Malam telah larut, suara hewan malam mulai mengisi keheningan. Larasati berjalan keluar dari kamar. Sembari melihat ke atas, dia terbang dan memijakkan kaki di atap, kemudian duduk dengan posisi memeluk lutut.
Keindahan sang bulan purnama tersaji di langit bersama jutaan kerlap-kerlip bintang. Memandangnya makin membuat hati Larasati tersiksa oleh kerinduan, hingga embusan napas kasar keluar. Akan tetapi, masih juga terasa sesak dalam dada bidadari itu. Sekelebat bayangan sesosok makhluk menampakkan diri menghalangi sang bulan. Berwujudkan pria berambut panjang dengan paras tampan yang teramat menawan. Dari cahaya di tubuhnya yang berbalut busana berwarna putih, sudah dapat dikenali bahwa dia adalah Dewa Mandala, Putra Mahkota Istana Langit Agnicaya. Senyum tak lepas dari wajah sang Dewa yang memiliki dagu belah. Pembawaannya begitu tenang, seakan-akan mampu menyihir Larasati sehingga terus memandangi sampai pria tersebut turun dan duduk bergabung di sisi kanan. "Bagaimana keadaan Agnicaya?" Larasati kembali menengadah. "Semua baik-baik saja, kau tak perlu khawatir." Mandala menoleh bidadari itu. Larasati menyesalkan, "Aku harus meminta maaf, semua kekacauan terjadi karenaku." Sang Dewa tersenyum menyikapi. "Tak masalah. Aku telah mengurusnya." Ketika mata Larasati dan Mandala kembali bertemu, mereka hanya terdiam untuk beberapa saat. "Pria itu memperlakukanmu dengan baik," kata sang Dewa yang mengamati. Larasati mengembuskan napas kesal seraya mengalihkan perhatian ke bulan. "Dia sangat membosankan!" Bibir belah pinang Mandala membentuk lengkungan, dia mengerti bahwa bidadari tersebut mengalami kesulitan karena harus beradaptasi dengan orang-orang baru di bumi. "Aku menemukan Prasasti Hantang." Wanita bergaun putih itu mengawali cerita. "Seperti membawaku kembali pada Kahuripan." "Menjadi abadi membuatku merasa hidup sendiri untuk waktu yang sangat lama." Seketika hati sang Dewa terenyuh, tak tega melihat mata Larasati berkaca-kaca menyiratkan begitu dalamnya luka dan kepedihan. "Semua telah tertulis. Tak perlu menyesalinya," kata pria itu. "Kau dan saudara-saudaramu memiliki peran masing-masing di dunia ini, yang telah menjadi ketetapan langit." "Seandainya aku bisa memutar waktu." Tak terasa air mata menetes di pipi Larasati. Dewa Mandala meraih kepala wanita berparas cantik itu, lalu menyandarkan ke bahunya. Sejenak kedua dewa-dewi hanya terdiam memandangi bulan di langit. Dewa Mandala mengelus lembut puncak rambut Larasati dengan pengaruh mantra pelemah jiwa sehingga Larasati perlahan memejamkan mata karena merasakan kantuk yang teramat berat. ***Sang Dewi*** Li Jing membuka pintu kamar dan melihat Larasati yang masih terlelap di ranjang meski matahari sudah mulai meninggi. "Bangunlah, ini sudah siang!" perintahnya sembari bersedekap. Perlahan Larasati menggeliat. Baru setelah membuka mata, dia menyadari bahwa telah berada di ranjang. Meski agak bingung, bidadari tersebut tidak ambil pusing karena sudah pasti Mandala yang harus direpotkan. "Berisik sekali!" keluhnya. Samar-samar dia melihat Li Jing yang telah mengenakan setelan hitam lengkap dengan masker yang telah terpasang. "Kau bangun, atau kutinggalkan di sini!" Pria tersebut menegaskan. "Memangnya, mau ke mana, sih? Ah, baiklah." Larasati turun dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi walau masih mengantuk. "Aku akan menunggu di luar." Li Jing segera berbalik dan melangkah pergi. *** Kota kecil tak jauh dari penginapan menjadi tujuan Li Jing. Larasati yang mengenakan kacamata hitam mengembangkan senyum saat melangkah di keramaian. Kebetulan ada car free day sehingga jalan ditutup karena banyak orang berjualan. "Segar sekali udara di sini. Li Jing, apa China juga seperti ini?" Bidadari tersebut memulai obrolan. "Pertanyaan tak penting." Li Jing dingin menyikapi, dia justru melangkah lebih cepat. Larasati segera mengimbangi seraya menoleh pria itu di samping kiri. "Kau ini