Roy tersenyum, dia melepaskan ikat pinggangnya dan melangkah maju mendekati Dina. Gadis itu bergidik ngeri. Kemudian, Pletar. Satu sabetan dari ikat pinggangnya membuat Dina meringis kesakitan. "Segini belum cukup menyakiti kamu, kan?" tanya Roy. Dia mencambuk lagi punggung Dina dengan ikat pinggangnya. Lagi dan lagi. Bukan hanya bagian pinggang saja Roy mencambuknya, tetapi menjalar ke bagian tubuh Dina lainnya. Kaki dan tangan tidak luput dari incaran pemuda gila itu. "Mampus kau, wanita gila! Rasakan ini, biar hancur tubuh elu itu," pekik Roy bersemangat mencambuki Dina Gadis itu kesakitan, semakin sakit kala Roy mencambuknya semakin kencang. Kulit tangan dan kakinya memerah. Bagian punggungnya memar membiru. Baju yang dikenakan gadis itu sobek. Roy semakin terpacu adrenalinnya untuk menyiksa Dina. Tenaga gadis itu melemah, sudah tak ada tenaga tersisa. Rasa sakit yang dia terima juga tidak bisa lagi dia tahan lebih lama. Pendangan netranya semakin buram, matanya sudah tidak bi
"Gue bukan laki-laki lemah, bocah! Elu akan mati di tangan gue perempuan bodoh!" Tinjunya berayun .... Wush. Dina menunduk, kemudian tangannya menggerakkan tongkat besi panjang ke arah perutnya. Buk. Pengawalnya itu sepertinya sudah terlatih. Dia hanya meringis sebentar, jaraknya kini agak menjauh dari Dina. "Gadis itu, dari mana dia belajar beladiri?" bisik laki-laki bernama Tyan. Gadis itupun berlari, mengarahkan tongkatnya ke Tyan. Laki-laki itu mengerutkan dahi. Lalu ... Tap. Dia berhasil menangkap tongkat itu. "Aaargh!" Tyan berteriak. Dia bergerak memutar, Dina pun ikut berputar. Gadis itu panik, lepas kendali dan pegangannya pun terlepas. Dia terpental dan tubuhnya beradu tiang rak di gudang itu. "Uugh!" Dina mengaduh. Punggungnya terasa sakit dan perih. "Sial!" bisik batinnya. Kemudian dia berdiri, dia di sambut oleh kedatangan Tyan dengan tongkat milik Dina. Duk. Gadis itu terlambat menghindar. Bahu Dina terkena ujung tongkat besi laki-laki itu. Tyan mendorong tong
"G-gadis itu? Jangan-jangan dia?" ujarnya. Dia berdiri kembali, lalu melangkahi kepala itu dan mendekati tempat tubuh Dina tergantung. Namun, lagi-lagi Roy dikagetkan. Tidak ada Dina menggelantung di tempat itu. "D-di mana gadis itu?" Roy kemudian berputar, matanya menjadi sangat liat. Melihat sekelilingnya dengan ketakutan yang besar. "Di mana wanita iblis itu? Dan bagaimana dia membebaskan diri?" bisik batin Roy mulai kuatir. Dia merogoh kantong celananya, tangannya gemeteran saat dia mengambil ponsel di saku celananya itu. Wajahnya terlihat pucat saat tau gadis itu tidak lagi terpasung di tempatnya. "Sial ... kenapa susah banget keluar dari kantong?" bisik Roy. Lalu dia menghidupkan lampu senter dari ponselnya. Bergegas menerangi area sekitar ruangan gudang itu, mencari Dina. "Gue harus cepat menemukan dia, kalau tidak ... dia bisa membunuhku!" ujarnya. Roy melangkah jauh ke dalam, pemuda itu menyoroti tanpa ada yang terlewatkan. "Sial, di mana dia?" bisik batinnya kala lampu se
Roy membuka pintu takut - takut. Ketika Roy membuka pintu, mendadak dia menyerobot masuk. Tyo mengetahui bahwa anaknya sedang dalam bahaya. Ayah dari Roy itu cepat-cepat menodong Dina. "Lepaskan dia sekarang atau aku membunuhmu!" Senapan laras panjang tepat berada di kepala Dina. Gadis itu terkejut, matanya terbeliak melihat senapan Tyo sudah berada di kepalanya. "CEPAT LEPASKAN ANAKKU, IBLIS!" teriak Tyo habis kesabaran. Gadis itu, pelan-pelan menurunkan patahan besi dari leher Roy. Matanya tak lepas menatap tajam ke Tyo, yang menurut orang dia adalah gubernur terbaik yang di miliki Warga Jakarta. Tapi tidak menurut Dina, Tyo justru iblis sebenarnya yang mengendalikan otak Roy untuk terus berbuat jahat dan semena-mena dengan menggunakan jabatannya. Roy bergegas mencengkram pergelangan tangan Dina, kemudian dipelintirnya. "Sekarang, enaknya kita apakan Pah?" tanya Roy. Tersenyum penuh kemenangan. Gadis itu kembali tak berkutik. Namun, tidak semudah itu menaklukan Dina dengan peng
