Lelaki dengan alis tebal serta bulu mata lentik itu tertawa mendengarnya. Dia kembali menoleh menatapaku, tersenyum manis membuat diri ini menjadi salah tingkah.
“Ma—maksud aku, lagi mikirin kamu, karena penasaran siapa kamu sebenarnya, Vir!” ucapku meluruskan, khawatir dia ke-geeran dan berpikir yang tidak-tidak.“Oh... Kirain. Ampe geer aku, La!” Dia menggaruk kepala yang sepertinya tidak gatal. Duh, kasihan.“Vir, aku mau nanya. Tapi tolong jawab dengan jujur. Sebenarnya kamu ini siapa?”“Aku siluman Harimau dari Gunungkidul!” Pria berkulit bersih itu kembali tertawa renyah.Enak banget hidupnya. Semua terasa ringan, dan seperti tidak memiliki beban. Setiap hari bisa tertawa, bercanda ria tanpa harus memikirkan kehidupan yang teramat pelik seperti diriku.“Aku serius, Virgo? Jangan-jangan kamu memang bukan supir atau bodyguard ya? Aku curiga kalau kamu itu sebenarnya anak orang kaya!”“Kalau iya memang“Bi anterin aku jalan-jalan bisa nggak? Soalnya hari ini Virgo nggak dateng,” ucapku sambil melingkarkan tangan di pinggang Bi Sarni dan menyandarkan kepala di bahunya.“Bisa, dong. Apa sih yang enggak buat Enok. Ya sudah. Buruan mandi, ganti baju, dandan yang cantik habis itu sarapan!” Dia menarik gemas hidungku.“Baik, Komandan!” Turun dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi dan segera mengguyur tubuh.Memantas diri di depan cermin. Menatap pantulan wajahku yang sebenarnya terlihat cantik. Mungkin karena pincang jadi jarang ada laki-laki yang mau mendekati. Bahkan Kak Irsyad yang katanya cinta juga aku tidak begitu percaya, sebab setiap dekat dengan dia, ada saja musibah yang menimpa, seolah kejadian itu disengaja.Aku harus sembuh dan kembali normal. Supaya bisa seperti perempuan lainnya. Hidup bahagia, menemukan pasangan yang memang mencintai dengan setulus hati, bukan karena mencintai uang ayahku.Setelah selesai sarapan Pak sopir segera mengantar ke pusat perbelanjaan. Da
Pintu ruang tindakan terbuka lebar. Seorang pria beralmamater keluar sambil mengulas senyum, dan Mas Arya segera beranjak bangun menghampiri dokter yang aku taksir masih berusia tiga puluh lima tahunan itu.“Bu Siska dan bayinya baik-baik saja, Pak. Hanya saja ada sedikit kabar tidak mengenakan yang ingin saya sampaikan kepada Bapak tentang ibu.” Dokter berujar sembari memasukkan tangannya ke dalam saku jas yang sedang dia kenakan.“Ada apa, Dokter. Silakan bicarakan saja.”“Mari Bapak ikut ke ruangan saya, karena tidak mungkin saya mengatakannya di tempat umum seperti ini!”Dokter berwajah tampan itu lalu tersenyum ke arahku, mengayunkan kaki meninggal ruang tindakan mengajak Mas Arya entah ke mana. Mungkin ke ruang pribadinya.“Udah, Nok. Kita pulang aja. Mumpung Mas Arya lagi nggak ada!” ajak Bi Sarni.“Enggak, Bi. Kalau kita pulang sekarang, pasti Mas Arya akan tambah besar kepala dan mengira kalau aku yang salah.
Aku menatap benda berbentuk bulat dengan mata berkilau itu, lalu menatap wajah Kak Irsyad yang sedang tersenyum kepadaku.“Maaf, Kak. Aku nggak bisa. Untuk saat ini, aku masih ingin sendiri dulu. Belum memikirkan untuk menikah lagi ataupun terikat dengan siapa pun!” tolakku secara halus, sebab belum yakin juga siap untuk mencari pengganti Mas Arya.Aku pernah dikecewakan oleh pria yang ada di hadapanku ini, karena malu mempunyai calon istri yang tidak sempurna. Sekarang, tiba-tiba dia kembali datang, mengharap cinta itu kembali di saat ada hati lain yang mulai menyemaikan cinta dalam sanubari.“Aku janji tidak akan mengecewakan kamu lagi, La. Aku akan menjadi calon suami yang baik. Percayalah!” Kak Irsyad mengambil tanganku, menggengamnya erat lalu mencium bagian punggungnya.“Tapi aku belum bisa. Aku masih trauma dengan kegagalan!”Terdengar helaan napas berat lelaki dengan wajah penuh kharisma itu. “Maafkan aku, La. Karena sudah melukai hati kamu dulu. Demi Tuhan aku menyesal dan
Kita harus segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada Ibu, supaya bisa cepat tertangani. Sebab kalau dari ciri-ciri fisik yang saya lihat, penyakit yang diderita ibu itu sudah lumayan cukup parah. Terlebih lagi saat ini istri Bapak sedang mengandung.Wanita yang sedang hamil dapat menularkan penyakit gonore ke bayinya saat melahirkan. Penyakit gonore juga dapat menyebabkan kebutaan pada bayi, atau mengalami infeksi mata yang parah akibat bakteri penyakit gonore. Makanya secepatnya kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada Ibu, karena saya khawatir infeksi penyakitnya sudah menjalar ke rahim,” terang dokter panjang lebar, membuat dada ini terasa sesak seperti sedang terimpit benda berat.Jadi mungkin penyakit yang aku derita juga menular dari Siska, sebab kemarin ketika melakukan pemeriksaan juga dokter mengatakan hal yang sama. Ya Tuhan ....Sepertinya harus segera mengambil surat hasil laboratorium ke rumah sakit tempatk
