6 bulan kemudian, Sejak statusnya berubah menjadi satu-satunya nyonya rumah, pintu bangunan salah satu mansion terkunci dengan rantai besi. Meskipun dibiarkan kosong tanpa penghuni, namun keberadaanya akan tetap diingat oleh siapapun yang ada di mansion. Lucca melarangnya untuk mendekati tempat itu apapun alasannya, namun Abigail selalu ingin pergi kesana. Sekedar ingin melihat juga memahami, kenapa wanita itu memilih menyerah akan cintanya dan pergi begitu saja. Abigail belum bisa melupakan perihal Rosetta meski sudah berlalu begitu saja. Abigail memasuki satu-satunya kamar dalam bangunan itu yang dulu pernah dia datangi. Keadaanya masih tetap sama meski nampak berdebu. Rosetta meninggalkan barang-barangnya begitu juga lukisan Lucca. Entah apa yang dibawanya saat kabur dan tidak pernah terdengar kabarnya lagi hingga detik ini. Tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Lucca belum bisa menemukannya. Saat ingin memeriksa beberapa laci di dekat tempat tidur, tiba-tiba tubuhnya t
Sejak setengah jam yang lalu, Lucca nampak resah setelah anak buahnya melaporkan sesuatu padanya. Abigail yang sedang menikmati pastanya di salah satu restoran di Napoli jadi bertanya-tanya, kenapa Lucca nampak tidak tenang seperti itu. Saat ini memang sedang diadakan festival tahunan Naples hingga keadaan di luar begitu ramai. "Hei.” Abigail mengenggem jemari suaminya. "Apa terjadi sesuatu?" "Tidak. Habiskan saja makananmu." "Tapi ekspresimu begitu gusar." Lucca menghabiskan wine-nya, "Hanya kedatangan tamu tidak diundang." "Tamu?" Abigail menelengkan kepalanya. "Tamu penting?" "Tidak!" Lucca berdiri dari duduknya dan mengecup pipinya membuatnya bingung. "Kau tunggulah di sini sebentar. Aku akan membereskannya." Tamu yang sangat penting. Abigail tahu itu dari ekspresi Lucca dan sikapnya yang turun tangan sendiri. Abigail menatap punggung suaminya melalui dinding kaca yang perlahan menjauh dan menghilang di balik bayang-bayang bangunan. Menunggu selama beberapa saat hingga dia
"Mereka sudah pergi." Lucca bergeming di sampingnya, sama-sama memandangi lautan di kejauhan. Membiarkan saja tangannya yang satu digenggam erat oleh suaminya yang nampak gusar akan sesuatu. "Aku harap mereka tidak pernah kembali lagi kemari." "Aldrick sahabatmu, right?" "Dulu." Pasti ada sesuatu yang terjadi diantara keduanya hingga Lucca terlihat marah jika membicarakannya. "Itu dulu." Lucca berbalik menghadapnya dengan tatapan menyelidik. "Apa yang kau bicarakan dengan Zafier?" "Tentang Mama dan adikku. Mereka baik-baik saja." Abigail menatap jauh ke arah cakrawala. "Memberiku sedikit rasa tenang karena mengetahui kepastian kabar mereka." "Aku ikut senang." "Tidak bisakah kau membiarkan aku pergi sebentar menemui mereka?" "Apa kau akan kembali jika aku mengizinkan?" Mereka saling menatap dalam diam. Tatapan Lucca mengunci manik matanya dan memenuhinya dengan anggapan bahwa sekalipun ke ujung dunia dia menghilang, lelaki itu akan mencarinya sampai ketemu. "Jika aku memang
"Mereka mencarimu ke seluruh kota." Abigail memalingkan wajah dari para pejalan kaki di luar dan membiarkan tirai jendelanya tertutup lalu menghampiri seorang wanita yang duduk di kursi meja makan. "Cepat atau lambat, mereka pasti akan segera menemukanmu." Pelafalan bahasa inggrisnya yang baku dengan logat Italianya yang kental, menjadi penghubung komunikasi mereka berdua sejak pelariannya seminggu yang lalu."Aku tahu." Abigail tersenyum. "Aku harus secepatnya pergi dari sini.""Tanpa surat-surat?" Nada suaranya terdengar khawatir. "Itu akan sulit."Siapa yang sangka, dia sedikit beruntung dalam pelariannya saat ini. Setelah keluar dari mobil box yang berhenti di belakang salah satu restoran untuk menurunkan bahan makanan, Abigail berkelana sendirian mencari penginapan. Akan lebih baik baginya untuk diam di dalam ruangan tertutup sembari memikirkan rencana selanjutnya dari pada berkeliaran di jalan yang beresiko ditemukan anak buah Lucca. Namun, tidak ada satupun tempat penginapan ya
