Pesta bergulir sampai jam 12.00 malam, bosku minum bersama rekan-rekannya, sampai dia setengah mabuk dan sempoyongan. Seperti biasa aku dan ustadz pribadinya membantu pria 40 tahun itu menuju ke mobilnya. Kami menaikkan lelaki itu ke mobil lalu sedikit mengendurkan dasinya, kemudian aku minta sopir untuk membawanya segera pulang. "Tunggu!" Pria itu memegang tanganku. "Antar aku!""Ini sudah malam Pak, saya harus pulang, supir anda akan mengantar anda.""Tidak, kau harus mengantarku!" Jawabnya bersikeras, dia yang mabuk dan terlihat sudah tak kuasa bergerak lagi, membuatku terpaksa mengikuti keinginannya. Aku terpaksa masuk ke mobil sebelum ia berteriak dan membuat malu semua orang. *Di perjalanan, Lelaki itu bernyanyi, tertawa dan terus menetapku sementara sopir yang ada di depan kami terus melirik diri ini dari kaca tengah. "Maaf ya Nyonya mohon dipahami," ujar supir tersebut."Kalau tuan mabuk selalu begini?" "Ya, Nyonya. Walau terlihat senang sebenarnya beliau sangat sed
"Kenapa kau lakukan ini padaku!" Lelaki itu menatapku dengan bola mata berkaca-kaca sekaligus berkilat penuh kemarahan. Aku tidak mengerti dia marah tentang apa, dia marah karena semalam bosku mengumumkan sesuatu tentang kami ataukah ini tentang gaji dan tunjangan yang dipotong."Apa maksudmu, memangnya Apa yang kulakukan?" Aku bertanya dengan santai sambil menatapnya dan jariku tetap berada di atas keyboard komputer. "Kenapa kau potong tunjangan kesehatanku. Aku belum pernah sakit sama bekerja jadi aku berhak untuk klaim uangnya, kenapa kau hapus tunjangan itu.""Jawabannya sederhana. Karena kau tidak menggunakannya jadi kualihkan pada karyawan yang rentan sakit dan pekerjaannya jauh lebih penting darimu," balasku sambil melipat tangan di dada. "Tapi semua orang berhak atas asuransi kesehatan kenapa hakku sebagai karyawan?""Karena aku adalah kepala kesejahteraan jadi akan kulakukan mana yang bagus menurutku," balasku. "Kau tahu aku memerlukannya kan?""Untuk apa? Untuk menikah a
Selagi bersama bosku yang asik menikmati pijitan di kakinya, Pria bodoh itu masih menonton televisi sementara aku sibuk berpikir bagaimana cara mendapatkan setengah dari kekayaannya. Satu-satunya hal yang akan membuatku mendapatkan itu adalah menikahinya dan aku harus memastikan bahwa dia sedikit-sedikit akan menumbuhkan kepercayaannya padaku lalu aku bisa merebut hatinya. "Apa kau tidak lelah?" tanyanya tertawa kecil."Sangat lelah, tapi saya harus bekerja!""Ini bukan lagi jam kerja.""Atasan saya meminta saya melakukan sesuatu, Jadi saya harus patuh!" "Benar juga! Tapi apa kau bisa menjamin kesetiaanmu padaku, dan betapa kau akan bersikap loyal sampai akhir?""Entahlah, tergantung kebaikan anda pada saya," balasku mengangkat bahu. "Apa kemurahan hatiku yang kau inginkan?""Saya ingin anda memaafkan saya dan memberi saya kesempatan. Saya tidak akan mengulangi kesalahan saya.""Masalahnya... Jika seseorang merusak kepercayaanku, maka selamanya, aku tidak akan pernah mendengar mer
Aku tertegun dengan pemandangan itu kaget bahwa apa yang dijanjikan bosku ternyata terjadi sesuai dengan ucapannya. Dia mengirimkan beberapa orang untuk memberikan wanita itu pelajaran dan aruni mendapatkan malam terburuk dalam hidupnya.Boleh jadi setelah ternodai, wanita itu akan syok dan trauma, Mungkin dia harus ke rumah sakit untuk merawat diri dan melaporkan semua ini ke kantor polisi, atau bisa jadi dia akan menutupi aibnya sendiri dan bertahan dengan luka itu sampai akhir hidup. Yang pasti, tidak ada hal yang menguntungkan untuknya.Aku merasa bersalah atas akibat yang harus dituainya sekarang, tapi kupikir itu adil dan sepadan dengan harga keluarga yang ia hancurkan. Kemarin anak-anakku bahagia berkumpul dengan kedua orang tuanya tapi sekarang kami terpisah dan harus hidup seadanya, keluarga kami hancur dan bahkan untuk bertemu ayahnya anak-anak harus buat janji dulu. *Aku berangkat kerja seperti biasa, berjalan dengan anggun lalu meletakkan ID pengenal di gerbang utama s