Senyuman gadis itu terlihat meledek. Fisik Roy terlihat lebih lemah di banding dengannya. Keringat di tubuh Roy yang banyak itu membuat dia mudah ditebak. "Kau kelelahan, huh?" tanya Dina dalam bahasa isyarat. "Diam kau, perempuan bisu!" protes Roy. Dia menegapkan tubuhnya lagi. Roy memulai pertarungannya lagi. Dina menghindar kala serangan Roy mendekati wajahnya. Gadis itu seolah bisa membaca serangan Roy. Buk. Pukulan keras membuat perut Roy terasa mual. Apalagi saat tangan Dina berputar di perut pemuda itu, rasanya melilit. Kemudian gadis itu menarik tangannya dan mendorongnya ke depan. Sekali lagi, perut Roy menjadi sasaran empuk pukulan Dina. Pemuda itu mundur tiga langkah, lalu memuntahkan isi perutnya. Napasnya terengah-engah. "Sial! Kenapa gue bisa selengah ini?" pikirnya. Mengelap sisa muntahan yang masih menempel di sekitar bibirnya. Pemuda itu seperti putus asa, tidak ada harapan untuknya menang melawan gadis yang sedang kesetanan untuk membalas dendam. Roy berlari dan
Kali ini bagian tajam tongkat besi itu menembus bagian bawah pintu. Pinggiran perut Roy terkena tusukan tongkat Dina. "Aaargh!" Dia berteriak ketika darah sudah banyak keluar dari lukanya. "Roy ... kamu gak apa-apa, Nak?" Dona terlihat kuatir. Pakaian Roy terkena banyak darah yang merembes. "Kita obatin dulu luka kamu!" ajak Dona, tetapi Roy menolaknya. "Gak, Mah ... gak usah!" "Tapi darah kamu banyak banget, Roy. Bisa-bisa kamu kehabisan darah!" Dona tetap memaksa anaknya. Lagi, putranya tetap menolak ajakan Dona. "Gak usah, Mah! Lebih baik kita halangi perempuan itu agar tidak masuk!" katanya. "Mamah tunggu di sini. Tetap tahan pintunya, Roy akan segera kembali!" Roy menuju ruangan lainnya. "Lho, kamu mau ke mana? Jangan tinggalin Mamah, dong, kan Mamah takut, Roy!" protes Dona. Roy mengabaikannya. "Sebentar, Mah. Roy akan cepat kembali!" Hanya itu sebagai jawabannya. "Aduuh, bagaimana ini? Kalau perempuan itu mendobrak pintunya aku harus bagai--" Belum selesai bibirnya beruca
"SUDAH AKU BILANG DIA TIDAK AKAN MELEPASKAN KITA, MAH!" teriak Roy melepaskan segala emosinya. Namun, itu tidak hilang. "L-lakukan Roy ... k-kau m-mau j-jadi ... a-nak ... d-durhaka?" ucapan Dina seolah meledeknya. Memberi tekanan yang tidak bisa dia terima. "B-bukankah ... k-kau ... s-suka m-memperkosa a-anak ... g-gadis orang?" "DIAM! GUE BILANG DIAM DAN GAK USAH NGEBACOT, CEWEK SIALAN!" teriak Roy sambil menunjuk ke arah Dina. Perempuan itu hanya tersenyum, namun terlihat getir mendengar bentakan Roy. Dina tak perlu banyak bicara. Hanya tangannya saja yang bekerja sangat cepat. Bagian runcing itu menusuk lebih dalam hampir menembus urat nadi di leher Dona. "Aaargh!" Dona terpekik kesakitan. Rasanya nyeri. Darah semakin banyak keluar dari luka tusuk. Roy tak tega melihatnya. "Sial! Gue gak bisa berkutik oleh gadis ini!" pikir Roy, dan hampir saja dia menaruh hati juga rasa kasihan pada gadis itu di gudang tadi. "Gue harus mencari cara agar bisa membebaskan mamah!" pikirnya lagi
Roy di luar semakin kaget mendengar jeritan mamahnya yang memilukan hatinya. "Hei ... lepaskan dia, sialan!" teriak Roy dari luar, melihat dari jendel dan memukul-mukul jendela. Dia cemas, lantas Roy mengambil batu besar. Pemuda itu melemparnya ke jendela. Praang. Kaca jendela hancur berkeping-keping, sebagian berserakan dia lantai dalam pavilliun dan sebagian serpihan kaca itu tercecer di halaman. Roy masuk ke dalam dan membiarkan luka-luka tusuk pecahan kaca melukai tubuhnya. Dia berlari ke dalam kamar yang sengaja tidak dikunci Dina. "Mamah!" Roy dibuat terkejut berkali-kali. Dona terlentang di tempat tidur dengan tangan dan kaki terikat tali. Bukan hanya itu saja, pakaian Dona sudah dalam keadaan compang-camping layaknya gembel. Wajah ketakutan Dona terlihat jelas, airmata menetes dari pelupuk matanya yang sayu menatap Roy. "Apa-apaan ini?" kata Roy bergetar. "Lepaskan Mamah gue!" pintanya menatap nanar pada Dina. Gadis itu tersenyum, lalu menggerakkan tangannya. "Kau ingat, b