Share

Bab 8 : Sang Ulama

Malam telah larut, suara hewan malam mulai mengisi keheningan. Larasati berjalan keluar dari kamar. Sembari melihat ke atas, dia terbang dan memijakkan kaki di atap, kemudian duduk dengan posisi memeluk lutut. 

Keindahan sang bulan purnama tersaji di langit bersama jutaan kerlap-kerlip bintang. Memandangnya makin membuat hati Larasati tersiksa oleh kerinduan, hingga embusan napas kasar keluar. Akan tetapi, masih juga terasa sesak dalam dada bidadari itu.

Sekelebat bayangan sesosok makhluk menampakkan diri menghalangi sang bulan. Berwujudkan pria berambut panjang dengan paras tampan yang teramat menawan. Dari cahaya di tubuhnya yang berbalut busana berwarna putih, sudah dapat dikenali bahwa dia adalah Dewa Mandala, Putra Mahkota Istana Langit Agnicaya. 

Senyum tak lepas dari wajah sang Dewa yang memiliki dagu belah. Pembawaannya begitu tenang, seakan-akan mampu menyihir Larasati sehingga terus memandangi sampai pria tersebut turun dan duduk bergabung di sisi kanan.

"Bagaimana keadaan Agnicaya?" Larasati kembali menengadah. 

"Semua baik-baik saja, kau tak perlu khawatir." Mandala menoleh bidadari itu. 

Larasati menyesalkan, "Aku harus meminta maaf, semua kekacauan terjadi karenaku."

Sang Dewa tersenyum menyikapi. "Tak masalah. Aku telah mengurusnya." 

Ketika mata Larasati dan Mandala kembali bertemu, mereka hanya terdiam untuk beberapa saat. 

"Pria itu memperlakukanmu dengan baik," kata sang Dewa yang mengamati.

Larasati mengembuskan napas kesal seraya mengalihkan perhatian ke bulan. "Dia sangat membosankan!" 

Bibir belah pinang Mandala membentuk lengkungan, dia mengerti bahwa bidadari tersebut mengalami kesulitan karena harus beradaptasi dengan orang-orang baru di bumi. 

"Aku menemukan Prasasti Hantang." Wanita bergaun putih itu mengawali cerita. "Seperti membawaku kembali pada Kahuripan."

"Menjadi abadi membuatku merasa hidup sendiri untuk waktu yang sangat lama."

Seketika hati sang Dewa terenyuh, tak tega melihat mata Larasati berkaca-kaca menyiratkan begitu dalamnya luka dan kepedihan. 

"Semua telah tertulis. Tak perlu menyesalinya," kata pria itu. "Kau dan saudara-saudaramu memiliki peran masing-masing di dunia ini, yang telah menjadi ketetapan langit." 

"Seandainya aku bisa memutar waktu." Tak terasa air mata menetes di pipi Larasati. 

Dewa Mandala meraih kepala wanita berparas cantik itu, lalu menyandarkan ke bahunya.

Sejenak kedua dewa-dewi hanya terdiam memandangi bulan di langit. Dewa Mandala mengelus lembut puncak rambut Larasati dengan pengaruh mantra pelemah jiwa sehingga Larasati perlahan memejamkan mata karena merasakan kantuk yang teramat berat. 

***Sang Dewi*** 

Li Jing membuka pintu kamar dan melihat Larasati yang masih terlelap di ranjang meski matahari sudah mulai meninggi. 

"Bangunlah, ini sudah siang!" perintahnya sembari bersedekap. 

Perlahan Larasati menggeliat. Baru setelah membuka mata, dia menyadari bahwa telah berada di ranjang. Meski agak bingung, bidadari tersebut tidak ambil pusing karena sudah pasti Mandala yang harus direpotkan.

"Berisik sekali!" keluhnya. Samar-samar dia melihat Li Jing yang telah mengenakan setelan hitam lengkap dengan masker yang telah terpasang. 

"Kau bangun, atau kutinggalkan di sini!" Pria tersebut menegaskan. 

"Memangnya, mau ke mana, sih? Ah, baiklah." Larasati turun dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi walau masih mengantuk. 

"Aku akan menunggu di luar." Li Jing segera berbalik dan melangkah pergi. 

*** 

Kota kecil tak jauh dari penginapan menjadi tujuan Li Jing. Larasati yang mengenakan kacamata hitam mengembangkan senyum saat melangkah di keramaian. Kebetulan ada car free day sehingga jalan ditutup karena banyak orang berjualan. 

"Segar sekali udara di sini. Li Jing, apa China juga seperti ini?" Bidadari tersebut memulai obrolan. 

"Pertanyaan tak penting." Li Jing dingin menyikapi, dia justru melangkah lebih cepat. 

Larasati segera mengimbangi seraya menoleh pria itu di samping kiri. "Kau ini benar-benar membosankan sekali. Bisakah wajahmu bersikap ramah sedikit padaku?" 

"Kalau kau banyak bicara, akan kutinggalkan di sini!" Li Jing menatap sayup wanita bergaun putih tersebut. 

"Baiklah." Larasati mengembuskan napas lelah.

Saat mengedarkan pandangan, tanpa sengaja wanita itu melihat berbagai jenis rangkaian bunga. Dia berjalan mendekat, lalu mengambil setangkai mawar. 

"Cantik sekali." Dia mencium wangi si merah berduri. 

"Mawarnya import dari luar negeri, Nona," sahut penjual yang seorang wanita paruh baya. 

