Beberapa hari kemudian.
Setelah kondisi Roni membaik, dokter pun mengizinkannya pulang, meski Roni harus kembali dengan ingatan yang berbeda. Kini Roni memasuki rumah dengan bingung, rasanya semua yang ada dihadapannya seperti hal baru, ingatannya tak mampu menampung dimana ia berada saat ini.Pandangannya tertuju pada tiap sudut rumah yang menurutnya tak asing, namun entahlah saat Roni berusaha mengingat tempat ini, justru malah rasa sakit yang menghampiri kepalanya."Selamat datang kembali ya Ron, akhirnya kamu bisa pulang kerumah kita lagi," ucap Fatimah yang menuntun Roni memasuki rumah.Tak menjawab Roni hanya terdiam, dengan pandangan yang masih sama. Kini Fatimah pun membawa Roni memasuki ruang kamarnya, agar Roni dapat beristirahat."Kamu istirahat ya, ibu mau masak dulu buat makan siang kita nanti," ucap Fatimah yang lalu meninggalkan tempat.Kepergian wanita tua itu tak hilang dalam pandangan Roni, hingga kini tubuhnyaLangkah tegap Roni kini memasuki gedung bertingkat, tempat yang beberapa hari terakhir ini jarang dikunjungi olehnya. Melihat kedatang Roni, para pekerjanya pun berantusias menghampiri, tak jarang menanyakan kondisinya saat ini.Dengan ingatan yang sekarang, Roni sulit mengenali siapa saja yang telah menghampirinya, termasuk Mail, sang sekertaris yang berekspresi bahagia kala melihat bos besar kembali menginjakan kaki di perusahaannya."Pak Roni, selamat datang kembali! Alhamdulilah akhirnya bapak bisa kembali lagi di Zahni Group," ucap Mail menunduk sopan.Namun kedatangan Mail sendiri membuat Roni mengerutkan dahi, karena ia tak mengenal siapa laki laki muda yang saat ini dihadapannya itu."Ini pak Mail, dia sekertaris pribadi kamu Ron," jelas Aliya yang membuat Mail mengerutkan dahi.Saat ini Mail tak mengetahui apa yang terjadi pada CEO nya, hingga ia benar benar kebingungan saat mendengar Aliya kembali mengenalkannya pada Roni.
Hari demi hari berlalu, rasanya semakin hari Zahra dan Roni semakin sering bertemu. Namun karena Roni tak dapat mengingat apapun, Roni selalu bersikap acuh tak acuh pada Zahra.Menimbulkan sebuah tanya dalam hati Zahra, Sebenci itukah Roni padanya? hingga suatu saat, Kembali takdir mempertemukan Zahra dan Roni disuatu tempat.Dalam pertemuan singkatnya, pandangan mereka saling tertuju. Sementara Zahra yang tak dapat berkata apa apa pada sikap dingin Roni.Roni pun demikian, rasa sungkan untuk menyapa sang istri, karena ia tak tau yang sebenarnya jika wanita yang ia cari selama ini ternyata sudah ada dihadapannya.Ingin menyapa namun enggan, ingin menegur namun ragu. Itulah yang Zahra rasakan saat ini, rasanya bimbang, antara iya atau tidak?Hingga tak lama kemudian, Rizki yang kini datang menghampiri Zahra."Ra," panggilnya yang membuat pandangan Zahra berakhir.Seketika wajahnya menoleh pada sumber suara."Iya
"Aku ingetin sekali lagi sama kamu Ra, jangan lagi deket deket sama Rizki, dia ngga baik buat kamu," ucap Aliya yang membuat Zahra seketika memperhatikannya.Pandangannya tertuju tajam pada wajah Aliya."Kenapa Al? mas Rizki itu orang yang baik.""Baik kamu bilang? plis Ra buka matamu. Aku ada disini sekarang, dan aku pergi ninggalin dia itu karena dia jahat. Dia orang yang kasar, dia suka main tangan. Jadi dia bukan laki laki baik Ra.""Tapi Al, selama ini aku kenal dia orang yang baik, dari semua yang kamu ucapkan itu salah, seratus sembilan puluh derajat berbeda. Aku bisa hidup sampai sekarang itu berkat pertolongannya Al."Aliya mengernyitkan bibirnya setelah mendengar ucapan sang sahabat."Jangan jangan kamu mulai jatuh cinta ya sama Rizki?" tambah Aliya yang membuat Zahra tersenyum dan menggelengkan kepala."Jatuh cinta? Kamu salah Al, bahkan sampai saat ini aku masih mencintai suamiku. Dari dulu perasaan ini ngga
"Tunggu mas aku mau bicara," ucap Zahra yang mengikuti Roni keluar dari restorannya."Ada apa sih? saya ngga punya banyak waktu, saya sibuk ada pertemuan klien penting.""Mas sebentar aja ya, aku mohon.""Kalau untuk membahas hal yang ngga penting, maaf saya ngga bisa," ucap Roni yang lalu kembali melangkah.Menyakitkan, rasanya seperti sedang mengemis cinta. Setelah tau yang sebenarnya, kini Zahra kembali merasakan getaran cinta dalam hatinya.Namun sayangnya, ingatan Roni yang tak dapat menampung siapa Zahra dalam hidupnya. Ingatannya hanya tertuju pada Aliya, karena Aliya lah satu satunya wanita yang selalu ada untuknya."Harus dengan cara bagaimana lagi, agar aku bisa bicara sama kamu mas?" gumam Zahra.•••"Ron, ibu perhatiin semakin hari kamu semakin deket ya sama Aliya," celetuk Fatimah kala menyantap makan malam berdua dengan sang anak."Iya bu, karena Aliya juga orangnya asik, jadi enak aja ngo
