Share

5

Nadira memasuki rumahnya yang cukup besar untuk keluarga yang hanya terdiri dari tiga orang. Sayup-sayup terdengar suara ribut dari ruang keluarga. Nadira segera melangkahkan kakinya ke sana. Di ruang keluarga ada dua anak laki-laki berusia 9 dan 14 tengah berebut kamera DSLR. Si anak 14 tahun berusaha menjauhkan kameranya dari jangkauan si anak 9 tahun.

“Mas, siniin kameranya.” Si anak 10 tahun meminta. Kakinya melonjak-lonjak hendak meraih kamera.

“Nggak!” tolak si anak yang lebih besar.

“Bima, Fian, ngapain sih ribut-ribut?” tanya Nadira setelah meletakkan ranselnya di sofa. “Kedengaran sampai depan, lho.

“Aku mau pinjam kamera Mas Bima, Mbak,” adu Fian.

“Bima, pinjami Fian kameranya sebentar dong,” kata Nadira halus.

“Nggak mau, Mbak. Kamera aku bisa rusak kalo Fian yang pegang. Aku nggak mau kayak Mas Rheyner yang laptopnya dirusak sama Fian,” tolak Bima.

“Aku nggak ngerusak kok, Mas. Aku cuma pengin pinjam sebentar,” kata Fian tidak terima. Khas anak kecil.

“Sekali nggak ya nggak!” Bima masih kekeuh  tidak mau meminjamkan kamera yang baru didapatkan bulan lalu saat ulang tahunnya ke-14.

“Gini aja deh, Bima ngajarin Fian gimana cara mengoperasikan kameranya. Terus nanti kalo Fian udah bisa baru kamu pinjami. Gimana?” Nadira mencoba memberi solusi.

Bima terlihat berpikir sebelum mengangguk tanda setuju. Nadira tersenyum sambil mengelus kepala Bima dan Fian bersamaan. Sungguh Nadira menyayangi kedua adik Rheyner ini.

“Oh, iya, Ibu ke mana?” tanya Nadira begitu menyadari bahwa ibunya tidak ada di rumah.

“Ibu lagi pergi sama Mama, Mbak,” jawab Bima.

“Terus kok tumben kalian di sini?” tanya Nadira lagi

“Aku mau tunjukin ini ke Mbak Dira.” Bima menunjukkan selembar foto candid dua orang yang sedang tertawa lepas. “Bagus kan Mbak?”

Nadira memperhatikan foto tersebut. Foto dirinya bersama Rheyner saat ulang tahun Bima yang dirayakan di halaman belakang rumah Rheyner. Tanpa sadar kedua ujung bibirnya tertarik.

“Bagus banget,” jawab Nadira jujur. Untuk kategori anak SMP kelas 2 bisa mengambil gambar seperti itu tanpa belajar teknik-tekniknya secara formal seperti Bima adalah sesuatu yang bisa dikatakan hebat. Nadira bangga kepada Bima.

“Itu buat Mbak Dira. Aku nyetak dua, nanti yang satu bakal aku pajang di rumah sama Mama.” Bima menjelaskan.

“Eh, jangan!” ucap Nadira cepat.

“Kenapa Mbak?” Fian mewakili Bima untuk bertanya.

“Mas Rheyner baru aja punya pacar. Nanti kalo pacar Mas Rheyner main ke rumah kalian terus liat foto ini bisa salah paham. Jadi, jangan dipajang.” Nadira memberi kedua adik Rheyner pengertian.

“Mas Rheyner punya pacar?” Bima dan Fian bertanya bersamaan.

“He’em,” jawab Nadira riang. Otaknya kembali memutar adegan Rheyner dan Sherin di kedai es krim tadi. Remaja sepertinya memandang apa yang Rheyner lakukan tadi romantis. Kalau ia yang di posisi Sherin juga pasti akan luluh. Ah, kapan ada laki-laki bertindak manis kepadanya seperti Rheyner terhadap Sherin tadi?

“Mbak Dira nggak papa Mas Rheyner punya pacar?” tanya Fian polos.

“Hah, kamu kok nanya begitu?”

                                 ***

Rheyner berjalan menuju motornya diiringi tatapan Sherin. Ia baru saja mengantar Sherin pulang. Senyum mereka tak pernah lepas sejak mereka resmi menjadi sepasang kekasih tadi sore. Rheyner melambaikan tangan dan dibalas oleh Sherin.

‘Sumpah kok gue jadi norak gini sih?’ Rheyner menaiki motor sport-nya dan segera memacunya meninggalkan rumah Sherin.

Rheyner melihat Nadira tengah menyiram tanaman di depan rumahnya saat memasukkan motor ke garasi. Nadira melirik Rheyner sekilas tanpa menyapanya. Gadis yang sudah dianggap adik itu malah asik menyiram tanaman milik mama Rheyner. Rheyner pun langsung masuk tanpa menyapa Nadira.

Beberapa menit kemudian Rheyner sudah berada di belakang Nadira dengan baju rumahan. Ia berjalan mengendap-endap. Sisi jahilnya muncul. Di detik yang sama Nadira berbalik badan dengan selang yang masih mengucurkan air di tangan kanannya. Nadira yang kaget tanpa sadar menyemprotkan air ke badan Rheyner.

“Nadira!” seru Rheyner.

“Ya ampun, maaf, aku kaget, Rheyn.”

“Ck, karma nih,” gerutu Rheyner sambil memegang ujung kaosnya yang basah.

 “Karma? Oh, jadi kamu tadi mau ngerjain aku?” Nadira menyipitkan mata. Cengiran Rheyner menjawab pertanyaan Nadira. “Ih, Rhyner … ini rasain.” Nadira malah menyemprotkan air lagi ke badan Rheyner. Kali ini dengan sengaja.

Rheyner berlari menghindar. Namun, pemuda itu tertawa keras. “Ampun, Nad, basah gue.”

“Bodo amat, kamu nggak tahu terima kasih banget sih, Rheyn!” geram Nadira terus mengejar Rheyner.

“Jangan panggil Rheyn kenapa sih? Kayak cewek tahu nggak.” Rheyner berhenti dan berkacak pinggang. Nadira tidak menyahut. Nadira menyemprotkan air dengan semangat untuk memuaskan hatinya.

“Kamu ‘kan belum mandi, Rheyn. Aku berbaik hati mandiin kamu, nih.” Nadira terkikik.

Rheyner memejamkan mata saat Nadira mengarahkan selang air ke mukanya. “Terus, Nad, terusin aja.”

“Iya, aku bakal dengan senang hati basahin badan kamu.” Nadira tertawa sarat akan kemenangan. Ia merasa berhasil mengalahkan Rheyner.

Rheyner memegang tangan Nadira yang lengah dan membalik arah selang. Otomatis air mengucur ke arah Nadira. Baju Nadira basah seketika. Refleks Nadira melepaskan selang dari genggaman tangannya. Selang air dikuasai Rheyner. Nadira berlari, menghindar.

“Rheyner, stop, aku baru aja mandi!” protes Nadira.

“Gue nggak dengar!” Gantian Rheyner yang semangat membasahi Nadira.

Permainan mereka terus berlanjut. Mereka seperti kembali ke masa kecil. Saling berlari mengejar satu sama lain. Suara tawa mereka terdengar di penjuru pekarangan rumah Rheyner. Mereka terlalu asyik dengan dunia yang baru saja mereka ciptakan. Bahkan tidak ada yang sadar bahwa bidikan lensa telah mengabadikan moment yang baru saja mereka ciptakan.

                                  ***

Ikuti cerita ini terus, yaaa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status