"Iya, Mama, Diva baik-baik aja." Diva tersenyum, menatap Juna yang sibuk dengan laptopnya. Dia duduk di sofa. "Udah makan juga."Juna tidak pulang ke rumahnya. Pria itu bersikeras untuk menemaninya di sini sampai dia diperbolehkan pulang nanti. Juna juga tidak ke kantornya, dia rela mengerjakan semua pekerjaannya di sini. Duduk di sofa itu sudah sejak dua jam lalu. Setelah meminta maaf karena tidak bisa mengajaknya mengobrol, Juna terus saja berkutat dengan laptop dan beberapa tumpuk kertas di meja. "Mama nggak perlu khawatir, ini juga Diva istirahat, kok. Diva udah di tempat tidur, siap-siap mau bobo." Diva meringis tanpa suara, dia telah membohongi Mama. Meskipun bukan untuk yang pertama kali, tetap saja rasa bersalah itu ada. "Sampai nanti, Mama. Diva juga sayang Mama."Terlalu kekanak-kanakan? Iya, Diva menyadarinya, tapi dia tak peduli. Dia hanya ingin menunjukkan rasa sayangnya terhadap Mama. Diva memutuskan sambungan setelah memberikan ciuman jarak jauh, meletakkan ponsel di a
"Lu mau tau apa lagi, sih, Jun?" tanya Arkan kesal. Juna mendatangi kantornya pagi-pagi, menuntutnya untuk jujur mengenai Diva. Pria itu percaya masih ada yang disembunyikan. Padahal tidak ada, ia sudah menceritakan semuanya. "Gue udah nyeritain semua yang gue tau sama lu." Arkan mengusap wajah kasar, menyandarkan punggung pada sandaran kursi kebesarannya. Sementara Juna duduk di depannya, dipisahkan oleh meja kerjanya. Juna benar-benar tidak pulang ke apartemennya tadi malam, ia menginap di rumah sakit menunggui Diva. Pagi ini pun, seandainya tidak ada pertemuan penting yang harus dihadirinya hari ini, dia tidak akan meninggalkan Diva. Kevin melaporkan semuanya, dia yang membawa baju ganti Juna tadi pagi. "Nggak!" Juna menatap Arkan tajam. "Gue yakin masih ada yang gue nggak tau. Feeling gue bilang lu masih nyembunyiin sesuatu." "Astaga!" Arkan merosot di kursinya. Ia beruntung hari ini tidak ada yang penting yang harus dikerjakannya sehingga bisa meladeni Juna sementara ini, set
Dua hari bermalam di rumah sakit, Diva baru diperbolehkan pulang. Sebenarnya,.dia sudah bisa pulang keesokan hari, tapi Juna tidak memperbolehkan. Pria itu tidak percaya jika dirinya sudah baik-baik saja. Lebih gila lagi, Juna ingin dia terus dirawat selama beberapa hari lagi. Astaga! Entah apa yang dipikirkannya. Salahkah dirinya sekarang merasa kesal padanya. Juna terlalu pemaksa, selain posesif dan overprotektif. Sangat menyebalkan. Juna juga melarangnya bekerja. Dengan pongahnya dia mengatakan, masih bisa memberikan apa pun padanya meskipun tak bekerja. Juna memintanya untuk duduk manis di rumah saja, dan menyerahkan semua urusan keuangan padanya. Hei! Siapa dirinya bisa mengaturnya seperti itu? Siapa Juna sehingga mau menafkahinya? Dasar orang gila!Untungnya, setelah dibujuk yang membuat mulutnya nyaris berbusa karena terllau banyak bicara, akhirnya Juna menyetujui untuknya pulang keesokan harinya. Juna juga lahirnya membiarkannya bekerja dengan syarat harus tidak boleh terlalu
Selama beberapa saat tak ada suara di dalam mobil selain suara deru mesin. Entah perasaannya saja atau tidak, suara Diva terdengar meninggi. Juna mengangguk tanpa meliriknya sama sekali, ia lebih memilih untuk fokus pada jalanan. Lalu lintas macet seperti biasa, membuatnya harus lebih hati-hati dalam berkendara. "Nggak!"Juna menahan napas menunggu kalimat selanjutnya. Sebenarnya ia tak ingin bertanya, hanya saja ia tak kuat melawan penasaran. Ia sangat ingin tahu apakah ada orang lain selain dirinya. Jika ada, tak apa-apa, ia akan berusaha menerimanya meskipun selama sebelas tahun ini ia tak pernah melakukan apa pun, Tak pernah berhubungan dengan wanita mana pun. Sudah dikatakannya, bukan, jika seluruh perasaannya mati? Lagipula, saat mereka pertama berhubungan, Diva juga mau menerimanya apa adanya. Lalu, seandainya Diva yang seperti itu, kenapa ia harus menolaknya? "Aku nggak pernah pacaran, nggak pernah dekat sama siapa pun kecuali sama Ruud.""Rudd?" ulang Juna tanpa sadar. Nama
