Menjadi seorang istri sekaligus Ibu, di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Tentu bukan hal yang mudah bagi Jenala. Walau statusnya adalah pengantin baru, tak ayal membuatnya berleha-leha. Bulan madu? Apa itu? Karena Jenala maupun Abimana sudah disibukkan oleh segudang pekerjaan yang ada. Sebenarnya Abimana menawarkan untuk pergi ke salah satu destinasi wisata di indonesia bagian timur. Tapi Jenala menolak, entahlah. Bagi Jenala ini bukan saat yang tepat untuk mereka pergi berbulan madu. "Aunty tau tidak sekolah, Sera?" Jenala melirik Sera sekilas, lalu kembali fokus ke depan. "Tau dong, itu kan salah satu sekolah dasar terkeren di sini." "Benarkah? Berarti Sera keren dong?" Jenala terkekeh, ia mengangguk kuat. "Tentu, Sera sangat keren dan pintar." "Eummm… terima kasih Aunty!" seru gadis kecil itu riang. Selang dua puluh menit kemudian, SUV yang Jenala kendarai berhenti di salah satu sekolah dasar. Sera mencium pipi Jenala seraya melambaikan tangannya. Ketika i
"Tante, Miranda pulang dulu ya. Sudah sore, nanti malam aku suruh Cisa saja ke rumah. Soalnya mau bahas bisnis kita."Seharian ini Miranda memang di rumah keluarga Abimana, ditemani Jenala serta Raquel tentunya. Sedangkan Sera sedang gemar-gemarnya menggambar. Dan tak biasanya gadis kecil itu acuh tak acuh ketika ada Miranda di rumahnya. "Kalian mau membuka bisnis bareng? Butik atau restoran sayang?" Raquel bertanya excited."Bisnis kecantikan, Tante. Tapi masih membahas soal perencanaan dan lain-lain. Doakan semoga lancar ya, Tante." "Wah, pasti dong sayang. Tante dukung seribu persen, kalian memang perempuan luar biasa." Jenala tersenyum kecut kala Raquel meliriknya sinis. "Tuh, Jenala. Kamu harus banyak belajar dari Miranda dan Cisa. Jadi walau sebagai Ibu rumah tangga, tapi tetap menghasilkan uang." “Bak, Ma.” Balas Jenala apa adanya, biarkan saja Raquel mengatakan apapun. Toh nanti Jenala akan buktikan dengan kerja kerasnya ketika mengelola perusahaan sang papa.“Kalau begitu
Jenala mengemudikan SUV-nya dengan rasa sesak sepanjang perjalanan. Dia tak tahu mengapa perempuan dengan mudahnya menghakimi sesama perempuan lainnya.Women support women adalah hal terbullshit yang pernah Jenlala dengar. "Aunty…"Jenala tersentak, dia mengurangi kecepatan kendaraannya. Ya Tuhan, bahkan Jenala tak sadar jika Sera berada di sampingnya. "Aunty, you okay?" Jenaa gelagapan, dia memasang senyum menenangkan pada Sera. "Tentu, kenapa sayang?""Eum…. Sera melihat Aunty berantem bersama Oma dan Aunty Cisa."Jenala tertegun, dia menepikan mobilnya agar lebih fokus pada Sera. "Sayang, maafin Aunty. Tidak seharusnya kamu melihat hal yang seperti itu." Jenala menggigit bibir bawahnya penuh rasa sesal. "Tidak apa-apa, Sera mengerti. Awalnya Sera mau ambil bekal, tapi tidak jadi karena suara teriakan yang keras." Jenala semakin merasa bersalah, dia lepas kendali dan tak memikirkan apapun. Bekal Sera saja dia tinggal begitu saja, yang jelas pada saat itu dia harus pergi dari ha
Jenala resmi memegang perusahaan A&J milik mendiang papanya. Dan dia sangat bersyukur karena Abimana selalu berada disisinya untuk mensuportnya. Perusahaan Alpha memang tidak besar, karyawannya pun hanya dua puluh orang. Tapi jangan remehkan kualitas mereka semua, karena perusahaan ini berfokus pada periklanan. Tak jarang brand-brand besar juga di handle oleh A&J. "Bu Jenala, dua bulan yang lalu kita semua sempat meeting bersama Pak Abimana. Beliau mengatakan jika A&J akan dipindahkan ke pusat kota, karena gedung ini memang sudah habis masa kontraknya." Jenala terdiam, dia menatap sang manajer dan beberapa stafnya penuh pertimbangan. "Saya baru terjun di sini sekitar satu minggu. Tapi belum diinfokan oleh Mas Javier mengenai hal itu. Jika begitu nanti saya make sure kembali, ya." Mereka mengangguk serempak, sejujurnya Jenala ragu untuk pindah. Karena di sini lokasinya sangat strategis. Dan juga ini tempat pertama kali papanya merintis bisnis. "Pak, Ben. Ini kontraknya sisa berapa
