"Kamu mau beli apa sebenarnya tadi?" Pertanyaan itu menyambutku ketika aku masuk ke dalam ruko dan mendapati pria itu sudah ada di depan televisi. Matanya menatap lurus pada benda itu, posisinya tidak berubah bahkan saat bertanya sekalipun. Tapi dari mana dia tahu, kalau aku tidak membawa sesuatu.Jelas saja aku jadi bingung karena memang aku tidak membeli apapun. Padahal tadi pamit mau membeli keperluan pribadiku. Ah, kenapa aku ceroboh?"Eum ... kebetulan barang yang aku mau beli itu tidak ada. Jadi aku tidak jadi belanja," jawabku asal karena bingung harus bilang apa. Sialnya lagi hal ini tidak pernah kepikiran hingga tidak mempersiapkan jawaban."Memangnya yang mau kamu beli itu barang langka? Hingga di kota ini semua toko tidak menjualnya. Kamu bisa pergi ke toko lain 'kan untuk mendapatkannya. Kalau itu hanya sekedar bedak, lipstik atau lotion." Pria itu bangkit lalu berdiri menghadapku.Mendapat pertanyaan seperti itu aku semakin bingung karena jawaban yang tadi aku berikan itu
"Mama kangen, La. Kapan kamu mau berkunjung ke sini?" Suara Mama agak bergetar ketika sore ini dia meneleponku."Lala juga kangen Mama, nanti Lala bicarakan sama Om Do ,supaya Lala diizinkan mengunjugi Mama.""Siapa?! Om Do?! Maksud kamu Faldo?""I-iya Ma. Maksud Lala Mas Faldo." Aku meralat."Jangan bilang sama Mama kalau kamu memanggil suami kamu dengan sebutan Om. Gak sopan itu!" Mama masih menggerutu, aku menepuk bibirku pelan yang telah salah berucap."Enggak Ma, tadi Lala bercanda." Aku terpaksa berbohong pada Mama setelah tadi keceplosan memanggil suamiku dengan sebutan Om."Ya udah, La, kamu ngomong sama suami kamu kalau kamu ingin mengunjungi Mama. Mama tunggu kalian. Soalnya enggak ada kamu beberapa hari di sini, Mama sangat kehilangan." Mendengar kalimat Mama barusan aku memutar bola mata. Apa benar Mama kehilangan aku, mengingat ketika masih tinggal bersamanya, Mama hampir lupa kalau punya anak gadis di rumah. Hingga seenaknya dia pergi dan lupa pulang, lupa kalau anak gad
Tanpa diduga lagi Om Do merangkul pundakku lalu mengajakku keluar dari kamar mandi. Seperti yang terhipnotis, aku hanya menurut. Padahal aku sama sekali tidak merasa pusing ataupun tidak enak badan. Sebenarnya bisa menolak tapi aku khawatir Om Do akan curiga padaku. Jadi kubiarkan saja dia membimbingku berjalan dan memintaku duduk di tepi ranjang."Dari buku yang kubaca, ini biasa terjadi pada wanita yang hamil di trimester pertama. Kalau boleh aku tahu berapa usia kehamilanmu?" tanyanya sambil duduk di sebelahku, sementara tangannya perlahan turun dari bahuku.Kenapa duduknya harus deket-deket begini sih. Aku kan jadi gugup. Bukan apa-apa, aku tidak terbiasa berdekatan dengan laki-laki asing, kecuali Rendy itu pun aku masih punya batasan."Ya Om, tapi jangan khawatir ini enggak setiap pagi kok . Cuman kadang-kadang aja," jawabku asal."Apa perlu aku antar ke dokter?""Enggak nggak usah, aku tidak mau ke dokter," sahutku cepat. Karena kalau sampai aku pergi ke dokter nanti bakal ketah
Aku hanya mencicipi sarapanku sedikit lalu bergegas turun dan mengunci pintu. Sampai di bagian toko aku berjalan pelan sambil mengintip dan mendapati pria itu sedang membantu Ilham dan Danang yang kebetulan pagi ini toko ramai oleh anak-anak sekolah berseragam putih abu. Biasanya mereka akan pergi berbondong-bondong ke tempat fotocopy kalau ada tugas dari guru.Melihat pria itu tengah sibuk aku berjalan mengendap lalu setelah berada di luar ruko aku berjalan setengah berlari menuju pinggir jalan raya kemudian berjalan beberapa meter ke arah kanan supaya tidak terlihat oleh Om Do saat aku berdiri menunggu angkutan.Dengan sigap aku memesan ojek online di aplikasi. Sambil celingukan khawatir Om Do menyusulku. Tapi bersamaan dengan itu Om Do meneleponku. Aku hampir saja mengangkatnya ketika aku sadar bahwa pria itu akan mengetahui aku berada di pinggir jalan ketika aku menerima teleponnya karena akan terdengar suara kendaraan.Akhirnya aku membiarkan panggilan itu berhenti sendiri hingga
