Silau cahaya surya menyinari seluruh pelosok kota, aku menatap di balik jendela pesawat, sebentar lagi burung besi akan menerbangkan kami ke pulau dewata."Kenapa lihat keluar terus? Takut ya? Baru kali ini naik pesawat?" Aku menoleh pada Pak Abi tatkala mendengar celetukan pria itu."Sudah pernah sebelumnya, Pak," "Kapan? Ke mana?" tanyanya beruntun, aku menyamankan diri saat pesawat mulai landing."Dulu, waktu kerja di perusahaan sebelumnya. Saat itu kami ke Sulawesi," terangku. Pak Abi manggut-manggut. Sombong, mentang-mentang orang kaya, dikiranya aku nggak pernah naik pesawat apa! "Istirahatlah, perjalanan kita masih lama, tiba nanti saya mau ajak kamu jalan-jalan," ucapnya, sebelum aku menyahut dia langsung merebahkan kepalanya memasang kaca mata hitam, lalu menyumpal kedua telinga dengan earphone.Akhirnya aku hanya bisa memendam rasa penasaran, ke mana dia akan mengajakku memangnya? Ah, lihat saja nanti, mataku juga sudah terasa berat, tidur sejenak akan membuatku lebih buga
Aku terkejut melihat kehadiran Ammar dan istri barunya di sini, wanita itu bahkan tak segan menyapa, dapat kulihat sang mantan dilanda kegusaran, dia tampak tidak tenang. Sedangkan Kiara, dia terus saja mencoba bicara pada Pak Abi, seolah mereka adalah sahabat dekat yang sudah lama tidak bertemu, aku salut dia tak menyerah walau Pak Abi terlihat muak dan tak menanggapinya sama sekali, wow! Bravo!"Sayang, sapa dong, mantan istri kamu!" Aku menaikkan alis, apa yang coba dia lakukan sekarang? Membuktikan bahwa suaminya tak menganggapku lagi, seperti yang kukatakan padanya saat itu?"Apa kabar, Hanin?" tanya Ammar dengan netra bergerak gelisah, dia sama sekali tak menatapku."Seperti yang terlihat, saya baik-baik saja," sahutku."Kalian tampak serasi," ucap Kiara, aku hendak membuka mulut, tapi Pak Abi lebih dulu menggantikan sahutanku."Tentu saja, kami akan melangsungkan pernikahan bulan depan, ya 'kan Sayang?" Kami saling pandang, aku menyelami binar matanya, itu berbeda, tidak sama
Dengan penuh keyakinan aku menyuarakan namanya, ini adalah waktu yang tepat, segalanya sudah kuperhitungkan sejak sepuluh menit lalu, aku ingin mengajaknya dimana hanya kami berdua di sana, tapi sepertinya melamar di depan banyak orang akan sangat berkesan untuknya.Hanindiya menaiki panggung setelah aku memanggilnya untuk ketiga kali, wajar saja. Hatinya pastilah syok mendengar julukan baru yang kusematkan untuknya, 'a woman who's so special for me,' semoga dia bisa melihat ketulusan saat aku mengatakannya.Tanpa buang waktu lagi aku langsung menjalankan, rencana, dia tampak masih bingung, pandangannya terus saja melantai, aku yang merasa tak sabar lagi langsung saja berlutut, kubuka kotak beludru itu, dia terpana."Hanindiya Atmojo, will you marry me?" ucapku yakin, netranya semakin melebar, aku tahu dia sangat terkejut. Riuh tepuk tangan beriringan dengan para tamu yang mendukung diriku. "Terima! Terima! Terima!"Dengan sabar aku menanti jawabannya yang akan kupegang sebagai komi
Bangun pagi di Bali seharusnya jadi hal paling menyenangkan, tapi hatiku kini sedang campur aduk, bagaimana akan mendapat euforia itu jika kondisiku se-menyedihkan ini?Lamar, diterima, salah paham, cek-cok, pikir ulang, walhasil digantung hingga perasaan terasa remuk redam. Aaah, sial!Dengan langkah gontai aku menuju kamar mandi, berendam di jakuzzi dengan air hangat mungkin akan membuat pikiran lebih fresh, semoga bayangan Hanin juga ikut lenyap, bersamaan dengan air yang mengalir membasahi tempurung kepala.Namun kenyataan jauh dari ekspektasi, ini sama sekali tak berefek, bayangan wanita itu terus saja menari di pelupuk mataku, bahkan sejak semalam, saat aku tak lagi melihat punggungnya.Wanita berhijab dengan senyum manis yang selalu terlihat tulus, mata almond dengan kornea kecokelatan yang memabukkan, bulu lentiknya bergerak indah setiap dia mengerjap, mana bisa aku melupakannya? Aaargh! Ayolah Hanindiya! Pergi dari hati dan pikiranku sekejap saja, kau boleh kembali nanti, sa
