173“Mentari!” Samudra memanggil wanita berkerudung dan sweeter tebal yang berjalan terburu-buru menggendong bayi. Wanita itu dan wanita yang lebih tua yang sama-sama menggendong bayi, memang berjalan ke arahnya. Samudra sudah sangat yakin jika mereka akan menghentikan langkah karena sengaja ia hadang. Namun ….Samudra mengerjap dan bahkan menyurutkan langkah saat keduanya tetap berjalan menuju resepsionis. Jangankan berhenti, mereka bahkan tidak melirik dirinya sama sekali seolah ia makhluk kasat mata.Apa memang wujudnya tak terlihat? Atau ia salah orang? Karena memang wanita yang ia sangka Mentari menutup hampir sebagian wajahnya. Kerudung yang dibuat sangat turun di bagian depan dan juga masker yang menutup bibir hingga pipinya. Matanya juga tertutup kacamata gelap.Atau … apa mereka takut melihat penampilannya yang menyeramkan?Samudra mengerjap sebelum akhirnya mengejar kedua wanita yang sudah keluar dari pintu lobi.“Mentari!” Lagi ia memanggil dan mengejar. Suaranya lebih kera
174Samudra membalikkan badan dengan cepat. Padahal tangannya sudah meraih handle pintu. Tatapannya tertuju wajah wanita berpakaian lusuh. Sumpah demi apa pun kalimat wanita itu barusan mampu membuat dunianya semakin porak poranda. Ya, walaupun belum mempercayai sepenuhnya.“Kamu bicara apa?” Suara Samudra bahkan sumbang. Tak bernyawa. Sang pria berusaha meyakinkan dirinya jika pendengarannya bermasalah.Wanita berpakaian lusuh yang berdiri di samping meja, semakin menunduk ketakutan. Tapi, semua sudah terlanjur. Toh, terus menutupi kebusukan Bastian pun tidak akan menguntungkan baginya. Laki-laki itu tidak akan menolongnya atau memberikan imbalan seperti janjinya.Kalaupun kemarin menghindari Samudra, semata karena takut pria itu melaporkannya ke polisi. Bukan karena melindungi Bastian. Siapa sangka Samudra tidak melepaskannya. Dan bodohnya ia yang terperangkap trik anak buah pria itu.Berawal merasa mendapat durian runtuh karena melihat dompet berjejal uang lembaran merah di jok bela
175“Jadi, itu mantan suami Ibu?” tanya Mbak Rumi saat mobil yang membawa mereka menjauh dari hotel sudah berbaur dengan kendaraan lain di jalanan yang belum terlalu ramai.Mbak Rumi yang menggendong Bulan sejak tadi terus memperhatikan majikannya yang terus memejamkan mata. Semenjak masuk mobil, mentari terlihat gusar dengan terus menoleh ke belakang. Baru setelah mobil jauh meninggalkan hotel sang majikan terlihat agak tenang.Sejak semalam Mentari memang sudah memberitahu pengasuhnya itu agar mereka chek out sepagi mungkin. Tentu saja untuk menghindari hal seperti ini.Mentari tahu konsekuensi tampil di muka umum dengan wajah tak tertutup, juga membawa anak-anak yang notabene mewarisi kemiripan dengan Samudra. Mantan suaminya itu memiliki koneksi yang luas dan anak buah yang banyak. Apalagi dengan beberapa perusahaan di bawah kendalinya saat ini. Jika pun ia tidak melihat langsung tayangan presscon kemarin, ada banyak mata lain yang mungkin menonton. Maka, bukan tidak mungkin kemun
176Mentari mematung. Kakinya mendadak sulit untuk digerakkan. Pun bagian tubuhnya yang lain yang mendadak kaku. Tak ayal ia terperanjat di detik-detik pertama matanya bersitatap dengan pria yang menatapnya sayu. Namun, ia menguatkan hati agar tidak terbawa perasaan. Ia harus bisa bersikap normal seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan hati dan jantungnya.Mentari berkedip setelah beberapa lama tatapannya bersirobok dengan tatapan pria di luar sana. Hatinya tak ayal berdesir melihat pria itu lagi. Tak menyangka jika Samudra akan secepat ini menemukannya. Bahkan matahari belum juga menampakkan diri, tetapi pria itu sudah berada di sana.Mentari berbalik tanpa berkata-kata, ia bermaksud kembali ke dalam rumah saat suara panggilan menahan.“Tari.”Mentari menggigit bibirnya, matanya memejam. Setelah satu setengah tahun berusaha membuang jauh segala apa pun tentang sang pria, siapa sangka secepat ini akan mendengar lagi suara itu.Mentari masih berada di posisi sama saat terdengar langka
