Abigail sama sekali tidak pernah membayangkan jika dia sendirilah yang akhirnya berada dalam situasi seperti saat ini. Diculik para pelaku perdagangan manusia untuk diperjualbelikan seperti barang dagangan. Bisa dipastikan kalau dia akan dijual ke rumah-rumah prostitusi untuk melakukan pekerjaan kotor sebagai budak seks. Pemikiran itu seketika membuat seluruh tubuhnya membeku, bergidik ngeri dan buru-buru mengenyahkan bayangan menakutkan yang sempat terlintas dalam kepalanya.Lepas dari suami posesif malah berakhir di tempat yang terburuk. Bukan kebebasan yang di dapat melainkan bencana. Entah idiot atau bodoh, julukan yang pantas untuknya saat ini.Yang terpenting sekarang, dia harus tenang dan berfikir logis mengambil setiap kesempatan yang ada untuk melarikan diri. Meringkuk di belakang bersama para wanita yang lain dengan ekspresi yang hampir serupa; ketakutan dengan tatapan dibalut kecemasan akan nasib mereka ke depannya."Kau terluka?" Abigail memperhatikan wajah lebam wanita c
Abigail menghela napas panjang, duduk tanpa daya seraya memandangi wanita-wanita yang lain sampai beberapa orang termasuk sepasang kekasih yang membawanya kesini muncul dari satu-satunya pintu yang ada. Berjalan di belakang seorang lelaki berkelas dengan wajahnya yang tampan meski terkesan menyeramkan. Tatapannya yang dingin memindai ke arah kerumunan para wanita dalam sel yang seketika dihinggapi rasa takut. Auranya benar-benar mengintimidasi. Lelaki itu berhenti tidak jauh dari pintu sel. Para penjaga yang membawa senjata menyebar dan berjaga dengan kewaspadaan. Abigail tanpa sadar menggigit bibirnya lalu buru-buru memalingkan wajah menghindari tatapan lelaki itu yang sesaat tadi memandanginya. "Hanya segini?" Tanyanya. Abigail kembali memberanikan diri menatap ke depan. "Kami tidak mau ambil resiko ketahuan The Black Rose karena mengganggu wilayahnya." Lelaki yang menculiknya menjawab. "Tapi aku jamin kualitasnya tidak perlu diragukan lagi." "Kau yakin?" Alis matanya yang lebat
Tanpa sadar Abi berdiri, tidak mempedulikan tatapan Rhea. Bertanya-tanya, Siapa wanita itu sampai tahu namanya. Seingatnya, mereka sama sekali belum pernah bertemu. "Aku satu-satunya istri Lucca Alonzo. Dia bahkan melenyapkan semua pelacur-pelacurnya demi aku dan kami menikah di katedral mansionnya." Laki-laki itu menelengkan kepalanya, nampak menilai. Telapak tangannya yang lain mengelus pelan sisi wajah wanita itu. "Kau harus melepaskanku dan mengembalikanku padanya!" Laki-laki itu tertawa sarkas, "Kenapa aku harus melakukan itu?" "Karena Lucca akan datang dan membunuhmu!!" Tidak ada jawaban dari laki-laki itu namun wanita itu nampak kesakitan saat dagunya dicengkram lebih erat lalu dihempaskan begitu saja bersamaan dengan lelaki itu yang bergerak mundur. "Kurung dia. Jangan ada yang menyentuhnya dan awasi dia dengan baik," perintahnya pada anak buahnya yang langsung menurut. "HEI, BAJINGAN!!" Teriaknya dengan kesal saat dibawa pergi. "LEPASKAN AKU!!!" Abigail tidak bisa meng
Penderitaan yang dirasakannya seperti tidak berujung.Abigail bersama dengan wanita yang lainnya hanya bisa duduk meringkuk di balik dinding kapal menunggu nasib mereka selanjutnya. Rasanya lama sekali penantian mereka di dalam sana. Terlebih lagi sikap para penjahat itu sama sekali tidak berperasaan. Mereka hanya di beri makan dua kali dengan menu memprihatinkan berupa roti tawar dan segelas air putih, tidak segan memukul jika ada yang memberontak bahkan di perkosa lebih dulu karena membangkang. Hingga menciptakan sebentuk trauma bahkan sebelum dijual. Abigail hanya bisa mengatupkan bibirnya melihat itu semua. Tubuhnya gemetar, bibirnya kelu dan tatapannya nanar. Hidupnya benar-benar terus di ikuti oleh kesusahan yang tidak ada habisnya."Rhe..."Abigail merasakan tubuh Rhea bergetar dan terasa dingin. Bibirnya nampak pucat, tatapan matanya begitu sayu, tubuhnya lemas dan bekas luka di tangannya yang dibiarkan mengering seperti terkena infeksi."Kau harus bertahan." Abigail mencoba
