Tiba di Jakarta aku langsung diantar ke rumah oleh Pak Abi, rasanya lumayan lelah, gegas kuistirahatkan badan sejenak, kebetulan hari ini minggu, hari libur kantor.Aku menelepon Dian, menyuruhnya ke rumah, tak butuh banyak waktu berpikir wanita itu menyetujui, aku mengeluarkan isi koper, banyak baju kotor dan sepertinya aku harus membawa ke laundry.Aku mengambil dua lembar kain pantai motif khas Bali, kubelikan untuk oleh-oleh buat Dian, tak lupa kaos Barong, lumayan dipakai santai di rumah.———"Assalamu'alaikum!" Itu pasti Dian, gegas aku melangkah cepat, membukakan pintu untuk wanita itu."Walaikum salam, masuk dulu!" Senyumnya langsung terbit saat kami berhadapan, aku mengajak dia masuk. "Ciyeee ... yang baru pulang liburan bareng si bos," godanya menaik-turunkan alis, aku mencebik."Bisa aja kamu, Di! Oh, ya. Tunggu bentar, aku mau ambil sesuatu," ucapku lantas melangkah masuk kamar, mengambil kain dan baju yang sudah kupersiapkan untuk Dian."Nih! Buat kamu," ucapku seraya me
Jam makan siang aku menuju ruangan Pak Abi setelah shalat sebelumnya, aku merasakan kalau dia jadi aneh belakangan ini, seperti orang ling-lung, dia hendak bicara, tapi seperti lupa apa yang hendak dia bicarakan.Dan di sinilah aku, duduk berhadapan dengan Pak Abi, di balkon ruangannya."Saya bosan makan di dalam terus," begitu katanya. Aku tetap mengikuti semua kemauan bosku itu, tak ada yang berubah di segi pekerjaan, hanya saja komunikasi dan sifatnya tidak sedingin dulu.Kami menikmati makan siang dengan nikmat, sesekali dia mengajakku bicara, aku tetap menanggapi seadanya, bukan sebab cuek atau apa, tapi ini demi profesionalitas.Bagiku se-kenal dan sedekat apa pun dengan atasan, dalam bekerja tetap tidak boleh menunjukkan interaksi berlebih, apa lagi namaku sudah terlanjur kotor dengan fitnah 'Si penggoda bos' jika yang lain sampai menilai buruk maka berita miring yang sempat mereda itu akan berembus lagi dengan ganasnya."Kamu kenapa? Ada masalah?" tanyanya, mungkin merasa aneh
"Mas Abi ...." Aku menoleh saat mendengar gumaman suara Hanin, gegas aku mendekat ketika mendapati mata almond itu setengah terbuka."Saya di sini, Hanindiya,""Di—an, argh!" Refleks aku menahan kedua bahunya, dia berusaha bangkit."Berbaringlah! Lenganmu baru saja dijahit," titahku, syukurlah dia mau menurut, tatapan itu beralih padaku, aku tau dia menghawatirkan kondisi Dian."Dian ada di sebelah kita, tulang tangannya patah," "Tolong buka tirainya, Mas! Please ... saya mau lihat kondisi sahabat saya," ucapnya memelas, aku mengangguk, lantas beranjak menarik sekat di antara ranjangnya dan Dian. Brian terlihat sedang menunggui Dian, pria itu menatap sayu pada Hanin, aku tak suka tapi harus menahan semua, tidak mau membuat kekacauan, aku kembali duduk di dekat wanitaku."Ini semua gara-gara aku, andai saja Dian yang bawa motor nggak akan gini jadinya." Hanin meracau seraya menangis, pandangannya lurus pada sahabatnya yang masih tak sadarkan diri,"Hey, it's not your fault! Ini kecel
Assalamu' alaikum," kami menjawab salam itu bersamaan, suara ketukan sepatu beradu dengan lantai terdengar kian dekat, lalu sesosok wajah muncul, wajah yang kini kembali cerah setelah begitu kusut sore tadi, saat kami membicarakan tentang Pak Abi."Aku bawa buah, buat kalian. Hanin, aku juga bawa sesuatu buat kamu," ucap Brian dengan senyum lebar. Kemudian pria itu mendekat, meletakkan keranjang buah, membuka paper bag di tangannya lantas mengeluarkan sweater warna biru tua."Ini buat kamu," Aku menerima sweater itu dengan raut wajah tak enak."Ini buat apa Bri?" tanyaku, Brian tersenyum, dia menatap padaku lekat, jujur itu membuatku risi."Ya ... buat kamu, pakek aja," sahutnya dengan senyum terpatri, aku menoleh pada Dian, wanita itu tampak terkejut, sama sepertiku. Sekarang bagaimana akan menerima pemberian Brian, aku tidak sebodoh itu untuk memahami maksudnya."Sorry, Bri! Ini ... aku nggak bisa nerima ini," ucapku sungkan, Brian menatapku."Kenapa?" "Sorry,""Apa ini nggak semah