177“Maafkan Mas, Tari ….”Mentari menahan napas saat terdengar permintaan lirih yang berbaur dengan tangis. Wanita itu membuang muka. Menjatuhkan pandangan ke deretan pot tanaman yang bunga serta daunnya masih digelayuti embun.Tidak seperti bunga dan dedaunan itu yang sejuk dibalut embun, hatinya panas membara. Bertemu lagi dengan pria yang sudah menorehkan luka hati, tentu membuka lagi luka itu. Luka yang seharusnya sudah kering karena mati-matian dibalutnya oleh waktu, kini terasa kembali basah karena sang pemberi luka mengorek-ngorek lagi.“Maafkan Mas, Tari. Sungguh Mas terlalu bodoh untuk melihat kebenaran sejati. Katakan apa yang Mas harus lakukan untuk menebusnya? Mas rela melakukan apa pun asal bisa bertemu dan memeluk si kembar.”Mentari menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Matanya panas. Bukan karena tersentuh dengan permintaan maaf Samudra, tetapi karena luka itu kembali berdarah-darah.“Mas bodoh. Sangat bodoh. Padahal sebelum kejadian pun sudah sering melihat tatapan Ba
178Mentari tidak ingin menanggapi. Terlalu muak. Wanita itu hanya menatap tanpa kata, sebelum membuka pintu, masuk ke dalam rumah dan secepat kita menutup pintunya lagi. Lama-lama bicara dengan pria itu selain membuka luka lama, hanya membuat kepala panas dan tensi naik. Seperti yang sudah diduganya, mantan suaminya itu pasti menginginkan si kembar.Mentari mengunci pintu. Menutup lagi gorden yang tadi sudah dibuka semua. Setelahnya menuju kamar anak-anaknya yang tengah didandani Mbak Rumi.“Ibu punya indera keenam, ya?” tanya Mbak Rumi begitu Mentari datang dan langsung membantunya mendandani salah satu bayi.“Kenapa nggak nunggu aku dulu, Mbak? Pasti susah memandikan si kembar sekaligus.” Sambil menggelitik perut Bulan yang baru dipakaikan diapers, Mentari melirik pengasuh bayinya.“Nggak apa-apa, Bu. Sudah kerjaan Mbak. Eh, Ibu sepertinya keturunan cenayang, ya?”Mentari menarik napas. Ternyata wanita kurus itu tak melupakan rasa penasarannya meski ia sudah mengalihkan obrolan.“A
Bab 1“Bastian, ahhh … lebih cepat lagi–”Aku menajamkan pendengaran begitu tiba di depan pintu kamar Bastian, calon suamiku. Suara-suara aneh dari dalam sana membuat bulu di tubuh ini meremang.“Bas–oh ....”Aku tidak tahan lagi, tubuhku mendadak bergetar hebat karena mendengar suara-suara itu. Suara-suara khas sepasang manusia yang tengah mengarungi lautan kenikmatan.Brak!Kudorong pintu ruangan itu dengan kuat hingga dua orang yang tengah bergumul di atas sofa sontak terperanjat.Sepasang manusia tidak tahu malu itu kompak menoleh ke arahku.Si lelaki langsung loncat menarik diri dari atas tubuh wanitanya dengan gelagapan. Disambarnya bantal sofa untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sementara wanitanya bukan melakukan hal sama, melainkan dengan tidak tahu malu melemparkan senyum penuh kemenangan padaku.Raut puas sangat kentara di sana–aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia bahkan membusungkan dadanya seolah ingin menunjukkan padaku jika tubuhnya baru saja dinikmati calon suamiku.
Bab 2Aku menelan ludah dengan susah payah. Pandangan tajam ini mengabur dengan sendirinya karena kaca-kaca yang mulai menutupi bola mata.Sumpah demi apa pun, hatiku sakit. Sakit karena pengkhianatan Bastian dan Novita, juga karena ucapan busuknya.Aku ingin lebih memaki, tetapi rasanya percuma.Akhirnya aku membalikkan badan tanpa berkata-kata lagi. Lalu membawa kaki ini melangkah keluar. Meninggalkan ruangan yang baru saja digunakan perbuatan terkutuk manusia-manusia laknat itu.“Ini salahmu, kenapa tidak mengunci pintunya?”Langkahku terhenti di depan kamar saat mendengar suara Bastian. Walaupun tidak jelas karena diucapkan dengan mendesis, tetapi telingaku cukup baik menangkapnya.“Mana aku tahu dia mau ke sini?” Itu Novita yang menimpali. “Sudah kubilang lebih baik ke hotel seperti biasa. Tapi kamu malah mau di sini. Salahku di mana?”“Sial!” Bastian mengumpat.Aku memejam dengan kuat. Satu kesimpulan yang dapat diambil dari dialog singkat mereka, jika ini bukan yang pertama dan