benar-benar membosankan sekali. Bisakah wajahmu bersikap ramah sedikit padaku?" "Kalau kau banyak bicara, akan kutinggalkan di sini!" Li Jing menatap sayup wanita bergaun putih tersebut. "Baiklah." Larasati mengembuskan napas lelah. Saat mengedarkan pandangan, tanpa sengaja wanita itu melihat berbagai jenis rangkaian bunga. Dia berjalan mendekat, lalu mengambil setangkai mawar. "Cantik sekali." Dia mencium wangi si merah berduri. "Mawarnya import dari luar negeri, Nona," sahut penjual yang seorang wanita paruh baya. Karena berniat membeli bidadari itu bertanya, "Berapa harganya?" "Lima puluh ribu, Nona," jawab si penjual. Larasati melirik ke kanan, melihat seorang gadis yang sedang mengambil makanan ringan di rak dan memberikan uang seratus ribuan pada penjual. Dengan cepat, bidadari tersebut menyulap uang yang sama di tangannya, lalu memberikan kertas bergambar dua pria tersenyum tersebut pada wanita paruh baya di hadapan. "Tunggu sebentar!" Penjual mengambilkan kembalian, tetapi Larasati telah berbalik dan melangkah pergi. "Ini uangnya masih sisa, Nona!" Larasati menghentikan langkah sejenak sembari tersenyum menoleh ke belakang. "Ambil saja, Bu." Penjual bunga mengangguk. "Terima kasih, Nona." Larasati pun mengayunkan tungkai kembali. Sementara itu, Li Jing menerima dua cup kopi panas dari seorang barista, setelah membayar dengan tunai, sang aktor menghampiri Larasati yang telah menunggu di belakang. Dia menyodorkan yang di tangan kanan. "Apa ini?" tanya bidadari tersebut setelah menerima dan memperhatikan air berwarna hitam di dalam cup. Dengan malas, Li Jing menjawab, "Kopi panas. Apa kau tidak bisa mengenali baunya?" "Sejak kapan kopi dibuat seperti ini?" Larasati heran, pada zamannya kopi tak pernah disuguhkan dalam gelas plastik. Dia kembali mengalihkan perhatian pada Li Jing di samping kanan. "Minum saja, jangan banyak bertanya!" perintah Li Jing. Karena melihat Larasati membawa setangkai mawar, dia curiga. "Apa kau mencuri bunga?" Larasati terkejut hingga tersenyum jengah. "Aku membelinya." "Kau tidak punya uang. Mana mungkin mampu membeli sesuatu," desak Lo Jing. Larasati menjadi kesal. "Hei, aku ini bidadari, kemampuan menyihirku tidak diragukan lagi!" "Aku tidak akan bertanggung jawab atas perbuatanmu." Li Jing mengalihkan pandangan ke depan, demikian dengan Larasati yang mengumpat benci. Mereka berdua mengayunkan tungkai kembali menyusuri keramaian. Li Jing menyesap kopinya, begitu juga Larasati yang dapat menghabiskan hanya dengan sekali tenggak. Li Jing sempat heran menatap bidadari tersebut, sebab terlihat sama sekali tidak menikmati. "Apa kau benar-benar tak punya rumah?" tanya Li Jing seraya mengalihkan perhatian ke jalan. Larasati merasa tak mengerti. "Kalau kau tau aku bukan manusia, kenapa masih bertanya?" "Aku tak percaya," sahut Li Jing. Larasati mengangkat dagunya. "Terserah kau saja." Tanpa sadar, bidadari itu memetik kelopak mawar, lalu memakannya satu per satu. Li Jing yang menoleh sesaat memperhatikan dengan lebih jelas. "Apa enaknya bunga mawar?" Pria tersebut heran. Larasati menghentikan langkah dan tersenyum. "Mau mencoba?" Dia menyodorkan bunga mawar, tetapi Li Jing yang dingin menyikapi justru mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkah. Tawa kecil tak dapat ditahan lagi oleh Larasati, tanpa menunggu lama, dia segera menyusul sang aktor. Mata Larasati tak bisa berhenti memindai ke sekitar meski hampir menabrak pengunjung dari arah berlawan. Hingga sekelebat dia melihat pria bersorban yang mengenakan jubah putih lengkap dengan tasbih di tangan kanan. Ketika bidadari tersebut tengah terpaku, sosok di kejauhan mulai berjalan meninggalkan keramaian. Larasati buru-buru mengikutinya, sampai-sampai Li Jing yang baru menyadari perilaku bidadari tersebut kewalahan saat akan menghentikan. "Larasati!" teriaknya. *** Pria bersorban masuk ke pemukiman penduduk, menuju bangunan megah yang adalah sebuah pondok