Share

7

Rheyner menunggu Nadira di depan gerbang rumah gadis itu. Tadi pagi-pagi sekali Sherin mengiriminya pesan yang isinya menyuruh Rheyner berangkat dengan Nadira. Sementara Sherin akan berangkat sendiri seperti sebelum berpacaran dengan Rheyner. Entah mengapa Sherin benar-benar khawatir pada Nadira.

Nadira keluar rumah dengan ceria. Ia bahkan bersenandung.

“Lho, kirain Kak Panji. Kok kamu nggak jemput Kak Sherin sih, Rheyn?” tanya Nadira heran.

“Bawel deh. Buruan naik.”

Nadira naik ke boncengan Rheyner tanpa disuruh dua kali. Akan tetapi, Rheyner tak kunjung menyalakan mesin motornya.

“Kok nggak jalan?” Nadira menyuarakan pertanyaan di benaknya.

“Helm lo mana?” Rheyner mempertanyakan helm yang sengaja ia belikan untuk Nadira.

“Biasanya sama Kak Panji nggak pakai helm nggak papa kok asal lewat jalan pintas yang bebas polisi.”

“Jadi kalo bareng Panji lo nggak pake helm?” Rheyner menolehkan kepalanya spontan. Nadira menggeleng. “Nad, pake helm itu bukan sekedar buat terhindar dari tilang, tapi buat terhindar dari bahaya. Jangan ketularan begonya Panji dong.”

“Bahaya mah nggak ngaruh sama hel—”

“Lo tahu maksud gue,” potong Rheyner sengit. Nadira berdecak. Ia turun dari motor Rheyner dan segera berlari masuk ke rumah mengambil helm. Kalau tidak begitu Rheyner akan berubah jadi cowok paling cerewet sedunia. 

Sembari menunggu Nadira mengambil helm, Rheyner memainkan telepon pintarnya. Ia membalas chat Sherin yang menanyakan apakah Rheyner dan Nadira sudah berangkat atau belum. Tak lama Nadira kembali dan sudah memakai helm yang dibelikan Rheyner. Rheyner memasukkan kembali ponselnya dan menyalakan mesin motor. Senyum puas terhias di bibir Rheyner.

“Awas, kalo pergi naik motor nggak pakai helm lagi!” kegalakan Rheyner teredam helm full face yang ia kenakan. 

“Emang Kak Sherin kamu paksa begini juga?” cibir Nadira.

“Beh ... ya kagaklah, orang gue nggak beliin dia helm.” Rheyner tertawa.

Nadira menabok punggung lebar Rheyner.

“Pegangan.” Rheyner memacu motornya agar melesat meninggalkan perumahan mereka.

                      ***

Sepulang sekolah Nadira semangat sekali mengajak Rheyner, Sherin, dan Panji serta Putri ke kafe milik ibunya. Nadira menolak memberi alasan pasti mengapa ia mengajak mereka ke sana. Oh, iya, sebenarnya Nadira juga memiliki alasan selain alasan pribadinya, mencomblangkan Panji dan Putri. Akhir-akhir ini Panji sering menanyakan tentang Putri pada Nadira. Nadira yang kelewat peka jelas dapat melihat bahwa Panji tertarik pada Putri. Jadi begitulah, Nadira yang harus berperan menjodohkan mereka.

Nadira langsung mendudukkan diri di dekat panggung kecil kafe itu. Hanya Rheyner yang menyadari perubaan sikap Nadira. Dan mungkin hanya dia juga yang dapat menebak alasan Nadira duduk tepat di depan panggung.

Semua sudah duduk di tempat yang sama dengan Nadira. Akan tetapi, Nadira justru terlihat asik dengan ponselnya hingga lampu kafe mendadak meredup. Nadira meletakkan ponselnya dan melihat ke arah panggung yang sudah ada beberapa orang lengkap dengan alat musik. Lalu terdengarlah lantunan lagu milik band asal Jepang, One Ok Rock, yang berjudul Notes n Words. Itu lagu favorit Nadira dan Rheyner.

Nadira menyaksikan penampilan band itu dengan seksama. Ia hayati setiap lirik lagunya. Di sana, di atas panggung, seseorang juga tengah memperhatikan Nadira tanpa mengurangi konsentrasi pada permainan gitarnya.

