"Wah, Rum, makin hari makin tambah cantik aja, deh," puji Levin yang baru datang lalu duduk di ranjang. "Biasa saja, Mas.""Serius ... kalo kamu begini, Damar makin tak mau dicerai. bisa jatuh cinta lagi dia," goda Levin. Arum tersenyum, sambil duduk di depan Kakanya Levin. "Ga mungkin lah Mas, jatuh cinta, lagian Rum, bukan tipenya kali.""Model begituan, pengen ku tonjok saja mukanya itu, nyebelin."Arum tertawa geli. "Bagaimana persiapannya Mas?""Mudah-mudahan kita menang Rum, oh ya Siapa saksinya, Rum?""Mama sama, Mas Elang.""Bailklah, ayo lama sekali dandannya."Arum mengembuskan napas kasar dan memijit pelipisnya. Semoga saja Damar tidak segila kala persidangan kemarin. Arum mengambil tas juga berkasnya dan berjalan mendekati sang Papa. "Kau gugup, Nak?" Tanya sang Papa pada Arumi yang terlihat diam. "Sedikit Pa." Arumi mencoba ngontrol detak jantungnya yang tak beraturan. Sang papa tersenyum manis. "Bagus, kau harus kuat Rum. Dan ingat anak papa pantang menangis ya."Aru
Aura merasa kesal, sang papa tak kunjung pulang juga tugas dari sekolah banyak sekali, musim pandemi membuat Aura lebih banyak daring di rumah, al hasil ia cepat sekali marah jika tidak mengerti cara mengerjakan soal yang akan dikerjakannya. "Jadi, guru Les private, Non, tidak hadir hari ini?" Bibi bertanya dan menemani Naura belajar. "Eggak, gimana nih, pusing Naura Bi, ini harus dikumpulkan paling lambat jam 12 siang ini," jawab Naura dengan suara lirih, karena takut tak bisa mengerjalannya. "Wah, apa Bibi bisa bantu, Non.""Malas, Naura Bi," tampak Naura kesal seraya kurang bersemangat. "Jangan gitu Non, nanti Papa marah lo.""Jika Bunda masih hidup, Naura kan enak Bi ada yang bantuin Naura." Setetes bulir bening keluar dari mata gadis kecil itu. "Jangan begitu, Non. Bibi jadi sedih."Gasis kecil itu, hanya diam. Menatap tugas yang tidak bisa ia kerjakan, sesaat ia menatap foto sang Bunda yang telah lama pergi meninggalkannya. Rasa pilu kini hadir lagi, hanya kata andai dan an
Damar menatap penjuru ruangan, sekilas ia melihat Levin bos dimana Arum bekerja. sedang bersama rekan kerjanya. Damar lepas kontrol ia langsung menghampiri dan memukul Levin. Berkali-kali ia mendorong tubuh Levin. Levin tak siap hampir terjatuh karena ulah Damar, namun ada rekan kerja Levin yang menagkapnya sati belakang. Ia bangkit dan membalas pukulan Damar dengan keras. Bughh"Hey, apa masalahmu?" tanya Levin tak mengerti. "Kau, jangan ambil, Arumku," jawab Damar kesakitan, darah segar mengalir diujung bibirnya. Levin mendorong tubub Damar menghimpit ke tembok. Dan berusaha membalas Damar. "Dasar gila ya, lihatlah sudah datang bersama selingkuhannya. Masih cemburu sama Arum. Lelaki macam apa ini." Goda Levin membuat Damar semakin memanas. "Tidak akan aku biarkan kau mendekati Arum."Levin tersenyum sombong. "Hay, kau yang tak akan pernah bisa menyentuh arum lagi, apa lagi menyentuh satu saja ujung rambutnya. Tak akan aku biarkan, lelaki gila." Ancam Levin. "Oh, sombong kau!"L
Arum berjalan masuk ke kamarnya, wanita itu duduk termenung di balkon kamar. Menatap bintang-bintang yang bersinar menerawang diatas sana. Namun perasaannya tidak seterang hatinya. Ia pun tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, pada kenyataannya hatinya terasa begitu rapuh. Saat menginggat kejadian tadi sore di rumah Elang. "Aku keberatan kalau kau datang ke sini lagi Zhi," ucap Elang memanas sembari menunjuk kepada perempuan itu. Arum menoleh bingung siapa Zhi ini, dan menatap wanita itu tak mengerti dengan tatapan keheranan dan bingung. "Wanita inikah, yang membuatmu membuangku?" balas Zhi.Arum terdiam tak mengerti, apa ini sebenarnya. Ekspresi wajah wanita itu tampak datar, tapi jelas ia sangat tak suka melihat Arum berada disini. "Kau keterlaluan, Bang Elang!" Wanita itu menangis histeris, membuat Elang geram dan mengepalkan tangan. "Bukankah kau pergi, dengan lelakimu itu?""Omong kosong, kembalikan putriku."Deg.... 'Astaga jadi wanita ini masih hidup dan belum m