Malam hari aku mengemas pakaian ke dalam koper, besok kami akan kembali ke Jakarta, setelah semuanya aku bersiap, Pak Abi mengajakku jalan malam ini, entah kemana lagi, tapi aku ikut saja, mumpung masih di sini, kapan lagi menikmati Bali?Gamis warna army potongan A line polos, kupadukan dengan hijab warna krem, tak lupa sepatu warna senada, kupulas wajah tipis saja. Pandanganku terhenti pada benda berkilau di jari manis, kilaunya terpantul di cermin, menyapa kornea mata."Ya Allah ... ini sangat indah," gumamku menyentuh mata biru laut itu, entah kapan Pak Abi mempersiapkannya, aku yakin harganya tidak sedikit. Kenapa dia harus melakukan ini semua di saat yang tidak tepat? Tak bisakah dia menunggu hingga kami saling kenal dulu? Kalau sudah begini kita berdua juga yang repot menerima suasana baru yang akan tercipta setelah ini. Aku menggeleng kepala, mengenyahkan bayang yang datang seenaknya, mememuhi pikiran dan penglihatan.Aku raih tas tangan lalu melangkah keluar dari kamar, keti
Tiba di Jakarta aku langsung diantar ke rumah oleh Pak Abi, rasanya lumayan lelah, gegas kuistirahatkan badan sejenak, kebetulan hari ini minggu, hari libur kantor.Aku menelepon Dian, menyuruhnya ke rumah, tak butuh banyak waktu berpikir wanita itu menyetujui, aku mengeluarkan isi koper, banyak baju kotor dan sepertinya aku harus membawa ke laundry.Aku mengambil dua lembar kain pantai motif khas Bali, kubelikan untuk oleh-oleh buat Dian, tak lupa kaos Barong, lumayan dipakai santai di rumah.———"Assalamu'alaikum!" Itu pasti Dian, gegas aku melangkah cepat, membukakan pintu untuk wanita itu."Walaikum salam, masuk dulu!" Senyumnya langsung terbit saat kami berhadapan, aku mengajak dia masuk. "Ciyeee ... yang baru pulang liburan bareng si bos," godanya menaik-turunkan alis, aku mencebik."Bisa aja kamu, Di! Oh, ya. Tunggu bentar, aku mau ambil sesuatu," ucapku lantas melangkah masuk kamar, mengambil kain dan baju yang sudah kupersiapkan untuk Dian."Nih! Buat kamu," ucapku seraya me
Jam makan siang aku menuju ruangan Pak Abi setelah shalat sebelumnya, aku merasakan kalau dia jadi aneh belakangan ini, seperti orang ling-lung, dia hendak bicara, tapi seperti lupa apa yang hendak dia bicarakan.Dan di sinilah aku, duduk berhadapan dengan Pak Abi, di balkon ruangannya."Saya bosan makan di dalam terus," begitu katanya. Aku tetap mengikuti semua kemauan bosku itu, tak ada yang berubah di segi pekerjaan, hanya saja komunikasi dan sifatnya tidak sedingin dulu.Kami menikmati makan siang dengan nikmat, sesekali dia mengajakku bicara, aku tetap menanggapi seadanya, bukan sebab cuek atau apa, tapi ini demi profesionalitas.Bagiku se-kenal dan sedekat apa pun dengan atasan, dalam bekerja tetap tidak boleh menunjukkan interaksi berlebih, apa lagi namaku sudah terlanjur kotor dengan fitnah 'Si penggoda bos' jika yang lain sampai menilai buruk maka berita miring yang sempat mereda itu akan berembus lagi dengan ganasnya."Kamu kenapa? Ada masalah?" tanyanya, mungkin merasa aneh
"Mas Abi ...." Aku menoleh saat mendengar gumaman suara Hanin, gegas aku mendekat ketika mendapati mata almond itu setengah terbuka."Saya di sini, Hanindiya,""Di—an, argh!" Refleks aku menahan kedua bahunya, dia berusaha bangkit."Berbaringlah! Lenganmu baru saja dijahit," titahku, syukurlah dia mau menurut, tatapan itu beralih padaku, aku tau dia menghawatirkan kondisi Dian."Dian ada di sebelah kita, tulang tangannya patah," "Tolong buka tirainya, Mas! Please ... saya mau lihat kondisi sahabat saya," ucapnya memelas, aku mengangguk, lantas beranjak menarik sekat di antara ranjangnya dan Dian. Brian terlihat sedang menunggui Dian, pria itu menatap sayu pada Hanin, aku tak suka tapi harus menahan semua, tidak mau membuat kekacauan, aku kembali duduk di dekat wanitaku."Ini semua gara-gara aku, andai saja Dian yang bawa motor nggak akan gini jadinya." Hanin meracau seraya menangis, pandangannya lurus pada sahabatnya yang masih tak sadarkan diri,"Hey, it's not your fault! Ini kecel