Share

6

Nadira berjalan santai menuju kelasnya. Pagi ini ia berangkat bersama Panji karena Rheyner menjemput Sherin. Ia berpisah dengan Panji di parkiran. Entah mengapa perasaan Nadira pagi ini sedikit tidak tenang. Sekolah sudah lumayan ramai mengingat bel masuk berbunyi sepuluh menit lagi. Di koridor dekat tangga Nadira melihat kerumunan murid yang lebih banyak perempuan. Memang di sana ada mading, tetapi biasanya tidak seramai itu kecuali saat pengumuman kelulusan.

Benak Nadira diselimuti rasa penasaran. Tanpa sadar kakinya bergerak menuju ke mading tersebut. Saat Nadira mendekat semua mata memandangnya. Pandangan mereka beragam tapi lebih banyak yang menilai dari ujung rambut ke ujung kaki. Langkah Nadira tidak setegas tadi, ia menolehkan kepalanya perlahan untuk memastikan kemana arah pandang murid-murid yang berkerumun itu.

Tidak ada orang lain di sana, di belakangnya. Nadira meneruskan langkah kaki yang sudah terlanjur ke sana. Lagi pula Nadira memang mengarah ke tangga yang ada di sebelah mading. Nadira menyunggingkan senyum pada satu-dua murid yang masih menatapnya terang-terangan. Nadira mendesah lega begitu ia mencapai tangga. 

“Jadi itu pacarnya Rheyner, not bad lah kalo menurut gue.”

“Iya gue setuju. Cantikan dia kemana-mana dibanding si centil Anita.”

Samar-samar Nadira mendengar percakapan murid yang berjalan menjauh dari kerumunan. Nadira meneruskan langkahnya menaiki tangga dengan pikiran yang berkelana. Tadi yang dimaksud pacarnya Rheyner itu siapa?

                             ***

“Rhey, lo bohongin gue ‘kan!” todong Arfa begitu Rheyner mendudukkan diri di kursi kantin.

“Gue baru aja duduk, Fa,” protes Rheyner.

“Bohong soal apaan?” Panji mewakili Rheyner.

“Sebenarnya lo sama Nadira pacaran ‘kan, ngaku lo?” Arfa menunjuk muka Rheyner.

“Uhuk … uhuk ....” Rheyner yang tengah meminum jus jambu Arfa pun tersedak.

“Noh, benar ‘kan? Tahulah, gue ngambek sama kalian berdua.” Arfa berdiri dan mencebikkan bibirnya kesal. “Bayarin jus jambu gue,” titah Arfa sebelum pergi dari hadapan Rheyner dan Panji.

Rheyner bertukar pandang dengan Panji sebelum keduanya bergidik ngeri. “Itu anak kesambet apa gimana?” Panji bertanya retorik.

Rheyner mengangkat bahunya. “Lo yang bayar ya, gue mau pacaran.” 

“Heh, ‘kan gue kagak minum!” protes Panji tidak digubris oleh Rheyner yang sudah berjalan menjauh.

“Sial—”

“Gue sih lebih ikhlas kalo Rheyner pacaran sama adik kelas itu dari pada Rheyner sama si Anita,” umpatan Panji terinterupsi oleh suara di belakangnya. Panji membalikkan badannya. Ternyata teman seangkatannya.

“Yaelah, si Anita yang ngaku-ngaku doang keleus. Dia sama Rheyner aja nggak begitu dekat,” suara lain menimpali.

“Sst...emang Rheyner pacaran sama siapa?” tanya Panji.

“Lo kan sohibnya, kok nanya sama gue,” jawab cewek itu cuek.

“Yaelah si Panji, nggak up to date banget sih. Sekali-kali mampir mading dong, Ji,” celetuk cewek yang satu.

“Emang ada apaan sih di mading, heboh benar. Cewek kelas gue juga pada ngeributin mading sepagian tadi.”

“Yah, malah curhat lo.”

Panji berdiri sembari mengeluarkan dompet dari saku belakang celana abu-abunya. “Nggak asyik lo pada.”

