Roma berteriak melihat mamanya terjatuh. Cepat dia menghampiri Helen dan mengguncang tubuhnya. Diva memekik kaget, dia panik, takut disalahkan atas apa yang terjadi pada Helen, sementara Juna hanya berdecak. Ia sudah menduga akan seperti ini, Helen pasti akan pingsan melihat Diva. Bukannya menggendong Helen dan membawanya masuk ke dalam, dengan santai Juna berteriak memanggil Arsyi. "Arsyi, istri lu pingsan, nih!" Diva membelalak kaget. Dia berpikir Juna akan menolong Helen dan menggendongnya ke dalam, bukan malah tersenyum. Juna malah menarik tangannya yang ingin mendekat. "Biarin aja, Be. Siapa suruh tadi ngatain kamu hantu."Diva memukul bahu Juna mendengar bisikannya itu. Sungguh, Juna sangat tidak lucu baginya. Secara paksa Diva melepaskan tangannya, tak peduli dengan decakan yang keluar dari mulut Juna. Diva menghampiri Helen, berjongkok di depannya berusaha menyentuh. Namun, tatapan tajam putri Helen yang sedang mengguncang bahu ibunya membuatnya membeku. Gadis kecil ini tid
Arsyi memilih untuk diam daripada membuat keadaan semakin kacau. Helen masih belum sadar juga meskipun sudah didekatkan minyak kayu putih ke hidungnya, Juna terlihat tidak suka dengan caranya menatap wanita yang bersamanya, dan wanita itu, yang sama persis dengan sahabatnya, tampak tidak nyaman karena situasi serba membingungkan seperti sekarang ini. Arsyi kembali menepuk pipi Helen lembut, berusaha untuk membangunkannya. "Dia beneran Diva, Arsy. Bukan cuma sekedar mirip apalagi hantu."Bagi orang-orang dewasa, kata hantu mungkin tidak akan berpengaruh. Berbeda jika yang mendengarnya adalah seorang anak kecil. Roma yang tadinya menatap Diva dengan tatapan tak suka, sekarang jadi sedikit takut padanya. Dia khawatir jika apa yang dikatakan Bunda dan Om Juna itu benar, wanita yang datang bersama Om Juna tadi pagi adalah hantu. Pantas saja sangat cantik. Dari semua teman Bunda yang pernah berkunjung, wanita yang datang bersama Om Juna adalah yang paling cantik. Jika dia boleh jujur, Tant
"Be, kamu nggak apa-apa?" Diva menggeleng menjawab pertanyaan Juna. Matanya mengerjap beberapa kali, mengusir gelap yang tadi sempat mampir sesaat. Apa itu tadi? Apakah benar dia dan Arsyi pernah bekerjasama? Kerjasama dalam apa? Haruskah dia menanyakannya pada Arsyi? Mungkin nanti, tapi tidak sekarang. Setidaknya tidak di depan Juna dan Helen karena tak ada bayangan mereka di sana berarti keduanya tidak mengetahuinya. Lalu, apakah itu artinya mereka membuat kesepakatan rahasia? Diva menatap Arsyi sekilas kemudian menggeleng. "Aku nggak apa-apa, Juna," ucapnya tersenyum. Dia tak boleh membuat orang-orang di sekelilingnya khawatir, terutama Juna. "Tapi, tadi....""Cuman pusing dikit," potong Diva cepat. "Sekarang udah nggak apa-apa, kok." Digenggamnya tangan Juna untuk memastikan dia memang baik-baik saja. "Beneran?" tanya Juna tak yakin. Ia melihatnya, tadi Diva hampir tersungkur jika dia tidak menangkap tubuhnya."Iya, beneran!" Diva cemberut. "Nggak percaya banget, sih?"Juna ter
Suara ketukan di pintu membuat Roma buru-buru merapikan mainannya. Bukan maksudnya membuat kamarnya berantakan, dia hanya kesal pada Tante yang dibawa Om Juna. Apa benar Tante itu hantu? Mungkin saja, habisnya dia sangat cantik. Cantik, tapi menyebalkan. Untuk apa dekat-dekat dengan Om Juna-nya? Om Juna hanya miliknya, tidak boleh dimiliki orang lain. Pintu terbuka, kepala Juna muncul di sana. Roma urung menyimpan mainannya ke dalam kotak. Dia langsung berdiri, setengah berlari menghampiri Juna yang berdiri di depan pintu yang terbuka lebar, melompat ke gendongannya begitu jarak mereka hanya tinggal beberapa kaki. "Ayo, sarapan!" Juna mencium pipi chubby Roma yang selalu menyebarkan wangi minyak telon dan bedak bayi. Tidak perlu bertanya siapa yang membubuhkan itu semua ke tubuh Roma. Ibunya memang ajaib. "Laper, 'kan?" Juna membawanya keluar kamar, menuruni tangga dengan sedikit tergesa. Ia sudah hafal seluk-beluk rumah ini sehingga tidak akan terjatuh meskipun menuruni tangga deng
