"Mereka mencarimu ke seluruh kota." Abigail memalingkan wajah dari para pejalan kaki di luar dan membiarkan tirai jendelanya tertutup lalu menghampiri seorang wanita yang duduk di kursi meja makan. "Cepat atau lambat, mereka pasti akan segera menemukanmu." Pelafalan bahasa inggrisnya yang baku dengan logat Italianya yang kental, menjadi penghubung komunikasi mereka berdua sejak pelariannya seminggu yang lalu."Aku tahu." Abigail tersenyum. "Aku harus secepatnya pergi dari sini.""Tanpa surat-surat?" Nada suaranya terdengar khawatir. "Itu akan sulit."Siapa yang sangka, dia sedikit beruntung dalam pelariannya saat ini. Setelah keluar dari mobil box yang berhenti di belakang salah satu restoran untuk menurunkan bahan makanan, Abigail berkelana sendirian mencari penginapan. Akan lebih baik baginya untuk diam di dalam ruangan tertutup sembari memikirkan rencana selanjutnya dari pada berkeliaran di jalan yang beresiko ditemukan anak buah Lucca. Namun, tidak ada satupun tempat penginapan ya
Perasaan tidak mengenakan itu menelusup di ujung tekadnya saat dia hampir berhasil untuk menjauh dari Napoli. Tidak! Dia jelas tidak perlu merasa menyesal ataupun goyah karena memang inilah yang seharusnya dia lakukan sejak dulu. Meski rasanya, air matanya akan menetes tanpa henti saat dia diam memikirkan suaminya. Hampir dua minggu berlalu sejak terakhir kali melihat Lucca, Abigail mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau laki-laki itu pasti akan baik-baik saja. Seharusnya memang seperti itu karena dia Lucca Alonzo. "Abigail.” Panggilan lembut itu menyentaknya, menatap balik Sofia yang tersenyum. Berdiri berhadapan di area sepi keberangkatan kereta api. Entah bagaimana caranya, Sofia berhasil mendapatkan satu tiket untuknya pergi ke Roma berkat bantuan kenalannya yang bekerja di dalam kereta. Sofia menjamin kalau dia akan sampai ke Roma dengan aman dan harus langsung mengurus surat-suratnya sementara di kedutaan. Sofia bahkan membekalinya dengan sejumlah uang tunai. Abigail benar
"Tangkapan bagus untuk penutup." "Tentu saja. Dia pasti berharga mahal," sahut wanita itu yang ikut tersenyum penuh kemenangan dan mendapatkan kecupan bibir dari lelaki bertopi itu. "Siapa kalian?!" Desis Abigail. "Dimana Sofia?!" "Sofia? Temanmu itu." Wanita itu menggidikan bahu. "Mana aku tahu!" Sial! Abigail baru menyadari kebodohannya hingga bisa terjebak. "Brengsek!!!" Abigail memberontak. "Bajingan!!" Plak!! "Lebih baik kau diam!!!" Desis wanita itu setelah menamparnya dengan keras. Abigail diam, nencoba menahan sengatan sakit juga air matanya. "Cepat pergi. Kita sudah melengkapi buruan kita." "Oke baby." Laki-laki yang memegang setir mobil terseyum lebar dan mulai menyalakan mobil. "Tidak! Lepaskan aku!" Abigail kembali memberontak tapi sia-sia saja karena tenaganya tidak sebanding dengan dua lelaki di kanan kirinya. Saat tanpa sengaja melihat ke depan, matanya terbelalak melihat seseorang yang amat sangat dia kenal keluar dari mobil. "LUCCA!!!" Teriak Abigail. "LU
Abigail sama sekali tidak pernah membayangkan jika dia sendirilah yang akhirnya berada dalam situasi seperti saat ini. Diculik para pelaku perdagangan manusia untuk diperjualbelikan seperti barang dagangan. Bisa dipastikan kalau dia akan dijual ke rumah-rumah prostitusi untuk melakukan pekerjaan kotor sebagai budak seks. Pemikiran itu seketika membuat seluruh tubuhnya membeku, bergidik ngeri dan buru-buru mengenyahkan bayangan menakutkan yang sempat terlintas dalam kepalanya.Lepas dari suami posesif malah berakhir di tempat yang terburuk. Bukan kebebasan yang di dapat melainkan bencana. Entah idiot atau bodoh, julukan yang pantas untuknya saat ini.Yang terpenting sekarang, dia harus tenang dan berfikir logis mengambil setiap kesempatan yang ada untuk melarikan diri. Meringkuk di belakang bersama para wanita yang lain dengan ekspresi yang hampir serupa; ketakutan dengan tatapan dibalut kecemasan akan nasib mereka ke depannya."Kau terluka?" Abigail memperhatikan wajah lebam wanita c