Pagi hari aku sudah siap dengan setelan kantor, kemeja krem kupadukan dengan blazer putih gading, rok span hitam dan hijab warna senada, aku menunggu Pak Abi menjemput di teras rumah.Sebenarnya luka sobek di lengan kemarin belum sembuh benar, masih terasa nyeri, sesekali nyut-nyutan, tapi sudah lumayan dipakai nulis atau mengetik. Aku memilih kerja bukan tanpa sebab, semua itu semata agar tidak mengganggu profesionalitas sebagai seorang sekretaris, lagi pula kasihan Pak Abi jika harus menghendle semua sendirian, pria itu pasti kewalahan.Bip! Suara klakson mobil terdengar, aku yang tadinya sudah masuk lagi hendak mengambil tas, kembali keluar, benar saja itu Pak Abi, pria itu muncul dari dalam Bugattinya, aku sempat terpana, busana kami sangat matching, dia mengenakan kemeja krem dengan jas hitam, celana bahannya pun warna hitam."Sudah siap? Yuk!" Aku tersentak lantas mengangguk."Dian! Aku berangkat dulu ya!" seruku, Dian melongok dari pintu kamar."Hati-hati!" sahutnya. Aku dan
Aku tak henti merutuki diri dalam perjalanan ke klinik terdekat, ini semua karena kelengahanku, bisa-bisanya aku membiarkan buaya cap kadal itu lolos dari pengawasan, jika tidak ditahan Hanin mungkin aku akan membuatnya koma, minimal patah tulang.Argh! Shit!"Hei! Are you oke?" tanyaku menoleh khawatir pada Hanin, wanitaku itu mengangguk samar, dia bersandar di jok mobil, menahan rembesan darah di tangan yang terluka, aku mengemudi dengan kecepatan di atas rata-rata.Tak lama kemudian kami tiba di sebuah klinik, aku memapah Hanin masuk ke dalam, membantu dia naik ke ranjang perawatan, dokter memeriksa keadaannya, dia harus diinfus karena tubuhnya lemah akibat kehilangan banyak darah.Dadaku panas, khawatir bercampur amarah, jahitan awal pada lukanya putus, kuduga baj*ngan itu menarik tangannya terlalu kuat, sial! Akan kubuat perhitungan dengannya setelah ini.Setelah ditangani dokter aku menghampirinya, dia menatapku sayu, itu membuat urat-urat di wajahku semakin menegang."Sorry ...
PoV AmmarSatu minggu sudah aku gencar kembali mendekati Hanin, mantan istriku, tetapi kekecewaan besar harus kutelan mentah-mentah, dia, wanita yang masih kucintai jauh dari relung hati ternyata sudah benar-benar melupakan diri ini.Setelah aku tak sengaja melukainya hari itu, setelah bajing*n sok cari perhatian memukul hingga rahangku retak, hanya lewat ponsel aku bisa menghubungi Hanin. Walau pun tak direspons, aku selalu mengiriminya pesan WA, bahkan beberapa kali kukirimi dia hadiah, dan sialnya dia selalu mengirimnya kembali padaku.Abimana, pria sialan itu sudah merebut hatinya, aku bisa menyimpulkan semua hanya dari cara Hanin memandang pria itu, tatapan yang sama saat kami masih bersama dulu.Kiara, wanita yang kunikahi karena perjodohan yang diatur ibu, belakangan ini dia sudah berani menentangku, bahkan beberapa kali dia mengancam minta diceraikan, sebenarnya aku juga ingin menceraikan dia, tetapi tekanan dari ibu lah yang membuat diri ini ragu.Setiap saat aku selalu terb
"Apa itu benar?" tanyaku setelah Kiara berlalu dari ruang kerjaku, Hanin menatapku nanar, baru saja kami hendak membicarakan tentang keputusannya, tentang mau tidaknya dia menikah denganku, hidup berdampingan, menua bersama.Lalu Kiara datang, mengatakan sesuatu yang membuat sudut hatiku nyeri tatkala mendengarnya, dia bungkam, tak menyahuti pertanyaanku. Netra ini terpejam, kutarik napas dalam, demi menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi setelah ini.Bisa jadi 'kan? Dia hendak menolakku tadi, bisa saja dia sudah merencanakan semua dengan Ammar, mereka akan kembali bersama lagi atau ...."Mas percaya?" tanyanya seperti tercekat, membuatku menautkan alis gusar, kenapa susah sekali menjawab ya atau tidak, kenapa dia mempertanyakan kepercayaanku?"Saya menanyakan padamu, Hanin, jawab saja yang jujur," ucapku lagi, mencoba tetap sabar, meski aku ingin mengukungnya dalam pelukan, meneriakkan pada dunia bahwa Hanindiya milikku, hanya aku.Dia bangkit dari sofa dengan helaan napas