Sarapan pagi kali ini adalah sarapan paling dramatis yang pernah mereka lalui. Mulai dari Roma yang selalu ingin bersama Juna, gadis kecilnya seolah tak mengerti jika Om Juna-nya sedang ada masalah kecil, dia tak ingin menjauh dari Juna padahal mereka akan membicarakan hal yang tak pantas untuk didengarnya. Beruntung setelah dibujuk Helen akhirnya dia mau kembali ke kamar dan bermain di kamarnya, dengan Helen yang menemani. Lagipula, Helen tidak akan mengerti dengan topik yang akan mereka bahas. Daripada dia mengacau dengan pertanyaan konyolnya, lebih baik Helen menemani putri mereka. Juna juga tak kalah membuat kacau. Kata-katanya terkadang membuatnya harus menahan napas, khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk lagi pada Diva. Entah Juna sengaja atau tidak, dia sering mengatakan sesuatu yang membuat Diva memijit pelipis berusaha mengingatnya. Juna sudah menceritakan semua tentang Diva. Dari awal sampai akhirnya dia membawa Diva ke sini untuk sarapan. Juna berharap ingatan D
Eh, anak? Roma mengerjap beberapa kali menatap Juna. Kenapa jadi anak? Bukankah dia sudah memiliki orang tua? Bagaimana dengan Bunda dan papinya jika dia menjadi anak Om Juna dan Tante Diva?Diva tidak menjawab, dia hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dalam hari dia merasa bersalah, kenapa sampai sekarang masih belum mengingat Juna, juga Anka mereka yang telah tiada. Kenapa waktu itu dia sampai tidak tahu sedang mengandung? Tadi malam Arkan berkunjung ke rumahnya, menceritakan semua yang terjadi padanya sebelum dia koma. Dia sempat dinyatakan meninggal, itulah sebabnya Juna bersikeras dia sudah tiada sebelas tahun yang lalu. Kemudian tentang kehamilannya, betapa bodohnya dia sampai tidak menyadari ada kehidupan lain di dalam dirinya. Entah apa yang terjadi padanya dulu sampai sebegitu cerobohnya. Diva menarik napas, memejamkan mata sekilas. Seandainya saja ingatannya kembali, semua pasti akan jauh lebih mudah. Tak mungkin dia meragukan Juna seperti yang sekarang dirasakannya. Benark
Tidak ada yang bersuara, semuanya diam sehingga tak terdengar apa-apa seolah di ruangan itu tidak ada satu orang pun. Sejak Diva bercerita apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, sejak itu ruangan menjadi seperti tak berpenghuni. Nora hanya menatap Diva dengan linangan air mata, Diva menceritakan semuanya setelah dia sadar. Echa pun sama. Rasa haru dan bahagia terkumpul jadi satu di dalam dada mereka. Meskipun awalnya sangat terkejut, bahkan Nora sempat pingsan beberapa menit sebelum disadarkan oleh Kevin dengan cara yang ekstrem. Tidak ada seorang pun yang menyadarkan orang pingsan dengan cara menciumnya sampai orang itu sadar. Sialan memang, tapi dia mengakuinya jika cara itu sangat efektif untuknya. Entah untuk yang lain. Sementara Echa lebih kuat. Meskipun sama terkejut dengan Nora, tapi dia tidak sampai pingsan. Dia hanya menangis sesenggukan melihat Diva yang duduk di pangkuan Juna, persis seperti yang dibayangkannya selama ini. Tak mungkin Juna membiarkan Diva duduk sendiria
Meskipun amnesia, satu yang tidak berubah dari Diva. Dia memakan apa saja, tapi tubuhnya kasih tetap langsung seperti dulu. Untuk yang satu itu, nira dan Echa sudah sering menanyakannya, tapi mereka tidak mendapatkan jawaban. Sampai sekarang, saat mereka bertanya, Diva tetap tak bisa menjawabnya. "Lo udah bikin kita kesal, Va. Masa lo ingat sama dua nyebelin itu, terus sama kita nggak ingat?" tanya Nora memprotes. "Yang duluan sahabatan sama lo itu, 'kan, kita berdua, bukan mereka. Iya. 'kan, Cha?" Echa mengangguk membenarkan perkataan Nora. "Yang jadi best friend lo duluan itu kita, bukan mereka berdua!" Dia menunjuk Kevin dan Arsyi yang duduk di depan televisi. Entah apanyang mereka bicarakan, dilihat dari wajah ketiganya yang serius sepertinya mereka membicarakan hal yang penting. Diva meringis. "Maaf," ucapnya tak enak. "Nggak tau kenapa tadi pas bilang sayang ke Juna gitu aku jadi ingat mereka berdua.""Anehnya lo kasih belum ingat Juna sepenuhnya?" Diva mengangguk menjawab p