, tidak ada bayangan Yoru di dalam cermin.“Keluarlah!” teriak Rafael.Cermin itu bergeming, tidak ada bayangan lain selain dirinya.“Keluarlah!” teriak Rafael sekali lagi, tangannya terkepal, nanar matanya menatap cermin dan berharap ada bayangan lain di sana. Dia memukulkan tangannya ke tembok di sebelah cermin. “Yoru, keluarlah!”Rafael bingung, ke mana perginya Yoru dalam dirinya, dia tahu makhluk itu masih ada dan bisa merasakannya. Akan tetapi, jika dia tidak bersuara bagaimana bisa berdialog dengannya.Selang beberapa waktu dia terdiam tanpa ada tanda-tanda suara dari Yoru, Rafael bangkit dan berjalan keluar kamarnya. Anak tangga ke lantai dua menanti untuk di j
“Kapalnya datang!” seru Lixue. Sebuah kapal feri menepi di dermaga dan beberapa orang turun membawa bahan makanan lalu kembali naik. Tidak banyak orang yang menghuni benua ini. Benua yang lebih banyak tertutup es dibandingkan tanah.“Ayo naik,” ajak Alan berjalan menuju salah satu pria yang berdiri di dekat kapal. Setelah membayar sejumlah uang, mereka berdua naik ke atas kapal tersebut.Semilir angin dingin berhembus mengembangkan layar kapal. Nahkoda mulai menjalankan kapal. Perlahan kapal feri tersebut berubah haluan.Lixue terlihat menikmati hembusan angin yang menerpa dirinya, membiarkan rambut putihnya tertiup angin. Memejamkan mata dan merasakan setiap sentuhan lembut sang angin.“Rasanya menyenangkan,” ucap Alan dengan lantang. Dia berdiri di sebelah Lixue. Mengamati setiap inchi pemuda yang sedang bersamanya.“Ya, anginnya menyenangkan. Jarang sekali merasakan angin tanpa butiran es. Biasanya selalu ada es, kau pasti mengerti jika berada di dekat danau,” balas Lixue.Kapal it
“Akhirnya sampai.”Lixue mengatur napas yang tersengal-sengal akibat berlari begitu jauh, dia beberapa kali menoleh ke belakang memastikan pria yang tadi bersamanya datang. Detik demi detik berlalu hingga tetesan keringatnya telah kering, tetapi pria itu belum terlihat batang hidungnya.“Apa lebih baik kususul atau ....” Lixue berpikir sembari melihat bangunan tinggi di hadapannya. Perpustakaan kota yang dia cari dengan susah payah tidak mungkin ditinggalkan begitu saja. Buku Eirlys ada di sini, cara untuk mengembalikan Istana Es ada di sini.“Lima menit lagi baru aku masuk,” gumam Lixue.Lima menit berlalu, mata hitam Lixue mencari sosok yang seharusnya tiba. Hanya angin yang berhembus lebih kencang menandakan malam telah mulai merayap menggantikan siang. Lixue, dengan langkah berat menapaki tangga satu demi satu.“Aku akan datang Eirlys, tunggulah kakak pasti bisa membebaskanmu,” ucap Lixue dalam hatinya, sebuah harapan yang tertanam erat.Di depan pintu seorang penjaga menatapnya.
“Selamat datang kembali, Lixue.” Pria dengan jubah menjuntai menyambut Lixue yang baru turun dari kereta kuda. Dia terlihat tersenyum ramah. Senyum yang kini terlihat begitu mencurigakan bagi Lixue.“Terima kasih atas kebaikan, Yang Mulia,” balas Lixue menunduk dan memberi salam di hadapan Leiz.Pria yang sudah berubah warna rambutnya dari hitam ke putih ini tersenyum dan menyambut Lixue, dia memberikan pelukan hangat lalu merangkul Lixue untuk mengikutinya.“Syukurlah, aku hanya takut kau tersesat. Ke mana saja selama ini?”Mereka berjalan melewati taman yang sudah tidak memiliki bunga hidup. Taman kering yang terbengkalai tanpa perawatan. Lixue memperhatikan Istana Kegelapan, baru kali ini dia benar-benar melihat dengan jelas. Aura hitam menyelimuti Istana Kegelapan seakan seperti namanya yang begitu gelap.“Sebenarnya apa yang terjadi di negeri ini?” tanya Lixue memperhatikan sekelilingnya yang benar-benar kering, sangat kering dan tandus. Tanah menghitam dengan warna hitam jelaga,