Sepasang manik mata Nadira seperti terserap dalam pusaran ombak yang menenggelamkan kala bertemu dengan manik mata seseorang yang masih memainkan gitar dengan apik.

Another song for you about your love

’cause you love the me that’s full of faults

I wish you could see it from this view

’cause everything around you is a little bit brighter from your love

Lagu selesai. Semua bertepuk tangan kecuali Rheyner. Sejak band itu mulai bernyanyi pun Rheyner sudah memandangnya tidak suka. Rheyner sendiri tidak tahu alasan pastinya. Namun, yang jelas ia benar-benar tidak suka dengan band itu meski lagu yang baru saja dimainkan merupakan lagu favoritnya.

Nadira yang paling antusias bertepuk tangan. Bibir Nadira melengkung sempurna kala personil band yang sedari tadi menatapnya menyunggingkan senyum tipis padanya. Pemuda yang masih memegang gitar itu maju selangkah dan terlihat membisikkan sesuatu ke telinga si vokalis. Vokalis itu mengangguk mengerti.

“Oke, lagu selanjutnya adalah lagu milik kami sendiri yang diciptakan oleh Josaphat, gitaris. Lagu ini kami persembahkan untuk Nadira teman baru kami sekaligus ehm ... teman special-nya Jo.” Sang vokalis menunjuk Nadira sembari mengedipkan sebelah matanya. “Enjoy it.” 

Josaphat masih menatap Nadira. Kali ini dengan tatapan yang tak terbaca membuat Nadira tersipu.

Di meja Nadira semua sudah ramai menggodanya kecuali satu orang. Siapa lagi kalau bukan Rheyner. Punggung Rheyner bersandar di kursi, kedua tangannya bersidekap dan tatapannya tajam mengarah ke panggung atau lebih tepatnya seseorang yang berada di panggung.

“Gombalan basi!” desis Rheyner.

Rheyner tidak tahu bahwa ada satu orang di meja itu yang mendengar desisan tersebut. Dan satu orang lagi yang sadar dengan perubahan sikap Rheyner.

                            ***

“Nadira, pulang!” kata Rheyner tegas.

Nadira menatap Rheyner dengan tatapan memohon. “Sebentar aja kok, Mas.”

“Nggak!” tolak Rheyner. “Lo itu berangkat bareng gue jadi pulang juga harus sama gue. Mau bilang apa gue nanti sama Ibu?”

“Aku udah pamit sama Ibu kok.” Tatapan Nadira semakin memelas.

Rheyner terdiam. Sherin menghampiri dan memeluk lengan kekar Rheyner. “Udahlah, Rhey, izinin aja Dira pergi. Lo nggak kasihan sama Dira?” bujuk Sherin.

“Iya, nggak usah lebay gini deh, Rhey. Jo keliatannya orang yang baik kok.” Panji menimpali. “Udah, Dira, sana pergi nggak papa.”

Rheynera langsung  memandang Panji sengit. Rahang kokohnya semakin mengeras.

“Benaran?” tanya Nadira yang justru seperti ditujukan pada Rheyner.

“Iya, Dira.” Panji yang menjawab.

“Mas Rheyn...” panggil Nadira.

“Ya udahlah terserah lo!” Rheyner menarik tangan Sherin dan berjalan cepat ke motornya. Nadira memandang nanar. Rheyner marah.

Panji menyentuh pundak Nadira. “Udah sana, Mas Rheyner biar Kakak yang urus. Tuh, Jo udah nungguin dari tadi.” Panji menunjuk Josaphat yang berada di mobilnya, tidak terlalu jauh dari mereka berdiri, dengan dagu.

“Makasih ya, Kak.” Nadira memberikan senyumnya untuk Panji, seseorang yang ia anggap sebagai kakak.

“Sama-sama, Adikku Sayang.” Panji mengelus kepala Nadira.

“Ehm, Putri masih di kamar mandi ya?”

“Iya. Kamu jangan khawatirin dia, biar Kakak yang antar.” Nadira mengangguk. Tidak lama setelah itu Nadira berjalan ke mobil Josaphat dan segera masuk. Josaphat menyambutnya dengan senyum merekah.

                                ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status