“Bisa ... sangat bisa aku membuat kamu masuk bui, tapi setelah itu lalu apa? aku akan sama jahatnya kalau begitu. Penyesalan aku bahkan lebih besar dari keinginan aku untuk memasukkan kamu ke sana. Penyesalan karena sudah membohongi mama dan ibu. Aku mengalami masalah mental cukup dalam ... karena penyesalan itu. Sekarang aku sudah sembuh .. jadi tolong jangan diingatkan itu lagi,” tegas Yudith. “Iya maaf ... aku memang selain berbisnis baru, aku sudah menetapkan diri untuk jadi lebih baik. Mungkin kamu enggak pernah percaya ... aku sungguh-sungguh menyesal sama kamu, Yuidth,” tandas Rajendra. Yudith menghela nafas kecil, keputusannya ikut mobil Rajendra sepertinya tidak tepat. Ia sekarang menyesal mengorek luka lama saat diingatkan kembali dengan hal tersebut yang susah payah ia coba singkirkan satu tahun terakhir. Begitu mobil berhenti di lobi kantor, Yudith segera hendak turun akan tetapi tertahan oleh sebuah pertanyaan luar biasa dari
Yudith bukan penggemar clubing maupun hiburan malam, ia dididik sehat oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi saat ia diajak menemani Briana yang tengah bertengkar dengan calon suaminya ke sebuah club, ia tidak mampu menolak. Ia tidak minum tentu saja walau bisa, ia akan menemani, hanya menemani dan berjaga-jaga jika Briana mabuk berat nanti. “Aku enggak mau mengurusi kamu muntah ya, Bri,” tegur Yudith saat botol kedua tandas oleh Briana seorang. “Ini mah gancil, Yudith. Aku biasa lebih keras dari ini. Sialan sekali memang Xander, sudah gua bilang Yudh kalau gua enggak mau pakai kebaya yang ribetnya ampun-ampunan, belum kepala pakai konde segede gaban. Bisa pecah pecah kepala gua, Yudh,” gerutu Briana.Yudith menghela nafas. “Iya sudah minumlah dulu, sana joged. Jangan mau dicolek-colek, tendang langsung burungnya kalau ada yang berani jelalatan tangannya.” “Sialan jangan ingatkan aku untuk tetap jadi anak baik,” kekeh Briana.
“Kenapa bisa terlambat?” bisik Galuh kepada Yudith. Pagi itu Yudith harus menemui salah satu klien bersama Galuh di salah satu ruangan meeting di kantornya. Pertemuan pukul delapan dan Yudith datang pukul delapan lebih lima menit di mana semua tim sudah duduk di sana tengah menunggu dirinya. “Maaf bapak dan ibu sekalian, saya pecah ban mobil saat ke sini. Baik mari kita segera mulai,” tukas Yudith tanpa menjawab pertanyaan sepupunya. Yudith berbohong mengenai pecah ban, ia bahkan tidak membawa mobil dan menaiki ojek online agar cepat sampai kantor. Ia bangun kesiangan dengan kepala berdenyut kencang, jika bukan mamanya yang menggedor pintu secara brutal karena Yudith tidak kunjung turun, maka habislah Yudith tidak akan bangun. “Benar pecah ban? Di mana mobilnya sekarang?” tanya Galuh setelah pertemuan selesai dengan lancar.Yudith meringis. “Aku kesiangan bangun, bang.” “Astaga ... habis nga
“Ada apa dengan klausul nomor sepuluh?” Yudith melanjutkan meeting segera setelah selesai menunggu Rajendra mengobati luka di bibirnya. Yudith menghela nafas panjang setelah meeting selesai namun belum tercapai kesepakatan. Beberapa harus mengalami revisi dari dua belah pihak. Ternyata memang Rajendra pebisnis handal, tidak main-main nominal yang kantornya siapkan dan ditolak mentah-mentah oleh laki-laki tersebut dengan menegaskan ia tidak ingin membahas nominal di awal meeting yang bahkan belum tercapai kesepakatan. “Terima kasih obatnya?” Sebuah suara mengakhiri lamunan panjang Yudith, ia tengah di samping mobil Galuh pada jam pulang kerja. “Kenapa Bapak masih berada di sini? meeting selesai dari siang kan?” Bukan menjawab melainkan Yudith justru bertanya mengapa Rajendra masih berada di sana. “Habis mengopi tadi sama teman di seberang, mobil aku masih di sini.” Rajendra menunjuk mobilnya di ujung bangunan
Yudith mengakhiri sesi berendamnya karena air di bathup sudah mendingin. Kepalanya berat, sakit semenjak pengakuan konyol Rajendra dua hari lalu. Yudith tidak pernah lagi percaya dengan apa pun ucapan yang keluar dari mulut Rajendra. “Mama ... ke tempat papa Yuk.” Yudith memeluk mamanya dari belakang, sang mama tengah membuat puding rumput laut kegemarannya. “Mendadak sekali, kangen papa ya?” Mama membelai punggung tangan Yudith di perutnya.Yudith mengangguk. “Iya ... kemarin aku mimpi papa.” “Baiklah Sayang, setelah ini selesai dulu ya.” Mama menoleh mendaratkan kecupan pada pipi putrinya. Yudith membawa keranjang bunga di tangan kiri dan menggandeng mama dengan tangan kanan. Menyusuri jalan setapak dengan banyak batu nisan di sebelah kiri dan kanannya. Menuju satu pusara, keduanya jongkok di sana berhadapan. Mulai mengambili daun kering di atas pusara sebelum meletakan bunga di sana serta air mawar.
