Airen terlihat fokus duduk di ruang tamu. Tangan kirinya memegang sebuah kertas yang sudah lecek dan tangan kanannya memegang buku merah. Matanya berkali-kali silih berganti menatap kertas itu lalu ke buku merah lagi. Tak lama kemudian senyumnya mengembang, ia menemukan sesuatu yang membuat usahanya tidak sia-sia.
Airel datang dari arah dapur langsung duduk di samping adiknya. Ia meletakkan dua cangkir minuman favorit mereka, cokelat hangat. Melihat Airen yang tersenyum sendiri, membuat Airel penasaran.
"Apa yang telah kau temukan?" tanya Airel seraya menaikkan sebelah alisnya.
Airen menyerahkan kertas yang lecek pada kakaknya. Airel melihatnya sekilas, kertas itu berisi tulisan, "Kafe Digulis sekitar pukul 15.00-16.00". Sesaat Airel mengernyitkan dahinya, ia tahu itu adalah kertas yang telah diberikan si peneror pada Anggi.
Kemudian Airen meletakkan buku merah di hadapan Airel tepat di halaman lirik lagu Jeremy.
"Keduanya menggunakan tuli
Airen masih tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Puluhan foto-foto Kirana disimpan oleh Alfie, bahkan beberapa foto tampak kemesraan di antara mereka berdua. Airen merasa heran dengan kedekatan itu. Ada hubungan seperti apa antara ibunya dengan Alfie? Bukankah mereka hanya berteman?Selain foto-foto itu, Airen juga menemukan sebuah kotak cincin berwarna biru dongker, warna kesukaan ibunya. Ia membuka kotak itu dan tampak sebuah cincin emas di dalamnya. Ia pun mengeluarkan cincin itu dan melihatnya lebih detail. Terukir nama ibunya di bagian dalam cincin.Ada apalagi ini? Setelah foto mesra, sekarang malah ada sebuah cincin, apakah mereka pernah menikah? Atau mereka menjalin hubungan di belakang ayah? batin Airen kian penasaran.Kemudian Airen mengecek barang lainnya, ada dua buah kertas—satunya tergulung dan satunya lagi terlipat dua—di bawah tumpukan foto. Ia membuka kertas yang terlipat dua dan berukuran lebih besar dari kertas s
Airel berjalan lesu mendatangi Alfie. Ia masih tidak tahu harus percaya pada siapa. Apakah kepada kembarannya atau lelaki beruban yang ada di dekatnya? Airel menarik kursi lain lalu duduk di samping Alfie. Matanya lekat menatap Alfie yang duduk tersandar sembari tangan kanan memegang dada."Tidak semua yang dikatakan Airen adalah kebenaran, meski beberapa hal Paman tidak bisa menyangkal," Alfie mulai bersuara dengan mata sengaja terpejam. Ia seakan merasakan sakit teramat dalam yang menghujam dadanya. "Yofi benar, harusnya aku tidak memendam terlalu lama rahasia ini. Semuanya bak bola salju yang kian hari semakin membesar. Dan hari ini bola itu telah menghantam Airen."Airel tidak memberikan respon apa-apa. Ia hanya duduk terdiam di dekat Alfie. Selain memberikan waktu untuk pamannya menenangkan diri, Airel masih berusaha untuk memahami perselisihan yang tengah terjadi dari dua sisi."Paman memang menyukai ibumu bahkan sebelum ia mengenal ayahmu. Ia satu-satunya
Wanita itu menarik kursi karyu yang ada di depan Airen. Ia meletakkan tas bahunya di meja lalu langsung duduk. "Apakah kau sedang menunggu seseorang?" tanya wanita itu pada Airen lalu memberi kode pada pelayan untuk menghampirinya. "Tidak, aku hanya datang sendiri," balas Airen berusaha menutupi kecanggungannya. Wanita itu tampak tak enak hati. "Apa kau butuh waktu sendiri?" Airen tersenyum tawar. "Hanya kebetulan memang sendiri. Bagaimana denganmu?" Belum sempat wanita itu menjawab, seorang pelayan yang telah dipanggilnya datang menghampiri. "Satu cappucino less sugar dan roti bakar manis dengan topping keju," ujarnya memesan makanan dan minuman. "Kau tidak ingin menambah pesanan lagi, Rel? Aku yang akan mentraktirmu, anggap saja sebagai salam perkenalan dariku." Airen berusaha terus tersenyum meski otaknya sedang berpikir. Airen tidak mengerti maksud wanita yang terus memanggilnya Airel itu. Salam perkenalan? Apakah mereka
Seulas senyum kecil terukir di bibir Mira, ia memberikan sambutan hangat pada Airel yang baru tiba di kafe. Mereka telah membuat janji bertemu di kafe Digulis, tempat dimana untuk pertama kali mereka saling kenal. "Kenapa Airen tidak ikut?" tanya Mira yang hanya melihat Airel datang seorang diri. Biasanya mereka selalu bersama dan tidak akan berpisah jika bukan urusan penting. Airel tidak langsung menjawab dan terdiam beberapa saat. "Apa Airen sakit?" Mira kembali bertanya. "Airen kabur dari rumah," jawab Airel singkat membuat Mira terkejut. "Apa sebabnya ia kabur? Kalian bertengkar ya?" "Panjang ceritanya, lebih baik kita bahas tentang Anggi saja dulu," pinta Airel dan berusaha tenang. "Tapi, Rel. Kenapa kita tidak mengutamakan Airen dulu?" "Paman Alfie juga sedang mencari Airen. Jangan terlalu khawatir dan membuat kita jadi gegabah. Kita harus tenang untuk menghadapi hal-hal semacam ini." Mira mengangguk samar