"Besok jangan masuk kerja dulu!"Diva mengangguk untuk yang kesekian kali. "Iya, Juna. Iya!" Terlalu banyak peraturan dari Juna yang harus dipatuhinya. Tidak boleh ini, tidak boleh itu, tidak boleh segala-galanya. Anehnya, dia selalu mengangguk mengiakan, walaupun sebenarnya enggan. Sungguh, dia tidak mengerti apa yang terjadi dengan tubuhnya, selalu saja tak dapat dikendalikan setiap kali di dekat Juna. Selalu saja menuruti perintahnya. "Aku udah bilang sama Arkan kalo kamu minggu depan baru masuk kerja."Mata bulat Diva mendelik. Apa-apaan itu? Bagaimana bisa seperti itu? Dia justru ingin bekerja secepatnya agar tidak bosan berada di rumah, bukan seperti ini. "Kamu harus mau, kalo nggak aku minta Arkan buat nyari pengganti kamu.""Nggak bisa kayak gitu, dong, Juna!" Kali ini Diva tidak bisa diam lagi, dia memprotes. Seenaknya saja Juna memutuskan. Yang ingin bekerja adalah dirinya, kenapa Juna yang justru heboh. "Aku kerja juga belum, masa main ganti aja!" "Kalo kamu mau kerja mi
Juna yang mengembuskan napasnya dengan sedikit kuat seakan mengeluh, menaik perhatian Diva. Dia menatapnya dengan tatapan bertanya. "Kenapa?" tanya Diva khawatir. "Kamu nggak apa-apa, 'kan, Juna?"Diva dalam mode polos selalu menggemaskan. Juna menggeleng susah payah, dan memasang senyum terpaksa. "Aku nggak apa-apa, Be," sahutnya serak. Kali ini karena sesuatu yang lain. Tubuhnya bergetar, Juna menatap iba pada selangkangannya yang menggembung. "Jangan khawatir, ya?" Tangannya mengusap pipi mulus itu. "Tau nggak kenapa sekarang beda?" Juna bertanya dengan suara bergetar. Diva menggeleng. "Nggak tau," jawabnya. Senyum tak lepas dari bibir Juna, sekarang ia tak lagi melakukannya dengan terpaksa. Senyumnya terbit dengan sempurna. "Sebab kita udah ada di masa depan. Istri masa depan Juna, itu kata-kata aku sebelas tahun yang lalu, pas kita masih remaja, masih sekolah. Sekarang kita udah dewasa, Be, dan kamu calon istri Juna." Diva tersenyum, lantas mengangguk. "Oke, sekarang kamu ma
Akhir pekan biasanya selalu identik dengan bangun lebih siang, apalagi dengan cuaca mendung yang sangat mendukung. Diva juga akan bangun lebih siang seandainya Juna tidak datang dan membangunkannya pagi-pagi. Mulai dari mengiriminya pesan, menelepon, sampai mendatangi ke rumahnya yang tentu saja membuat orang-orang di rumahnya terkejut. Sudah lebih dari sepuluh tahun Juna tidak pernah lagi berkunjung, dan pagi ini dia datang dengan pakaian santainya, celana jean's dipadu dengan kaus dan kemeja berwarna hitam. Tak ada lagi sepatu pantofel, Juna mengenakan sneaker untuk melindungi kakinya. Diva yang beberapa hari ini selalu melihatnya mengenakan pakaian formal merasa sedikit pangling. Penampilan Juna berubah seratus delapan puluh derajat di matanya. "Ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya Diva cemberut. Juna membuyarkan mimpi indahnya tentang mereka berdua. Dengan malas dia duduk di depan pria itu, dipisahkan oleh sebuah meja teras berukuran tidak terlalu besar. Juna memilih untuk duduk di
Mata Diva melebar, pipinya terasa panas. Mendadak pandanganya berkunang-kunang, sekitarnya terlihat berputar. Diva memejamkan mata, membuang wajah ke luar jendela, menyembunyikannya dari Juna. Dia tak ingin Juna melihatnya seperti ini. Dia yakin Juna memiliki kepanikan yang sama dengan kedua orang tuanya bila melihatnya seperti ini, dan akan membawanya ke rumah sakit. Baru kemarin dia keluar dari rumah sakit, akan sangat tidak lucu bila hari ini harus kembali lagi. Diva mengusap pelipisnya yang berkeringat menggunakan tangan. Jari-jarinya terasa dingin menyentuh pelipis. Matanya masih terpejam. Sedapat mungkin dia mencoba mengatur napasnya agar terlihat baik-baik saja. Untungnya Juna tidak memperhatikan, dia fokus pada jalanan dan orang yang menghubunginya. Beberapa kali Juna menyebut nama Kevin dan memintanya bersiap untuk keberangkatan mereka awal pekan nanti. Perlahan Diva membuka mata, kembali melirik Juna melalui kaca spion. Pusingnya sudah berkurang, Juna tak terlihat berbayang