Karena berniat membeli bidadari itu bertanya, "Berapa harganya?" 

"Lima puluh ribu, Nona," jawab si penjual. 

Larasati melirik ke kanan, melihat seorang gadis yang sedang mengambil makanan ringan di rak dan memberikan uang seratus ribuan pada penjual. Dengan cepat, bidadari tersebut menyulap uang yang sama di tangannya, lalu memberikan kertas bergambar dua pria tersenyum tersebut pada wanita paruh baya di hadapan.

"Tunggu sebentar!" Penjual mengambilkan kembalian, tetapi Larasati telah berbalik dan melangkah pergi. "Ini uangnya masih sisa, Nona!" 

Larasati menghentikan langkah sejenak sembari tersenyum menoleh ke belakang. "Ambil saja, Bu."

Penjual bunga mengangguk. "Terima kasih, Nona." 

Larasati pun mengayunkan tungkai kembali.

Sementara itu, Li Jing menerima dua cup kopi panas dari seorang barista, setelah membayar dengan tunai, sang aktor menghampiri Larasati yang telah menunggu di belakang. Dia menyodorkan yang di tangan kanan. 

"Apa ini?" tanya bidadari tersebut setelah menerima dan memperhatikan air berwarna hitam di dalam cup.

Dengan malas, Li Jing menjawab, "Kopi panas. Apa kau tidak bisa mengenali baunya?" 

"Sejak kapan kopi dibuat seperti ini?" Larasati heran, pada zamannya kopi tak pernah disuguhkan dalam gelas plastik. Dia kembali mengalihkan perhatian pada Li Jing di samping kanan.

"Minum saja, jangan banyak bertanya!" perintah Li Jing. 

Karena melihat Larasati membawa setangkai mawar, dia curiga. "Apa kau mencuri bunga?" 

Larasati terkejut hingga tersenyum jengah. "Aku membelinya." 

"Kau tidak punya uang. Mana mungkin mampu membeli sesuatu," desak Lo Jing. 

Larasati menjadi kesal. "Hei, aku ini bidadari, kemampuan menyihirku tidak diragukan lagi!" 

"Aku tidak akan bertanggung jawab atas perbuatanmu." Li Jing mengalihkan pandangan ke depan, demikian dengan Larasati yang mengumpat benci. 

Mereka berdua mengayunkan tungkai kembali menyusuri keramaian. Li Jing menyesap kopinya, begitu juga Larasati yang dapat menghabiskan hanya dengan sekali tenggak. Li Jing sempat heran menatap bidadari tersebut, sebab terlihat sama sekali tidak menikmati. 

"Apa kau benar-benar tak punya rumah?" tanya Li Jing seraya mengalihkan perhatian ke jalan.

Larasati merasa tak mengerti. "Kalau kau tau aku bukan manusia, kenapa masih bertanya?"

"Aku tak percaya," sahut Li Jing.

Larasati mengangkat dagunya. "Terserah kau saja." 

Tanpa sadar, bidadari itu memetik kelopak mawar, lalu memakannya satu per satu. Li Jing yang menoleh sesaat memperhatikan dengan lebih jelas. 

"Apa enaknya bunga mawar?" Pria tersebut heran. 

Larasati menghentikan langkah dan tersenyum. "Mau mencoba?" 

Dia menyodorkan bunga mawar, tetapi Li Jing yang dingin menyikapi justru mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkah. Tawa kecil tak dapat ditahan lagi oleh Larasati, tanpa menunggu lama, dia segera menyusul sang aktor. Mata Larasati tak bisa berhenti memindai ke sekitar meski hampir menabrak pengunjung dari arah berlawan. Hingga sekelebat dia melihat pria bersorban yang mengenakan jubah putih lengkap dengan tasbih di tangan kanan. Ketika bidadari tersebut tengah terpaku, sosok di kejauhan mulai berjalan meninggalkan keramaian.

Larasati buru-buru mengikutinya, sampai-sampai Li Jing yang baru menyadari perilaku bidadari tersebut kewalahan saat akan menghentikan.

"Larasati!" teriaknya.

***

Pria bersorban masuk ke pemukiman penduduk, menuju bangunan megah yang adalah sebuah pondok pesantren. Seorang santri yang berjaga di pintu gerbang mengangguk untuk menunjukkan rasa hormat, pria tersebut membalas senyum sembari mengangkat sebelah tangan. Sedang tak jauh di belakang Larasati mempercepat langkah.

"Hei, berhenti!" teriak santri yang sama.

"Larasati!" Li Jing pun menyusul dengan setengah berlari sehingga santri tersebut makin tak mengerti.

Ketika pria bersorban melepas alas kaki dan memijakkan kaki di masjid, Larasati juga melakukan hal yang sama. Tanpa sadar, dia telah menjadi pusat perhatian para santriwati yang berada di halaman. 

Li Jing segera menghentikan langkah. Tentu saja dia tak yakin jika akan memasuki tempat ibadah yang jelas bukan agamanya. Saat melirik ke sekitar, para santriwati telah bergerak mengerumuni karena kagum akan ketampanan aktor tersebut. Walau merasa tidak nyaman, Li Ling tetap memutuskan menunggu Larasati keluar. 

"Waaah, tampan sekali!" 

"Ya ampun!" 

"Siapa dia?" Para santriwati ramai membicarakan, meski begitu mereka tetap bersikap sopan. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status