Panji berjalan keluar kantin setelah membayar jus jambu Arfa dan nasi gorengnya. Panji penasaran sekali dengan apa yang ada di mading. Sepertinya bukan sesuatu yang biasa.

Mata Panji membulat begitu tahu apa yang ia temukan di mading. Sebuah foto mesra dengan tulisan congratulation di bawahnya. Foto itu memperlihatkan Rheyner yang tengah menyuapi Nadira di sebuah kedai es krim.

                              ***

Nadira merebahkan dirinya di kasur kamar Rheyner. Matanya menatap langit-langit kamar. Sang empunya kamar belum sampai rumah, tetapi Nadira dengan santainya memasuki kamar tersebut. Nadira memang sudah terbiasa keluar-masuk kamar Rheyner. Begitupun Rheyner. Nadira lebih nyaman tidur di kamar Rheyner daripada di kamar yang di desain oleh mama Rheyner untuknya. Alhasil setiap menginap di rumah Rheyner, Nadira akan tidur di kamar Rheyner sementara Rheyner akan mengungsi ke kamar yang seharusnya ditempati Nadira.

Mata Nadira terpejam. Ia hampir saja terlelap kalau saja tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Rheyner muncul dari balik pintu. Ia agak terkejut mendapati Nadira berada di kamarnya.

“Udah dari tadi?” tanya Rheyner sembari melepas ikatan dasinya.

“Lumayan,” jawab Nadira tanpa mengubah posisinya. “Aku tidur sini ya, Mas.”

“Hm.”

Dira akan memanggil Rheyner dengan embel-embel ‘Mas’ kalau sedang ada maunya atau bisa dikatakan sedang bermanja-manja pada Rheyner.

“Nad, nggak ada yang gangguin lo ‘kan setelah tiga hari yang lalu ada foto kita di mading?”

“Nggak kok. Ngomong-ngomong Kak Sherin benaran nggak marah sama aku ‘kan?” tanya Dira balik.

“Nggak, dia malahan khawatir lo kenapa-napa. Biasa ‘kan gue artisnya Sbasa,” kata Rheyner narsis. Nadira hanya mencibir. For your information, Sbasa adalah singkatan dari SMA Bakti Bangsa.

Rheyner ikut merebahkan tubuh lelahnya di kasur bagian kiri. “Tumben tidur sini.”

“Sebenarnya aku nungguin kamu pulang, pengin cerita.” Nadira mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap. Rheyner memandang Nadira sembari memeluk gulingnya. Alisnya bertaut. “Beberapa minggu yang lalu aku ketemu cowok cakep di kafe. Dia habis manggung gitu.”

“Dia anak band?” sela Rheyner.

“Iya, dia gitaris. Namanya Josaphat. Dia sekolah di sekolah khusus musik, seangkatan sama kamu.”

“Lo suka?” Rheyner sebenarnya sudah tahu jawaban Nadira, tetapi ia tetap bertanya. Nadira jarang bercerita tentang cowok.

“Ck, Rheyn ....” rengek Nadira. Sudah pastilah Dira menyukainya, untuk apa ia bercerita kalau bukan karena tertarik. Dasar Rheyner nggak peka.

“Jangan terlalu dekat sama dia. Kalian ‘kan baru kenal,” kata Rheyner tegas.

“Ih, kenapa. Dia baik kok.”

“Lo bahkan baru ketemu sekali, Nadira!”

“Dan bahkan kamu sama sekali belum pernah ketemu dia. Btw, aku udah ketemu dia beberapa kali dan sempat ngobrol juga. Dia orangnya asyik.”

“Pokoknya lo nggak boleh ngasih nomor atau akun sosmed lo ke dia,” perintah Rheyner.

“Aku bahkan udah chat-chat-an sama dia.” Nadira mengangkat ponselnya. Cting. Ponsel itu berbunyi. Nadira melihat pengirim pesan tersebut dan seketika senyumnya terbit. “Aku nggak jadi tidur sini deh.” Nadira setengah berlari keluar kamar Rheyner.

“Nad, Nadira!” panggil Rheyner, tetapi tak mendapat sahutan. Suasana hati Rheyner mendadak berubah.

                                 ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status