Abigail menghela napas panjang, duduk tanpa daya seraya memandangi wanita-wanita yang lain sampai beberapa orang termasuk sepasang kekasih yang membawanya kesini muncul dari satu-satunya pintu yang ada. Berjalan di belakang seorang lelaki berkelas dengan wajahnya yang tampan meski terkesan menyeramkan. Tatapannya yang dingin memindai ke arah kerumunan para wanita dalam sel yang seketika dihinggapi rasa takut. Auranya benar-benar mengintimidasi. Lelaki itu berhenti tidak jauh dari pintu sel. Para penjaga yang membawa senjata menyebar dan berjaga dengan kewaspadaan. Abigail tanpa sadar menggigit bibirnya lalu buru-buru memalingkan wajah menghindari tatapan lelaki itu yang sesaat tadi memandanginya. "Hanya segini?" Tanyanya. Abigail kembali memberanikan diri menatap ke depan. "Kami tidak mau ambil resiko ketahuan The Black Rose karena mengganggu wilayahnya." Lelaki yang menculiknya menjawab. "Tapi aku jamin kualitasnya tidak perlu diragukan lagi." "Kau yakin?" Alis matanya yang lebat
Tanpa sadar Abi berdiri, tidak mempedulikan tatapan Rhea. Bertanya-tanya, Siapa wanita itu sampai tahu namanya. Seingatnya, mereka sama sekali belum pernah bertemu. "Aku satu-satunya istri Lucca Alonzo. Dia bahkan melenyapkan semua pelacur-pelacurnya demi aku dan kami menikah di katedral mansionnya." Laki-laki itu menelengkan kepalanya, nampak menilai. Telapak tangannya yang lain mengelus pelan sisi wajah wanita itu. "Kau harus melepaskanku dan mengembalikanku padanya!" Laki-laki itu tertawa sarkas, "Kenapa aku harus melakukan itu?" "Karena Lucca akan datang dan membunuhmu!!" Tidak ada jawaban dari laki-laki itu namun wanita itu nampak kesakitan saat dagunya dicengkram lebih erat lalu dihempaskan begitu saja bersamaan dengan lelaki itu yang bergerak mundur. "Kurung dia. Jangan ada yang menyentuhnya dan awasi dia dengan baik," perintahnya pada anak buahnya yang langsung menurut. "HEI, BAJINGAN!!" Teriaknya dengan kesal saat dibawa pergi. "LEPASKAN AKU!!!" Abigail tidak bisa meng
Penderitaan yang dirasakannya seperti tidak berujung.Abigail bersama dengan wanita yang lainnya hanya bisa duduk meringkuk di balik dinding kapal menunggu nasib mereka selanjutnya. Rasanya lama sekali penantian mereka di dalam sana. Terlebih lagi sikap para penjahat itu sama sekali tidak berperasaan. Mereka hanya di beri makan dua kali dengan menu memprihatinkan berupa roti tawar dan segelas air putih, tidak segan memukul jika ada yang memberontak bahkan di perkosa lebih dulu karena membangkang. Hingga menciptakan sebentuk trauma bahkan sebelum dijual. Abigail hanya bisa mengatupkan bibirnya melihat itu semua. Tubuhnya gemetar, bibirnya kelu dan tatapannya nanar. Hidupnya benar-benar terus di ikuti oleh kesusahan yang tidak ada habisnya."Rhe..."Abigail merasakan tubuh Rhea bergetar dan terasa dingin. Bibirnya nampak pucat, tatapan matanya begitu sayu, tubuhnya lemas dan bekas luka di tangannya yang dibiarkan mengering seperti terkena infeksi."Kau harus bertahan." Abigail mencoba
Abigail menatap benci para lelaki bajingan itu dengan amarah yang melekat di dada. Tidak lama kemudian, masuklah sepasang kekasih yang menculiknya tempo hari."Besok pagi kita akan sampai di Spanyol. Bagaimana keadaan mereka?" Tanya yang lelaki ke para penjaga."Tetap sama." Abigail bergegas berdiri, mendekati pintu sel dan berteriak. "Tolong, ada yang terluka di sini. Dia butuh pengobatan!" Keduanya menoleh bersamaan. "Untuk apa capek-capek menculiknya kalau membiarkannya sakit dan mati seperti ini. Aku hanya butuh obat untuknya."Yang wanita mendekat, menelengkan kepalanya ke arah Rhea dan kembali menatap Abigail."Itu ganjaran karena berusaha kabur," ucapnya disertai senyuman miring. "Sebaiknya kau memikirkan nasibmu sendiri dari pada mengurusinya."Abigail mengepalkan tangan, "Kalian memang bajingan tidak berperasaan—akhh!" Wanita itu tanpa terduga mengulurkan tangan melalui celah antar besi, mencekik leher Abigail dan menghantupkan kepalanya ke besi dengan keras."Apa kau mau be