“Lebih baik kamu pulang sekarang,” bisik laki-laki kurang ajar yang sudah Yudith hantam dengan clutch. “Berhenti ikut campur dan enyah dari hadapan aku, kamu lama-lama seperti bakteri ya menyebar di mana-mana tidak tahu tempat.” Yudith melenggang meninggalkan tempat ia menyerahkan undangan sebelum menjadi tontonan banyak orang karena perdebatan mereka. Yudith tahu jika ia dibuntuti dan tetap melenggang anggun mencari pemilik acara. Acara tersebut bukan acara resmi seperti peresmian kantor atau sejenisnya. Melainkan acara sejenis perayaan akan sebuah pencapaian pada satu perusahaan yang bergerak dibidang komunikasi. Pemilik acara adalah rekanan almarhum papa Yudith. “Berhenti mengekori aku, astaga,” geram Yudith. “Anggap saja aku enggak ada,” tukas Rajendra. Yudith menarik nafas panjang, sungguh menyebalkan ulah Rajendra. Yudith mengambil puding buah dan membawanya ke sebuah meja di mana ia su
“Hati-hati ya Sayang, Mama akan minta Galuh selalu pantau kamu selama di Singapura.” Mama memeluk Yudith saat sang putri hendak berangkat ke bandara dengan Galuh di sampingnya.Galuh tertawa kecil. “Siap Tante, aku akan taruh Yudith di ketek aku biar selalu aman.” Yudith daratkan cubitan pada lengan Galuh yang masih saja bercanda, mamanya memang selalu cemas berlebihan saat dia harus ke luar kota atau ke luar negeri untuk keperluan pekerjaan meskipun ada yang mendampingi. Namun mereka semua tahu jika Galuh akan menemani Yudith menemui klien namun tidak mengantarnya pulang ke Jakarta. Galuh akan terbang kembali menuju Kanada untuk memboyong keluarga calon istrinya. “Mama jangan cemas, aku hanya sendirian sehari saja di sana. Enggak ada sehari malah, hanya setengah hari. Mama juga baik-baik ya selama aku di sana.” Yudith memeluk mamanya dengan senyuman lebar. Yudith lebih banyak mempelajari perusahaan rekanan selama perjalanan
“Memangnya enggak bisa di simpan sama asisten kamu? aku bukan orang senggang yang bisa antar jas dan menemui kamu di luar seperti ini.” Yudith meletakan paper bag di meja saat baru saja sampai di lokasi pertemuannya dengan Rajendra. “Kan aku juga sudah bilang enggak perlu dikembalikan buru-buru, atau enggak usah dikembalikan sama sekali juga enggak masalah,” kilah Rajendra. “Buat apa aku simpan, ini sudah kan? aku langsung pulang saja ya?” Yudith bahkan tidak mendudukkan dirinya di kursi. “Bukan hanya kamu yang sibuk, Yudith. Berhenti terus menanduk ... kamu terlihat memaksakan diri terus marah-marah sama aku. Duduklah sebentar,” pinta Rajendra dengan suara pelan. “Memangnya aku harus berbaik-baik sama kamu? aku duduk karena sebagai ucapan terima kasih saja,” dengus Yudith. “Iya baik ... baik ... begitu juga enggak apa-apa.” Rajendra menyingkirkan paper bag ke kursi sampingnya dengan senyuman