Sudah beberapa hari Airen tinggal dengan Inggit. Itu artinya beberapa hari juga dia telah meninggalkan rumah. Namun informasi mengenai ayahnya belum ia dapati. Semua ingatannya seakan hilang tanpa jejak. Memang tidak banyak kenangan yang ia ukir bersama sang ayah. Saat berumur enam tahun ia sudah tidak pernah tau keberadaan ayahnya itu.Untuk sementara, tersurut pikiran Airen mencari ayahnya. Ia tak mungkin harus membuang banyak waktu untuk melakukan hal yang minim akan petunjuk. Ia harus memikirkan bagaimana ke depannya untuk bisa bertahan. Tak mungkin ia terus menjadi parasit di kehidupan Inggit. Setidaknya ia harus mendapatkan penghasilan sendiri sebelum isi tabungannya habis. Hal itu mengingatkannya pada Airel yang sering mengatakan bahwa suatu saat mereka harus bisa hidup mandiri tanpa siapa pun.Airen meraih kameranya yang terletak di atas meja. Ia melihat galeri foto untuk melepas rindunya pada Airel. Ia tersenyum sendiri ketika melihat gambar dirinya dan Airel
Airel terduduk dan tertunduk lesu. Berhari-hari ia mencari Airen namun tidak membuahkan hasil apa-apa."Apa kau tetap tidak mau meminta bantuan pada kepolisian?" tanya Alfie yang duduk di hadapan Airel."Aku hanya tidak ingin masalah ini terpublikasi. Itu akan membahayakan Airen.""Tapi hilangnya Airen sudah melebihi dari 2x24 jam. Paman tidak ingin kita banyak membuang waktu," ujar Alfie penuh khawatir.Setelah mempertimbangkan ucapan Alfie akhirnya Airel setuju. "Baiklah, aku akan meminta bantuan pada Inspektur Yoga." Jemari Airel langsung menari di gawainya mencari kontak inspektur muda itu lalu melakukan panggilan."Halo, Rel," jawab Inspektur Yoga dari seberang telepon.Airel membalas sapaan itu dan langsung menceritakan perihalnya. Inspektur Yoga sempat terkejut mendengar Airen yang kabur dari rumah. Namun setelah dijelaskan dengan singkat oleh Airel, ia pun akhirnya mengerti. Kemudian Airel memutuskan sambungan setelah Inspektur Yoga
Airen memperhatikan keadaan sekitarnya. Lelaki bertopeng yang sudah menyekapnya tidak ada lagi di pandangan. Tinggal dirinya sendiri yang ada di ruangan serba putih itu. Ia terdiam dan berpikir sejenak untuk mencari cara agar bisa kabur. Ia berusaha memahami detail posisi tubuhnya yang terikat. Kedua tangannya terikat ke belakang dengan tali yang dijerat pada bagian pergelangan. Hampir seluruh tubuh termasuk bagian lengan, paha dan betis juga terlilit. Ujung tali lainnya berakhir pada pergelangan kaki yang diikat dengan dua kaki kursi bagian depan.Setelah mengamati keadaan sekitar dan terasa aman, Airen mulai menggerak-gerakkan tubuhnya perlahan. Ia juga membusungkan dada agar tulang rusuknya berkontraksi sehingga ikatan tali sedikit longgar. Selain itu, ia mengepal kedua tangannya dan menekan ke dalam supaya ikatan di pergelangan tangan kian renggang.Airen berusaha sekuat mungkin dengan tenaga yang dimilikinya. Meski terasa sakit tapi ia terus memaksa bergerak-gerak
Airen mulai tersadar dari pingsan akibat siraman segelas air ke wajahnya. Perlahan ia membuka matanya yang nanar. Meskipun masih samar, tetapi cukup baginya untuk mengetahui siapa yang telah mengguyurkan air tersebut. Pria berperawakan dengan codet di pipi tersenyum sinis melihat Airen berusaha sadar dengan sedikit tenaga yang dimilikinya."Bangun kau!" sergah lelaki itu kasar. "Menyusahkan pekerjaanku saja. Kalau bukan karena perintah, sudah kuhabisi kau."Airen tidak menyimak apa yang lelaki itu ocehkan. Ia masih memikirkan siapa yang telah menyetrumnya dari belakang sehingga ia tak bisa melihat orang itu. Yang pasti bukan lelaki bercodet yang ada di hadapannya. Apa lelaki bertopeng itu yang melakukannya? Siapa pun itu, sudah tidak lagi penting saat Airen menyadari bahwa dirinya kembali terikat. Kedua tangannya terentang dan terikat dengan tali yang masing-masing tangan terhubung ke pancang besi. Otaknya kembali menjalar untuk mencari ide kabur lagi, tetapi sebelum i