Tapi belum juga sampai ke kelas, ponselku berbunyi kembali. Kali ini bukan telepon, Om Do mengirimku pesan.[Di mana? Kok kamu enggak ada di atas?!]Mendapat pertanyaan seperti itu aku tersenyum lucu, membayangkan pria itu pasti mengecekku ke lantai atas.[Sudah sampai di kampus.][Sudah kuduga. Baiklah, akan kubuat perhitungan karena kamu sudah kabur!] Balasnya kemudian membuatku melebarkan mata. Tapi aku bergegas menyimpan ponselku dan melanjutkan langkah, mungkin dia hanya bercanda.***"Mama kangen berat La," seru Mama sambil merentangkan tangannya. Aku pun berhambur ke dalam pelukan Mama. Untuk beberapa saat kami saling memeluk. Sepulang kuliah aku menemui Mama di kantornya, karena aku tahu kalau jam-jam ini Mama berada di tempat ini.Aku membalas pelukan Mama dengan erat. Jujur saja aku pun merindukan sosok wanita ini, apa lagi sikapnya kali ini lebih hangat dari sebelumnya. Mungkin Mama baru sadar bahwa berada jauh dariku membuat ia kehilangan, sementara kemarin-kemarin dia t
Hmm, apa atas alasan ini Mama begitu patuh pada Om Dimas? Kalaupun iya, Mama belum tahu saja siapa sebenarnya suaminya itu. Aku baru ingat, pria yang menjadi suami Mama itu tidak terlihat di kantor Mama. Biasanya, Om Dimas kerap menemani Mama kerja. Hanya menemani tanpa membantu, karena pria itu sesungguhnya benalu dalam keluargaku. Pria yang tidak terlihat bekerja itu memang hanya ikut menikmati harta peninggalannya Papa.Di tengah-tengah obrolan kami, tiba-tiba ponsel Mama berdering. Sebelum menerima panggilan itu Mama melihatku dengan tatapan heran."Ya, halo." Mama menyapa tanpa mengucap salam. Tidak heran jika aku pun biasa seperti itu karena memang tidak pernah dibiasakan oleh Mama."Waalaikumsalam." Setelah menjeda sebentar Mama terdengar menjawab salam. Mungkin si penelepon yang berinisiatif mengucap salam."Ada. Memangnya kenapa?" Mama menjawab pertanyaan tapi kalimat berikut malah mengajukan pertanyaan sambil melihat ke arahku. Heran."Di kantor Mama."Detik berikutnya wanit
Setelah keluar dari ruangan Mama, aku berpikir keras. Bagaimana caranya supaya aku tidak jadi diantar oleh Om Dimas. Terlintas di pikiranku untuk berlari saja, tapi itu akan menjadi pusat perhatian para karyawan Mama. Lagipula, sepertinya hal itu sia-sia saja aku lakukan, sebab pria ini akan dengan mudah menangkapku.Sampai di depan lift aku ragu untuk memasukinya. Sebab Om Dimas berjalan di belakangku, sudah tentu dia akan bersamaan masuk ke dalam lift ini. Terpikir untuk melalui tangga saja, tapi sudah terbayang olehku capenya. Ruangan Mama berada di lantai tujuh. Lalu akan seperti apa lututku ketika aku sampai di lantai bawah. Tapi tidak apa-apa yang penting aku tidak masuk lift bersamaan dengan Papa tiriku."Mau kemana?" tanya om Dimas dingin.Tak menghiraukan pertanyaan pria yang selalu berpakaian seperti anak seusiaku itu, aku terus berjalan menuju tangga."Lala, apa kamu sudah kehilangan akal sehat, menuruni gedung ini dengan menggunakan tangga?!" Om Dimas sekarang sudah berada
Tanganku terangkat dan berusaha untuk lepas dari kekangan pria yang menakutkan ini."Sekali saja, aku ingin menikmati sensasi yang berbeda dari dua wajah yang mirip." Lalu perlahan wajah itu mendekat kearahku dan tanpa pikir panjang lagi aku pun bereaksi.Cih!!"Ah!!" Om Dimas bergerak mundur ketika aku meludahi wajahnya. "Kamu terlihat semakin menggoda, Lala," ucapnya menyeringai sambil mengusap wajahnya lalu bergerak kembali mendekatiku.Namun aksi pria itu terhenti ketika angka lima belas menyala, itu artinya kami sudah sampai di lantai paling atas. Om Dimas pun bergerak dan menekan kembali angka satu. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengambil ponsel di dalam tas lalu mengaktifkannya. Rasanya lama sekali menanti ponsel ini menyala."Apa kamu mau menghubungi suamimu yang gayanya aneh itu." Suara itu terdengar mendekat lalu detik kemudian ponselku berpindah tangan pada Om Dimas."Apa yang Om Dimas lakukan?! Om tidak bisa semena-mena seperti ini!""Di sini hanya ada kita berdua, jad