Pagi harinya Abimana, Jenala serta Sera bergegas ke lantai bawah. Mereka langsung mengambil duduk di tempat masing-masing. "Ma, Papa tidak sarapan?" Raquel menggeleng. "Papa kamu selesai satu jam yang lalu. Sudah berangkat juga ke kantor, biasalah, seperti kamu tidak mengenalnya saja." Kekeh wanita itu, yang dibalas dengan anggukan singkat dari Abimana. "Aunty, Sera maunya susu coklat." Jenala menoleh pada Sera, lalu melirik segelas susu putih yang ada di sebelah gadis kecil itu. "Sebentar ya, Aunty buatkan dulu." Setelah Jenla berlalu, Abimana mengusap kepala sera penuh kelembutan. "Sayang, untuk kedepannya makan apa yang ada di hadapan Sera saja, ya. Kasihan Aunty Jena, sarapannya jadi terganggu."Sera mengernyit bingung, dia mantap Abimana penuh tanya. "Kenapa? Apakah tidak boleh, Papa?" Abimana membenarkan posisi duduknya. Dia mengusap surai Sera telaten. "Boleh saja sayang, tapi cek dulu keadaan, dan disini posisinya makanan Sera sudah tercukupi. Lalu jika ingin meminta sesu
"KAMU APAKAN CUCU SAYA HAH!" Jenala terdiam dengan pandangan kosong ke depan. Dia sama sekali tak melawan ketika Raquel meremas bahunya kuat. Yang ada di kepalanya saat ini adalah hanya keadaan sera.Jenala masih ingat tubuh kecil itu tergeletak dengan darah di pelipisnya, belum lagi kening serta kakinya yang lecet akibat gesekan aspal. "Dasar Ibu yang tidak becus!" Cisa menimpali, perempuan itu berdiri di sisi mamanya. Jika saja keadaan normal, mungkin Jenala akan melawan mereka. Tapi saat ini dia kehilangan rasa percaya diri itu, bahkan Jenala berpikir jika dirinya memang tak becus menjadi ibu bagi sera. "Tante, Cisa. Sudah ya, Jena pasti masih shock." Miranda membuka suara, perempuan itu menarik lengan Jenala seraya mendudukkannya di kursi ruang tunggu. "Yang terpenting kita harus berdoa supaya Sera baik-baik, saja." Miranda menepuk pelan punggung tangan Jenala sebagai penyemangat. Sementara Jenala mulai terisak, perasaannya tersayat ketika membayangkan keadaan Sera di dalam s
Belum genap tiga bulan mereka menikah, rumah tangganya tiba-tiba diguncang badai. Ternyata memang benar, tidak baik tinggal bersama mertua dan ipar. Pasti ada saja cekcoknya.Ini adalah pertengkaran pertama mereka setelah menikah, dan jika boleh jujur. Jenala sakit hati karena Abimana tak mendengar dari kedua sisi. "Jenala, kenapa terburu-buru?" Jenala tersentak, dia tak sadar jika ada papa mertuanya yang menghalangi jalannya. "Papa, maaf. Saya mau ke kamar mandi. Kalau begitu saya duluan ya, Pa." Jenala berlari tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit. Sementara Viktor memperhatikan perempuan itu penuh penilaian. Viktor melangkah menuju kamar Sera, dan menemukan Abimana serta Raquel. Sedangkan Sera sudah memejamkan mata dengan boneka beruang yang ada di pelukannya. "Bagaimana keadaannya?" "Sudah lebih baik, Pa. Kakinya terkilir sama luka lecet di kening," jawab Abimana. Jujur saja, Abimana terlihat aneh ketika melihat mamanya yang membuang muka kala tak sengaja bertatapan denga
"Kamu sudah hamil, belum?" Tubuh Jenala menegang, ia menelan ludah susah payah. "Pasti belum, ya? Sudah periksa ke Dokter? Takutnya ada yang salah dengan keseha-" "Mama, Miranda sudah siap." Miranda tersenyum lebar, perempuan itu benar-benar cantik, walau dengan riasan tak berlebihan. Pantas saja dia menjadi salah satu model yang diperhitungkan saat ini. "Hai Jena! Terima kasih sudah datang!" Miranda melangkah menuju Jenala, dan memeluk perempuan itu singkat. Sementara Cisa yang ada di belakang Miranda berdecak malas. Jenala yang melihatnya hanya tersenyum datar, entah mengapa Cisa begitu membencinya sekarang. "Ternyata acaranya sudah mau mulai, ya?" Jenala menoleh ke sumber suara, sepertinya itu para sepupu serta paman, Abimana. Jenara tertegun untuk sejenak melihat paras menawan mereka semua. Ada beberapa yang Jenala kenali, itu pun mereka yang ke acara pernikahannya saja."Iya, Pa. Biar cepat acara makan-makannya. Cisa sudah lapar sekali katanya.""Ih! Miranda! Jangan berboho