pesantren. Seorang santri yang berjaga di pintu gerbang mengangguk untuk menunjukkan rasa hormat, pria tersebut membalas senyum sembari mengangkat sebelah tangan. Sedang tak jauh di belakang Larasati mempercepat langkah. "Hei, berhenti!" teriak santri yang sama. "Larasati!" Li Jing pun menyusul dengan setengah berlari sehingga santri tersebut makin tak mengerti. Ketika pria bersorban melepas alas kaki dan memijakkan kaki di masjid, Larasati juga melakukan hal yang sama. Tanpa sadar, dia telah menjadi pusat perhatian para santriwati yang berada di halaman. Li Jing segera menghentikan langkah. Tentu saja dia tak yakin jika akan memasuki tempat ibadah yang jelas bukan agamanya. Saat melirik ke sekitar, para santriwati telah bergerak mengerumuni karena kagum akan ketampanan aktor tersebut. Walau merasa tidak nyaman, Li Ling tetap memutuskan menunggu Larasati keluar. "Waaah, tampan sekali!" "Ya ampun!" "Siapa dia?" Para santriwati ramai membicarakan, meski begitu mereka tetap bersikap sopan. ***"Assalamualaikum, Pandhita." Larasati memberi salam. Pria bersorban berbalik, memperlihatkan sosoknya yang berbeda dari yang Larasati kira. " Waalaikumsalam." Seketika Larasati terkejut, ternyata sang Ulama bukanlah Syekh Maulana Ngali Samsujen, meski memiliki postur tubuh yang hampir sama dan sama-sama berwajah Persia. "Siapa, Nona, ini?" Pria tersebut bersikap ramah.Sadar telah salah orang, Larasati mengedipkan mata sembari tersenyum bodoh. "Maaf, tadi saya mengira Anda ... guru saya." Sang Ulama tersenyum menyikapi. "Silakan duduk dulu." Pria bersorban mengarahkan sebelah tangan dan mengambil tempat duduk bersila di lantai. Begitu juga Larasati yang segera menekuk lutut agar dapat bersimpuh. "Bagaimana Nona bisa mengira saya guru Nona? Siapa guru Nona?" tanya sang Ulama. "Saya akan menceritakan suatu kisah. 900 tahun yang lalu ...." Ingatan Larasati mulai menerawang. *** Jayabhaya kedatangan seorang ulama dari Mekkah. Dia segera turun dari singgasana menyambut baik tamu y
Di hutan, Larasati sedang mengarahkan anak panah pada seekor rusa di semak-semak. Namun, bidikannya meleset. Si hewan yang merasa terancam lari tunggang langgang. Pramesti dan Sasanti mentertawai gadis itu di belakang, lalu keduanya melangkah menghampiri. "Ah, sial!" Larasati menjadi kesal. "Cara memanahmu tidak terlalu bagus, Larasati," kata Pramesti. Larasati menoleh sang kakak dan menatap benci. "Kau harus belajar dariku, Kak!" ejek Sasanti. Larasati tak peduli, dia mengalihkan pandangan ke depan seraya mengayunkan tungkai. "Kalian berdua, senang sekali melihat kegagalanku." "Kakak, kau tak perlu khawatir. Aku benar-benar akan memperbaiki cara memanahmu." Sasanti menggoda gadis berkemban dengan bawahan rok putih itu, lalu bersama Pramesti mengimbangi langkah di belakang. "Sudahlah, jangan bersikap seperti anak kecil! Nanti Kakak buatkan sup jamur kesukamu. Lihat, Kakak mendapatkan banyak hari ini!" bujuk Pramesti dengan memperlihatkan rentengan tumbuhan berbentuk payung dala
Turun dari pesawat, Li Jing dan Larasati segera melangkah ke luar dari bandara. Ada beberapa orang berjas hitam mengapit keduanya, mereka adalah para bodyguard yang diminta Li Jing untuk mengamankan jalan. Walau telah memakai masker, aktor tampan tersebut masih menghalangi pandangan dengan cara menunduk. Namun, tetap saja ada yang mengenali dia hanya karena membawa asisten artis bernama Dong Min di sisi kanan. Para penggemar mulai bergerak mengerumuni, memfoto, dan berteriak histeris, bahkan di antara mereka ada yang berdesak-desakkan untuk melihat lebih jelas sang idola. Hal itu membuat Larasati kebingungan sehingga terus memperhatikan ke sekitar seraya memelankan langkah di belakang. Li Jing segera menyambar tangan bidadari itu. "Cepat!" perintahnya sembari menyeret Larasati menuju halaman. Pengawal membuka pintu, Li Jing memasukkan Larasati ke dalam mobil, disusul dia kemudian dari sisi kanan. Sementara itu, Asisten Dong Min segera menempati kursi kemudi. Setelah menyalakan me