Sebenarnya aku paham syariat agama dan bagaimana hukum yang mewajibkan tentang perkara ahli waris dan nafkah bagi anak-anak yatim yang sudah kehilangan ayahnya. Aku mendukung hal tersebut, tidak keberatan sama sekali karena apa yang sudah ditetapkan agama, pasti ada maslahatnya untuk keluarga besar kami serta anak-anak yang ditinggalkan. Sejak meninggalnya Mas Hilman, suamiku, Mas Arman, beliaulah yang bertanggung jawab untuk menafkahi janda kakaknya, Aruni. Wanita itu sepantaran denganku, umur dua puluh sembilan tahun, dan punya anak laki laki yang kini duduk di bangku TK, setara dengan anakku yang sulung. Tadinya kehidupan keluarga kami baik-baik saja, tapi perlahan semuanya berubah seiring dengan berjalannya waktu, seiring dengan bertambahnya beban dan tanggung jawab suamiku untuk menafkahi dua keluarga. Keluarga kami dan keluarga janda kakaknya. Sebenarnya aku ingin bertanya pada diriku sendiri, mengapakah harus suamiku saja yang menafkahi wanita itu, padahal dalam keluarga m
"Apa tidak berlebihan untuk selalu memanjakan Mbak aruni, kau terlalu mengikuti keinginannya, Mas, itu sama sekali tidak elok dilihat," tegurku pada suamiku yang saat itu sedang bermain ponsel. Ia nampak kelelahan dan penat sekali dengan pekerjaannya, seharusnya aku tidak membahas hal itu tapi aku sudah tidak tahan lagi. "Apa kau mendengarku?" "Ya, ya." Dia menjawab tapi tatapan matanya tidak memandang ke arahku. "Ingat Mas, yang harus dinafkahi adalah anak dari kakakmu, Gilang, bukan ibunya! Tanggung jawab nafkah ibunya kembali kepada walinya.""Aku mengerti Itu, jangan kau ulang-ulang lagi aku juga mengerti Hanifah. Aku hanya bertekad menafkahi mereka setidaknya sampai anak itu berusia 12 tahun."Apa? Jantungku bergemuruh mendengar suamiku menyebut kata 12 tahun. Masya Allah, anak itu baru 5 tahun berarti 7 tahun lagi, mereka masih punya kesempatan untuk berbahagia dengan uang suamiku. Sebenarnya aku ikhlas bersedekah, tapi tidak dalam keadaan diperas dan ditekan seperti ini, s
"Jangan bertingkah di luar nalar, tolong kembalikan kartu atm-ku karena aku butuh sekali dengan itu.""Tidak bisa, Aku akan pergi ke anjungan tunai dan memindahkan semua isinya ke rekening kami, lebih baik kau gunakan uang itu untuk kebutuhan anakku daripada kau terus memberikannya kepada iparmu. Apa kau tidak sadar Mas dalam satu bulan kau bisa menafkahinya lebih dari 7 juta, sementara aku hanya menghabiskan 4 sampai 5 juta, itupun juga masih bersisa!""Astaga, Kenapa kau malah menjadikan wanita malam itu sebagai sainganmu, aku hanya berusaha bertanggung jawab."Wanita malang katanya, hidupnya dan gaya berpakaiannya yang hedon sama sekali tidak menunjukkan kalau hidupnya Malang, bahkan dia melunjak dan memanfaatkan kebaikan hati kami. "Sudah kubilang, kau hanya bertanggung jawab kepada keponakanmu, bukan kepada wanita itu! Dia bisa mengurus dirinya sendiri dan dia masih punya keluarga!""Ya ampun, aku kehabisan kata-kata dengan tingkahmu yang aneh!" Jawab Mas Arman sambil mengacak r
Kupikir semudah itu menegur suamiku, semudah itu membentang jarak agar dia bisa menjaga diri dan tidak terlalu dekat dengan mantan iparnya yang sudah jelas bukan mahram. Aku berusaha agar mereka tidak terlalu intens bertemu atau berkomunikasi tapi sepertinya, untuk membuatnya menjadi kenyataan itu agak sulit. Wanita itu saling menelpon suamiku, dan akulah yang mengangkatnya. Aku tanyakan apa tujuannya dan dia selalu punya alasan masuk akal agar Mas Arman membantunya, juga menuruti semua keinginannya."Mba Hani, Aku boleh minta izin buat diantar Mas Arman untuk membawa Gilang berlomba ke tingkat kecamatan. Kau tahu anakku cukup berbakat dalam hal melukis jadi aku ingin mendukung dan mengembangkan prestasinya. Apa boleh?""Saya bukannya tidak izinkan Mbak tapi minggu-minggu ini suami saya sibuk sekali, jika tidak begitu urgent saya sarankan untuk menyewa mobil saja atau sopir pribadi.""Saya tidak berani pergi dengan orang yang tidak saya kenali, satu-satunya ipar yang baik dan dekat