Perasaan tidak mengenakan itu menelusup di ujung tekadnya saat dia hampir berhasil untuk menjauh dari Napoli. Tidak! Dia jelas tidak perlu merasa menyesal ataupun goyah karena memang inilah yang seharusnya dia lakukan sejak dulu. Meski rasanya, air matanya akan menetes tanpa henti saat dia diam memikirkan suaminya. Hampir dua minggu berlalu sejak terakhir kali melihat Lucca, Abigail mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau laki-laki itu pasti akan baik-baik saja. Seharusnya memang seperti itu karena dia Lucca Alonzo. "Abigail.” Panggilan lembut itu menyentaknya, menatap balik Sofia yang tersenyum. Berdiri berhadapan di area sepi keberangkatan kereta api. Entah bagaimana caranya, Sofia berhasil mendapatkan satu tiket untuknya pergi ke Roma berkat bantuan kenalannya yang bekerja di dalam kereta. Sofia menjamin kalau dia akan sampai ke Roma dengan aman dan harus langsung mengurus surat-suratnya sementara di kedutaan. Sofia bahkan membekalinya dengan sejumlah uang tunai. Abigail benar
"Tangkapan bagus untuk penutup." "Tentu saja. Dia pasti berharga mahal," sahut wanita itu yang ikut tersenyum penuh kemenangan dan mendapatkan kecupan bibir dari lelaki bertopi itu. "Siapa kalian?!" Desis Abigail. "Dimana Sofia?!" "Sofia? Temanmu itu." Wanita itu menggidikan bahu. "Mana aku tahu!" Sial! Abigail baru menyadari kebodohannya hingga bisa terjebak. "Brengsek!!!" Abigail memberontak. "Bajingan!!" Plak!! "Lebih baik kau diam!!!" Desis wanita itu setelah menamparnya dengan keras. Abigail diam, nencoba menahan sengatan sakit juga air matanya. "Cepat pergi. Kita sudah melengkapi buruan kita." "Oke baby." Laki-laki yang memegang setir mobil terseyum lebar dan mulai menyalakan mobil. "Tidak! Lepaskan aku!" Abigail kembali memberontak tapi sia-sia saja karena tenaganya tidak sebanding dengan dua lelaki di kanan kirinya. Saat tanpa sengaja melihat ke depan, matanya terbelalak melihat seseorang yang amat sangat dia kenal keluar dari mobil. "LUCCA!!!" Teriak Abigail. "LU
Abigail sama sekali tidak pernah membayangkan jika dia sendirilah yang akhirnya berada dalam situasi seperti saat ini. Diculik para pelaku perdagangan manusia untuk diperjualbelikan seperti barang dagangan. Bisa dipastikan kalau dia akan dijual ke rumah-rumah prostitusi untuk melakukan pekerjaan kotor sebagai budak seks. Pemikiran itu seketika membuat seluruh tubuhnya membeku, bergidik ngeri dan buru-buru mengenyahkan bayangan menakutkan yang sempat terlintas dalam kepalanya.Lepas dari suami posesif malah berakhir di tempat yang terburuk. Bukan kebebasan yang di dapat melainkan bencana. Entah idiot atau bodoh, julukan yang pantas untuknya saat ini.Yang terpenting sekarang, dia harus tenang dan berfikir logis mengambil setiap kesempatan yang ada untuk melarikan diri. Meringkuk di belakang bersama para wanita yang lain dengan ekspresi yang hampir serupa; ketakutan dengan tatapan dibalut kecemasan akan nasib mereka ke depannya."Kau terluka?" Abigail memperhatikan wajah lebam wanita c
Abigail menghela napas panjang, duduk tanpa daya seraya memandangi wanita-wanita yang lain sampai beberapa orang termasuk sepasang kekasih yang membawanya kesini muncul dari satu-satunya pintu yang ada. Berjalan di belakang seorang lelaki berkelas dengan wajahnya yang tampan meski terkesan menyeramkan. Tatapannya yang dingin memindai ke arah kerumunan para wanita dalam sel yang seketika dihinggapi rasa takut. Auranya benar-benar mengintimidasi. Lelaki itu berhenti tidak jauh dari pintu sel. Para penjaga yang membawa senjata menyebar dan berjaga dengan kewaspadaan. Abigail tanpa sadar menggigit bibirnya lalu buru-buru memalingkan wajah menghindari tatapan lelaki itu yang sesaat tadi memandanginya. "Hanya segini?" Tanyanya. Abigail kembali memberanikan diri menatap ke depan. "Kami tidak mau ambil resiko ketahuan The Black Rose karena mengganggu wilayahnya." Lelaki yang menculiknya menjawab. "Tapi aku jamin kualitasnya tidak perlu diragukan lagi." "Kau yakin?" Alis matanya yang lebat