“Silakan duduk, Bu?” Kupersilakan perempuan yang aku taksir berusia lebih dari setengah abad itu duduk, memanggil Siska tanpa memberitahu siapa yang datang. Mata bulat dengan iris hitam milik Siska terkesiap dengan kelopak membuka sempurna, saat melihat siapa yang bertamu. Sedangkan bocah berpakaian lusuh yang mengaku sebagai anaknya langsung menghambur memeluk istriku dan memanggil dia mama. “Aku bukan mama kamu. Kamu jangan ngaku-ngaku. Mana mungkin aku punya anak jelek seperti kamu ini!” Dengan kasar Siska mendorong tubuh gadis mungil tersebut, hingga bocah yang wajahnya mirip sekali dengannya itu jatuh terjengkang di lantai. “Mae, kamu itu dari dulu nggak pernah ada baik-baiknya sama anak. Biar bagaimanapun, Siska ini anak kamu! Kenapa kamu selalu kasar seperti ini sama dia. Kami jauh-jauh datang dari pelosok hanya karena Siska merengek minta ketemu mamanya, dan setelah sampai di sini kamu masih tetap saja tidak mengakui dia. Siska juga tidak pernah memaksa untuk dilahirkan, apa
Beranjak dari kursi plastik yang ada di teras, mengayunkan kaki masuk ke dalam kemudian merebahkan bobot di atas kasur lantai depan televisi karena malas seranjang dengan Siska. Geli rasanya kalau dia menyentuh tubuhku, apalagi saat ini dia sedang mengidap penyakit menular. Dia 'kan maniak. Tahu dirinya sakit juga masih tetap memaksa melakukan. *** Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap pergi ke kantor, karena ini hari terakhir menjalani training. Aku tidak mau sampai terlambat dan mendapatkan nilai buruk dari atasan. Pokoknya harus mendapatkan pekerjaan di sana, menjadi karyawan tetap supaya bisa kembali hidup layak dan bisa membayar hutang. 'Kan sayang kalau tanah Ibu juga diambil oleh rentenir, setelah bangunannya di robohkan oleh ayah mertua. Sepeda motor milikku menepi di parkiran PT Aliando Sejahtera. Sebuah mobil sport berwarna putih menepi tidak jauh dari tempatku memarkirkan sepeda motor. Seorang pria dengan wajah mirip sekali dengan Virgo keluar dari dalam mobil tersebut, l
Wah...Wah...Wah... Benar-benar berita segar. Ada sisi baiknya juga bertemu dia hari ini, karena akhirnya bisa tahu rahasia terbesar pria sok cool tersebut. Tidak kusangka, kalau ternyata dia sudah berkeluarga. Kasian sekali kamu Nirmala. Dipermainkan perasaannya oleh Virgo, dan dijadikan selingkuhan. Mungkin itu karma kamu karena sudah meninggalkan aku serta melukai hati ini. “Kamu mau langsung pulang apa mau ke mana lagi, Bang?” tanya perempuan berkerudung soft pink itu seraya menatap wajah Virgo. “Mungkin tidak pulang malam ini, Dek. Soalnya masih ada urusan. Titip Eca. Kalau butuh apa-apa cepet-cepet hubungi Abang. Jangan sampai kaya kemarin. Abang nggak mau anak Abang sampai terluka!” jawab Virgo sambil menciumi pipi anaknya. Buru-buru mengambil ponsel, membidikkan kamera ke arah mereka bertiga mengabadikan momen langka itu. Tidak sabar rasanya ingin bertemu Nirmala, menunjukkan foto tersebut supaya dia tidak lagi semena-mena dan merasa selalu di atas karena dicintai Virgo yan
Merogoh saku dalam-dalam, mengambil ponsel lalu menekan sebelas digit angka, hingga nama Pak Handoyo tertera di layar dan segera menekan tombol dial. Tidak aktif. Tuhan .... Rasa gelisah seketika menyelimuti hati, begitu takut kalau pria itu malah menjual tanah milikku kepada orang lain, kemudian kabur setelah mendapatkan uang dari penjualan tanah tersebut. Aku harus berusaha tenang dan tidak boleh gegabah. Bisa jadi dia hanya sedang jalan-jalan sebentar, dan besoknya akan kembali ke Jakarta lagi. “Mas, nyari Pak Handoyo juga?” Tiba-tiba seorang pria paruh baya menghampiri dan menegur. “Iya. Saya mau bayar cicilan, tetapi beliau tidak ada di rumah sepertinya,” jawabku mencoba bersikap santai. “Dia sudah lama menjual rumah ini dan pindah entah ke mana. Soalnya nggak pamit sama tetangga, kita tau dia pindah juga pas ada truk mengangkut barang, dan pas tanya sama sopir katanya Pak Handoyo mau pindahan.” Glek! Menelan saliva dengan susah payah, tubuh ini terasa limbung mendengar ka