Hari berganti bulan, Levin mengajak Arum belanja bulanan, karena dapat pesanan dari sang mama. Mobil membelah malam dengan lampu penerangan di pinggir jalan yang bersinar terang. Hawa dingin menusuk hingga ke pori pori Arum. "Dingin...?""Iya, Mas.""Pakailah jaket, itu di belakang kamu."Arum menoleh dan mengambil jaket lalu memakainya. Sepanjang perjalanan tanpa ada percakapan, Arum memperhatikan jalanan yang terang dan ramai. Sedangkan Levin fokus menyetir. Selang beberapa menit mobil berbelok ke halaman parkir di sebuah mall di tengah kota besar. Itulah pusat perbelanjaan yang sangat ramai pengunjung. Levin mengajak Arum ke lantai satu mall. Suasana cukup ramai malam itu, mereka langsung mencari bahan pokok juga sayur mayur ikan, ayam, dan daging. Serta sabun dan buah-buahan request sang Mama, dua keranjang kereta telah penuh. Mereka menuju kasir untuk membayarnya. Selesai mereka berjalan dan menaruh belanjaan dalam bagasi mobil, selesai mereka berjalan kembali ke arah lantai ti
"Mas Levin yakin, enggak suka gadis tadi cantik lo." Goda Arum. Levin menghela napas barat, lalu menatap wajah adiknya yang begitu antusias menjodohkannya dengan temannya. "Enggak, sudahlah jangan menjodohkan aku, Rum."Sesaat Arum merasa seperti ada yang hilang. Entahlah begitu berat jika kakaknya kali ini jatuh cinta pasti hidupnya akan jadi sepi. "Ayo turun, kita sudah sampai," ucap Levin. Arum mengangguk. "Hmmm, gitu saja ngambek."Namun, ada rasa gelisah yang bersemayam dihati Arum. Entahlah ... karena ia masih memikirkan Elang kemudian ia mengingatkan dirinya bahwa memang sudah seharusnya ia mulai membiasakan diri. Agar nantinya tidak terlalu sakit saat harus melepas kakaknya Elang ini untuk menikahi wanita lain. Apalagi di antara mereka sudah ada Naura. Arum masuk bersama Levin, suara degub jantung yang tidak beraturan menemani Arum, perasaannya kali ini tak enak ada apa ini? sesaat Arum meremas ujung bajunya. Hari ini perasaannya tak seperti biasanya. Wanita setengah bay
Sang papa mengangguk. "Iya."Badan Arum bergetar hebat, jantungnya naik turun, ia merasa jika badannya keluar keringat dingin, seperti mimpi rasanya ketakutannya berbalik sembilan puluh derajat menjadi satu hal yang menakutkan. Arum memijit pelipis merasakan kepalanya yang begitu berat saat membuka mata. Mungkin karena ia terlalu syok mendengar permintaan Mama juga papanya. Membuat Levin tak sanggup lagi membantah apapun permintaan sang Mama. Apa yang mereka rahasiakan selama ini? Kenapa banyak sekali rahasia? "Maafkan Mama dan Papa. Levin, maaf jika ini keputusan Papa, namun Papa lihat kau menderita saat mengetahui jika Arum adalah adikmu bukan.""Bisa di jelaskan alasannya, Pa?" tanya Levin tak percaya. "Aku tahu kau kecewa dengan keputusan kami, Nak, namun itulah kebenarannya, kami mengadopsimu saat kedua orang tuamu meninggal saat kecelakaan. Dan saat itu anak kandung kami hilang saat di rumah sakit." Pak Dibyo terlihat melepas kaca mata dan mengusap air matanya yang jatuh. "Be
Arum menatap cermin, ada seorang MUA yang merias wajahya. Wanita itu yang tadinya terlihat biasa menjadi semakin cantik setelah dirias. Penampilannya semakin cantik dengan balutan kostum dengan dres warna baby pink, serta tiara menawan sebagai hiasan di kepalanya.Dagub jantung Arum naik turun menahan rasa nervous yang tak terkira. "Wah, Non cantik sekali ... mama sampai pangkling."Arum tersenyum. "Terima kasih, ma.""Cocok sama dengan Levin yang tampan. Semoga langgeng ya Nak.""Masa sih ma, Aamiin Allahuma Aamiin." "Iya semoga jodoh sampai tua ya, Nak." Doa sang mama untuk Arum. "Aamiin, iya ma."Arum belum selesai di rias. Ia masih merasakan gugup yang luar biasa. Kali ini keringat dingin keluar dari tubuhnya. Ya apapun itu Arum berusaha untuk merawat dan melindungi pernikahannya, dari segala yang mengotori kesucian cinta nantinya. Semua tamu undangan kerabat keluarga datang juga para rekan kerja Levin juga datang menyaksikan. Kali ini pernikahaan diadakan dihotel berbintang.