Langkah jenjang Zahra kini memasuki gedung bertingkat, perusahaan Roni yang diberi nama Zahni Group, yang merupakan penggabungan nama antara Zahra dan Roni.Beberapa pekerja yang melihat kedatangan Zahra pun menunduk hormat, termasuk Mail. Yang sedikit melebarkan mata kala ia dapati wanita bersetelan blazer berwarna cream itu melangkah mendekat."Selamat siang bu Zahra," sapa Mail dengan menunduk sopan."Siang Mail, mas Roni ada kan?""Ada diruangan bu, silahkan masuk."Dengan cepat Zahra pun melangkahkan kakinya kembali, menuju ruangan CEO dan mengetuk pintu."Masuk."Terdengar ucapan itu yang membuat Zahra perlahan membuka pintu. Setelah tampak jelas di pandangan, Roni pun terbelalak."Kenapa kamu bisa masuk? kamu kan tidak ada janji dengan saya," ucap Roni.Jelas saja Zahra bisa masuk, karena pintu perusahaan ini terbuka lebar untuknya. Tidak harus dengan janji ataupun izin, semua pekerja disini suda
"Bagaimana Ron, apa kamu udah bilang ke Aliya? terus dia mau ngga?" tanya Fatimah yang kembali membuat Roni terdiam."Belum bu, susah bilangnya, lidah ku kaku, ngga tau kenapa aku juga ngerasa ngga ada perasaan apa apa bu sama Aliya.""Perasaan itu bisa menyusul Ron, cinta akan tumbuh dengan sendirinya, apa kamu mau sampai kamu tua kamu sendiri kaya gini terus?"Kembali terdiam mendengar ucapan Fatimah, dan membuat Roni harus berfikir dua kali.Dengan cepat Roni meraih ponselnya dan menghubungi Aliya. Meminta Aliya untuk menemuinya ditaman.•••"Kenapa Ron? tumben ngajak ketemuan."Dengan ragu Roni sampaikan keinginan sang ibu, meski rasanya berat, namun ia harus tetap mengatakannya. Mengingat rasa kesepian yang kian melanda, membuat Roni mau tak mau menurutinya.Perlahan Roni mengatakan apa niatnya, meminta Aliya untuk menjadi istrinya. Terbelalak tak menyangka dengan apa yang didengar."Apa? istri?" u
"Ron, kamu ngga bisa kaya gini terus. mau sampai kapan kamu melupakan perusahaan mu? kamu harus cari orang buat ngerawat tante Fatimah Ron, jadi kamu juga bisa beraktifitas seperti biasanya lagi. Kamu harus inget Ron, perusahaan sangat membutuhkan kamu."Terdiam kala mendengar wejangan yang terucap dari bibir sang sahabat. Dihalaman depan rumahnya Roni yang kini sedang menyirami tanaman. Perlahan mematikan kran dan menaruh selang yang sedari ia pegang.Ini adalah tugas Fatimah sebelum ia sakit dan masih bisa mengurus rumah, karena pembantu rumah tangganya sedang cuti beberapa minggu kedepan. Setelah Fatimah sakit, kini Roni yang harus menggantikan tugas itu.Beruntung Roni bukanlah seseorang yang meninggikan diri, meski ia CEO namun sifatnya selalu merendah."Kamu bener Al, tapi buat cari orang yang bener bener bisa dipercaya buat ngerawat ibu itu ngga mudah Al, butuh waktu yang lama juga," ucap Roni seraya terduduk dikursi panjang yang terletak ditengah halaman rumahnya.Sementara dar
"Bu, aku berangkat dulu ya," ucap Roni dengan penampilan yang sudah rapi.Meraih tangan Fatimah lalu menciumnya, teriris hati Zahra kala memperhatikan pemandangan dihadapannya pagi ini. Ingin rasanya meraih tangan itu juga lalu menciumnya dengan takzim, namun sayang semua terhalang ingatan. Ingatan Roni membuat keadaan terasa sangat menyakitkan."Jaga ibu saya baik baik, saya ngga mau terjadi apa apa sama ibu saya," tambah Roni yang menatap wajah Zahra dengan tajam.Tanpa basa basi dan tanpa sebutan panggilan, Roni berbicara pada sang istri."Baik mas."Sementara Fatimah yang bersedih melihat sang menantu, ia tau hati Zahra saat ini sedang bersedih karena tak dapat menyentuh suami yang ia rindukan itu.Setelah Roni tak lagi terlihat, Zahra pun menghela nafas, dan perlahan terduduk dihadapan sang mertua."Aku sedih bu, harusnya aku bisa cium tangan mas Roni, aku bisa peluk dia aku bisa semangatin dia saat dia mau berangka