Abigail menatap benci para lelaki bajingan itu dengan amarah yang melekat di dada. Tidak lama kemudian, masuklah sepasang kekasih yang menculiknya tempo hari."Besok pagi kita akan sampai di Spanyol. Bagaimana keadaan mereka?" Tanya yang lelaki ke para penjaga."Tetap sama." Abigail bergegas berdiri, mendekati pintu sel dan berteriak. "Tolong, ada yang terluka di sini. Dia butuh pengobatan!" Keduanya menoleh bersamaan. "Untuk apa capek-capek menculiknya kalau membiarkannya sakit dan mati seperti ini. Aku hanya butuh obat untuknya."Yang wanita mendekat, menelengkan kepalanya ke arah Rhea dan kembali menatap Abigail."Itu ganjaran karena berusaha kabur," ucapnya disertai senyuman miring. "Sebaiknya kau memikirkan nasibmu sendiri dari pada mengurusinya."Abigail mengepalkan tangan, "Kalian memang bajingan tidak berperasaan—akhh!" Wanita itu tanpa terduga mengulurkan tangan melalui celah antar besi, mencekik leher Abigail dan menghantupkan kepalanya ke besi dengan keras."Apa kau mau be
Lucca Alonzo menelengkan kepala, memindai area sekitar dan menatap deretan wanita yang berkerumunan di bagian terjauh sel. Abigail menundukkan kepala diantara semuanya. "Aku datang untuk membawa istriku kembali," ucapnya dingin. "Aku tidak akan menoleransi luka sekecil apapun yang dia dapat di sini. Kalian akan menerima akibatnya." Tatapan tajamnya menghunus ke pasangan penjahat itu dan berteriak, "BAWA ABIGAIL SEKARANG JUGA!!" Semuanya tercengang,terutama para penjahat itu karena tidak menyangka jika mereka memang tanpa sengaja menculik istri dari penguasa Italia yang benar-benar datang saat mereka berlayar di atas Samudra, jauh dari Napoli. Tamatlah riwayat mereka sekarang yang tidak bisa berkutik. Lucca Alonzo berdiri layaknya dewa kematian yang membawa vonis mati pada mereka saat itu juga. ******* Kedatangan Lucca yang menyelamatkannya di manapun dia berada menyadarkan Abigail akan suatu hal yang seharusnya sudah lama dia sadari. Sejak memutuskan rela mengikuti lelaki yang be
Semuanya memekik akan tembakan Lucca yang tiba-tiba ke lelaki penjaga yang sebelumnya mengacuhkan Abigail saat meminta obat yang langsung menembus jantungnya dan jatuh tidak bergerak. Para penjahaat itu langsung mundur ketakutan. "DI MANA DIA?!" teriaknya murka. Lelaki itu menoleh ke kekasihnya yang ketakutan, "Bawa wanita itu." Meski takut dan gemetaran, wanita itu mengangguk, bergegas keluar yang langsung diikuti salah satu anak buah Lucca. "Kami tidak tahu jika salah satu wanita yang kami bawa adalah istrimu. Ini murni kesalahpahaman. Jika kau mau membawanya pergi, silahkan. Kami tidak akan menghalangi tapi tolong—” laki-laki itu mencoba bernegosiasi dengan Lucca yang sedang murka. "Lepaskan kami." "Lepaskan?" Lucca tersenyum smirk. "Kau pikir semudah itu melepaskan kalian setelah mengganggu di wilayahku. Apa kau tidak tahu akibatnya jika berurusan dengan The Black Rose?" Laki-laki itu menelan salivanya, tahu kalau dia sudah tidak punya harapan. Kekasihnya masuk dengan seoran
Lucca menghempaskan laki-laki itu begitu saja, segera berdiri, menembak rantai pengunci pintu sel dan mendorongnya terbuka dengan kakinya. Para wanita di sana jelas memekik ketakutan setengah mati, tapi Lucca tidak peduli. Dia tetap berjalan menghampiri Abigail yang sedang menatapnya hingga wanita-wanita itu menyingkir dengan sendirinya memberi jalan sampai di depan Abigail di samping Rhea yang tercengang.Abigail mengigit bibirnya kuat saat Lucca melipat satu kakinya, bersimpuh di depannya. Bertanya-tanya dalam hati apakah dia akan mendapatkan amarah pelampiasan Lucca nanti karena berani-beraninya kabur. Tertegun saat melihat Lucca mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahnya dan mengusap air matanya yang mengalir dengan lembut. Memperhatikan dengan seksama setiap inci wajahnya, dan menggertakkan gigi saat melihat beberapa lebam yang di dapatnya. Jemarinya membelai lembut bibir Abigail yang bergetar seakan-akan mengatakan kalau dia rindu."Jangan gigit bibirmu seperti itu, sayang. Kau