Rafael membuka pintu kamar si kembar yang memang tidak terkunci. Dia berkunjung untuk melihat kondisi Yui. Apa yang dia lihat tidak seperti apa yang ada dalam bayangannya. Gadis manis itu sedang mengeluarkan seiisi lemari pakaiannya.“Apa yang kau lakukan?”Kedua anak kembar tersebut menatap Rafael sejenak tanpa kata, lalu kembali dengan aktivitas masing-masing. Yui dengan pakaian di lemarinya dan Yuan sedang membaca buku.“Yui?”Pria jangkung dengan rambut hitam mendekati gadis yang tengah menghamburkan seluruh isi lemarinya.“Paman sudah sehat?” tanya Yui yang justru bertanya bukan menjawab pertanyaan Rafael.“Ya, berkat dirimu. Terima kasih,” balas Rafael mengucapkan kata tersebut dengan tulus. Dia menoleh ke arah Yuan yang tidak terganggu sedikit pun dengan apa yang dilakukan saudari kembarnya.“Yui hebat ‘kan,” puji Yui pada dirinya sendiri. Senyumnya merekah begitu manis dan mendekati Rafael dengan langkah riang berjingkat. Rafael mengangguk meskipun dia tidak mengerti apa maksu
“Sedang apa?” Ucapan Alma mengangetkan Rafael yang sedang bersembunyi. Pria ini menoleh ke arah Alma lalu kembali melihat Yui sedang memesan makanan bersama dengan suami Alma.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Rafael.“Bukankah seharusnya aku yang bertanya,” balas Alma dengan seringai yang membuat Rafael bergidik.“Tidak seperti yang kamu pikirkan,” balas Rafael. Dia membuang muka dari wanita yang pernah mengisi hari-harinya. Meskipun hubungan mereka akhirnya kandas di tengah jalan.“Memang apa yang kupikirkan?” Alma berusaha melihat wajah Rafael yang sengaja membuang muka. Wanita ini benar-benar ingin menggoda Rafael.“Alma, aku dan Yui tidak ada hubungan apa pun,” balas Rafael berusaha menyakinkan Alma dan berharap wanita di depannya percaya. Diluar dugaan, ucapannya justru membuat wanita di depannya tertawa.“Kau yang berpikir seperti itu atau aku?” ucap Alma masih menggoda Rafael. Wanita dengan rambut ungu panjang ini memperhatikan perubahan sikap Rafael. Pria yang selama ini
“Paman.”Mata Rafael perlahan terbuka. Semilir angin terasa berbeda hingga dia bangun terburu-buru dan baru menyadari dirinya berada dipangkuan Yui entah berapa lama.“Paman?”Suara gadis yang memanggilnya dengan suara cemas membuat Rafael kembali menatap mata hitam Yui. “Berapa lama aku tertidur, ini sudah hampir malam,” ucap Rafael dalam hati. Dia tidak sanggup bertanya kepada gadis di depannya.“Paman baik-baik saja?” tanya Yui. Semilir angin menerbangkan rambut hitam panjang putri cantik yang terlihat lebih menawan karena terkena cahaya senja.“Paman baik-baik saja,” balas Rafael. Dia mencoba bangkit dan baru merasakan ada yang berbeda dengan tubuhnya.“Gawat, kakiku belum bisa digerakkan.” Rafael mengurungkan diri untuk berdiri dan bersandar di batang pohon tempat Yui berada.“Mana yang sakit?” tanya Yui menatap Rafael dengan cemas.Rafael tersenyum. Kecemasan Yui entah kenapa membuatnya sedikit senang. Rasa senang yang aneh dalam dirinya.“Kakiku kram, istirahat sebentar lagi ju
“Itu hanya sementara, Rafael. Kau perlu yang lain untuk tetap bertahan.” Alden menghela napasnya dengan berat sebelum melanjutkan ucapannya. “Yuan, dia menemukan cara membuatmu lebih cepat sembuh dan hanya akan menghabiskan waktu lebih sedikit untuk tidur. Dia bilang ada buah, aku tidak tahu apakah itu, tetapi buah itu bisa membuatmu pulih lebih cepat,” ucap Alden meberikan gambaran tentang buah tersebut.“Di mana mendapatkannya?” tanya Rafael antusias sementara Alden menggelengkan kepala.“Aku sendiri juga tidak tahu, tidak ada keterangan di mana buah itu bisa didapat. Sepertinya kita masih perlu ke ruang terlarang lagi,” jawab Alden.Rafael berdiri dan mendekat ke arah Alden. “Kakek menyuruh Yuan ke ruang terlarang!”Mata hitam Rafael seakan ingin membakar pria di depannya dengan api kemarahan. Dia benar-benar tidak menyangka pria yang ada di depannya sanggup menyuruh Yuan melakukan hal berbahaya.“Itu hanya perpustakaan, Rafael,” balas Alden dengan santai.“Kakek tahu kenapa itu di