Aku mau menikahi Dinar karena harapanku dia sepertimu, Khuma.Ketika melihat Khumaira mencoba untuk tersenyum kepada lawan bicaranya, kepada Gifar—lelaki yang pernah membuat luka, bisikan di dalam dada tak bisa dihindari. Gifar masih terus terbayang-bayang oleh sosok wanita seperti Khumaira yang baginya berhati malaikat.“Iya, Mbak Khuma. Masa lalu biarkan menjadi kenangan yang nggak perlu diulang. Mbak Khuma sendiri sudah sangat bahagia berumah tangga dengan Pak Akmal. Kami juga pasti akan menyusul kebahagiaan itu seperti kalian. Iya kan, Mas Gifar?”Dinar menanggapi perkataan dari Khumaira. Ia menoleh melihat Gifar. Namun, lelaki itu malah terperanjat.“I—iya, Sayang. Tentu saja kita akan bahagia.”Gifar tergagap. Sorot mata yang tadinya tertuju ke arah Khumaira langsung dilempar dan fokus kepada calon istri yang ada di sebelahnya.“Doa terbaik untuk kalian. Aku ikut bahagia dengan kabar pernikahan yang sebentar lagi akan terlaksana.”Akmal mengatakannya seraya merangkul pundak Khum
“Sayang! Bangun, Sayang!”Akmal menggoncangkan tubuh istrinya yang tergeletak di lantai karena tak sadarkan diri. Wajahnya sangat cemas. Ia yang baru dari kamar mandi, kemudian mencari-cari keberadaan istri dan anaknya dikejutkan oleh orang-orang yang berkerumun. Apalagi ponsel Khumaira tak aktif. Lelaki itu semakin gelisah hingga menyadari kalau sesuatu yang dikerumuni itu adalah istrinya yang kehilangan kesadaran.“Apa kalian ada yang melihat bayi satu tahunan yang bersama istriku di sini?”Pertanyaan itu keluar dari mulut lelaki yang perasaannya sedang tak karuan. Ia bertanya kepada siapa saja yang berkerumun di sekitarnya. Ia sangat berharap ada yang mampu menjawabnya. Bukan hanya takut terjadi hal buruk menimpa Khumaira yang sedang tak sadarkan diri, Akmal juga begitu cemas karena anak semata wayangnya tak terlihat di sekitar Khumaira.“Aku yang pertama melihat Mbak yang nggak sadarkan diri ini tergeletak di lantai. Di sekitarnya nggak ada siapa-siapa. Dia hanya sendiri,” jawab s
Ponsel yang Riko genggam tiba-tiba berbunyi. Ia segera menggulir layarnya untuk menanggapi telepon yang datang dari Lidya.“Ko! Aku baru baca broadcast dari adminnya Mbak Khuma, bukan kamu pelakunya kan, Ko?”Tanpa berbasa-basi, Lidya menyampaikan prasangkanya. Karena ia tahu kalau Riko menyukai Khumaira, wanita itu tak mau temannya malah berbuat nekat.“Pelaku apa sih, Lid?” Wajah Riko semakin ditekuk.“Bukan kamu yang menculik Akra kan? Kamu jangan bertindak bodoh hanya gara-gara suka sama Mbak Khuma, Ko.”“Ngaco! Aku mau nyulik dia gimana coba, Lid? Ini saja aku mau cari tahu dan menanyakan kebenarannya sama pihaknya Mbak Khuma. Kamu mau ikut nggak?”“Jangan bohong kamu ya, Ko! Jangan sampai bersandiwara di depanku!”“Ya ampun, Lid! Aku harus ngomong gimana lagi coba? Udahlah, kalau nggak percaya. Aku mau cari info yang jelas dulu. Kalau ikut, aku akan menjemputmu.”Desahan kasar terdengar oleh Riko.“Nggak, Ko. Aku nggak bisa ikut. Aku lagi pergi sama suamiku. Kamu pokoknya jangan
“Riko, Bu?” tanya Akmal menegaskan sekali lagi. Alisnya bahkan hampir menyatu.“Iya, cepat ditemui. Ibu mau ke kamarnya Khumaira lagi. Dia butuh teman biar rasa sedihnya sedikit menghilang.”Halimah berusaha untuk tersenyum meski perasaannya tak beda dari Khumaira, lantas wanita itu melangkahkan kaki menuju ke kamar anak perempuannya yang sedang bersedih.“Riko yang kamu curigai itu, Mal?” tanya Haikal. Ia membuntuti adik iparnya yang berjalan menuju Riko berada.Akmal mengangguk.“Iya. Nggak tahu dia ke sini mau ngapain. Atau mungkin mau berdiskusi mengenai dirinya yang sudah berani menculik anakku?”Rasa curiga itu ditegaskan dalam ucapan. Semanjak tahu Riko seakan mencintai istrinya, Akmal makin geram. Ditambah, sekarang terjadi sesuatu hal yang membahayakan nyawa anak semata wayangnya, Akmal makin kesal pada lelaki itu. Amarahnya sulit diatur kalau berhubungan dengan Riko.“Apa itu mungkin, Mal?” Keningnya mengernyit.“Bisa saja begitu. Buat apa lagi dia datang ke sini?”Haikal me
Riko menggeleng lagi. Wajahnya menjadi kusut karena tuduhan yang sejak tadi menderanya.“Bukan aku, Mas. Aku juga nggak paham tentang tuduhan surat yang kutulis untuk meneror Mbak Khuma. Aku sama sekali nggak tahu, Mas.”Riko terus mengelak dan berharap orang-orang yang ada di rumah itu, terutama Khumaira, bisa mempercayainya.Akmal membimbing Khumaira untuk kembali duduk di dekat Halimah. Kemudian, ia bersiap membantah perkataan yang Riko ucapkan.“Akui sekarang agar hukumanmu bisa lebih ringan!” bentak Akmal seraya menetap sengit lelaki yang datang bertamu.“Aku harus mengakui apa, Mas? Kalau bisa, aku justru ingin membantu pencariannya.”Akmal menyeringai sambil mengembuskan napas dengan kasar.“Membantu? Itu hanya akal-akalanmu saja kan? Padahal kamu sudah tahu di mana tempat Akra disembunyikan?”“Nggak, Mas. Aku merasa iba, jadi ingin membantu mencarinya, Mas.”“Omong kosong! Kalau kamu tetap mengelak, lebih baik pergi dari sini! Biarkan polisi nanti yang akan menangkapmu! Awas k
Dinar yang sudah bangun, perlahan mengambil ponselnya.Baguslah.Senyum tersimpul kala membaca pesan yang ada di aplikasi berwarna hijau.“Sayang, kamu sudah bangun?” tanya Gifar dengan suara parau.Dinar tersentak, lantas menoleh sambil menyunggingkan senyuman walau agak kaku.“Iya, Mas. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” Ponsel yang digenggam, diletakkan kembali di nakas.“Iya, karena ada kamu.”Dinar mendekat. Kemudian, memeluk lelaki yang kini sudah menjadi suaminya.“Pagi-pagi sudah lihat HP? Ada informasi apa?” tanya Gifar lagi seraya memeluk istri barunya.“Nggak ada. Hanya iseng. Kamu juga sudah melihat isi HP-ku kan, Sayang?”Bola matanya bergulir menatap lelaki itu.“Iya, aku percaya kok. Tanpa harus membuka HP-mu aku juga nggak masalah. Tapi, kamu sendiri yang menyodorkannya terus-terusan.”“Biar hubungan kita langgeng, Mas. Nggak ada yang ditutup-tutupi.”Gifar tak menjawab. Ia mendaratkan beberapa kali kecupan ke wajah Dinar.Waktu itu, semua jejak digital sudah kupindah ke tem
“Bu! Astagfirullah! Ibu!”Seketika, Gifar panik. Orang tua yang begitu disayangi kehilangan kesadaran.“Ibu!”Lelaki itu menggoncangkan badan ibunya berharap Laela akan sadar kembali. Namun, semua sia-sia.“Ibu harus dibawa ke rumah sakit, Mas!” Dinar tak kalah panik.“Iya! Ayo, cepat, kita bawa Ibu ke rumah sakit!”Gifar malah sibuk mencari kunci mobil yang lain mengingat mobil yang biasa dipakai memang sedang ada di bengkel. Sesuai perkataannya tadi.“Mohon maaf, Pak Gifar. Kami harus segera membawa Anda ke kantor untuk memenuhi proses hukum.”Seorang pihak kepolisian kembali mengingatkan tugasnya berada di rumah Gifar saat ini.“Aku akan antar ibuku ke rumah sakit dulu. Setelah itu, aku akan datang memenuhi panggilan walau aku nggak pernah menculik siapa-siapa!”Tatapan Gifar begitu tajam. Saat ini, perasaannya begitu berkecamuk. Padahal, ia mengharapkan kebahagiaan setelah pernikahan terjadi. Ini malah kebalikannya.“Baik, Pak. Kami akan menugaskan salah satu personil untuk mendam
“Apa maumu, Gi! Ha! Beraninya menculik keponakanku! Apa otakmu nggak dipakai? Masih saja menyakiti Khumaira! Bukannya kamu sudah punya calon istri? Tapi, apa ini, ha! Memangnya kamu pikir, dosa yang dulu sudah terampuni hingga dengan bodohnya membuat dosa yang baru seperti sekarang? Awas, kalau Akra sampai terluka!”Kerah dicengekeram. Haikal melotot sambil mengungkapkan kekesalannya di depan Gifar. Napasnya yang memburu tampak dari gerakan dada yang naik-turun. Bahkan Gifar begitu merasakan aura kemarahan dari mantan iparnya itu.Tak kalah kesal, Gifar berusaha melepaskan cengkeraman itu. Tuduhan yang digaungkan oleh banyak pihak membuat darahnya seakan mendidih. Ia tak mau memperpanjang masalah ini, karena dia merasa tidak melakukan apa-apa.Pihak kepolisian membantu Gifar melepaskan diri dari cekalan tangan yang begitu kuat. Tentu karena ingin kondisi tak semakin memanas dan tidak ingin terjadinya baku hantam yang akan merugikan banyak pihak.“Jangan membuatku semakin marah!” ketus