Jumpa pers untuk acara promosi film tiba. Li Jing datang bersama Larasati dan juga Asisten Dong Min. Pria berkaus putih tersebut melempar senyum pada awak media, lalu beralih menatap Ying Fei dan Han yang berada tak jauh di depan. Wartawan segera mewawancarai. "Li Jing, siapakah Nona ini?""Apakah benar dia seorang penyihir?" "Lalu, bagaimana kalian bisa saling mengenal?" Sejenak Li Jing tersenyum menoleh Larasati di samping kiri, sebelum akhirnya, menoleh kembali awak media. "Dia temanku, Larasati. Kami bertemu saat sama-sama berlibur di Bali, setelah saling mengenal kami memutuskan untuk menjadi teman. Dia penyihir dari suku Jawa atau biasa dikenal sebagai dukun di berbagai belahan dunia," katanya. "Dukun?" Mata Larasati membelalak lebar, seketika dia menoleh aktor bergaya modis tersebut karena tak mengerti apa yang sedang dia katakan. "Soal kejadian di Asian Film Awards, aku meminta maaf. Dia memang suka lepas kendali, tapi semua tanpa kesengajaan." Li Jing mengklarifikasi.B
Di halaman, Larasati gugup sendiri sewaktu berjalan bersama pelayan tua di belakangnya. "Kalau begini aku bisa terlambat!" keluh Larasati yang memperhatikan pakaian sembari mengangkat bagian bawah kain jarik. "Putri, itu merusak dandananmu!" Pelayan memperingatkan, tetapi Larasati tidak peduli. Dia melanjutkan langkah sebelum terhenti kembali karena terkejut dengan sesosok pria di depan mata. Dharmasura 'Raja Asura dari Karpala' datang bersama Perdana Menteri Lokasura. Ketika melihat Larasati, sang Raja terpesona hingga matanya tak berkedip. Namun, semanis apa pun senyum yang dia berikan Larasati dingin hati. Gadis itu justru berlalu pergi. "Siapa putri cantik itu?" tanya Dharmasura pada Lokasura. "Dewi Laras Kencana, sang Prabu. Atau disebut juga Putri Larasati. Anak keempat Raja Jayabaya," jawab pria berparas tampan tersebut. Meski namanya Lokasura, tetapi Perdana Menteri Istana Karpala tersebut berwujud manusia, bukan golongan dari bangsa Asura. Selain tegas, pria bertubuh g
Di aula istana, Raja Jayabhaya melangkah menuruni singgasana. Tak jauh di belakang telah berdiri Permaisuri Sara, Jaya Amijaya, dan Perdana menteri Buta Locaya. Pramesti berusaha menenangkan Larasati dengan mengelus pundak gadis itu, sedangkan Sasanti yang juga berada di sisi Larasati lebih banyak diam memikirkan jalan keluar. “Tak tau bagaimana awalnya, Dharmasura menginginkan Laras Kencana,” kata Jayabhaya.” Ini bukan sesuatu yang baik, Dharmasura sangat ambisius. Dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa saja yang dia inginkan.”Jaya Amijaya gelisah. “Lalu kita harus bagaimana, Ayah?”“Semula aku berpikir dia akan melamar Larasati untuk putranya Jaka Lelana, tetapi ternyata Dharmasura sendiri yang tergila-gila.” Pria berhidung mancung itu tak menduga. “Aku tidak rela Larasati menikah dengan Dharmasura, Ayah. Dia bangsa Asura,” kata Pramesti. Jayabhaya masih begitu tenang menyikapi. “Kalian tak perlu khawatir! Laras Kencana tidak akan menikah. Aku telah menangguhka
Sembari tersenyum, Han melangkah menghampiri Larasati yang berdiri di antara para awak media dan kini mulai menyadari kedatangan dia. "Sudah menunggu lama?" tanya Han. Bidadari itu membalas senyum lalu menjawab, "Ya, sebentar lagi mungkin Li Jing akan keluar." "Mau kuantar pulang?" Pria dengan tatanan rambut kucir tersebut menawarkan diri. Larasati merasa ragu. "Tapi itu akan merepotkan.""Tidak, kita satu arah," kata Han. "Li Jing, mungkin akan pulang bersama Ying Fei." "Baiklah, kita pergi sekarang," ajak bidadari itu. Mereka berdua segera berbalik dan berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman studio. "Kalau kau punya waktu, pergilah denganku. Aku akan membawamu keliling kota." Han menoleh Larasati. Sejenak wanita itu memikirkan. "Aku akan mengatur jadwalnya. Pekerjaan di rumah Li Jing cukup membuatku repot." Han terkejut hingga meninggikan sebelah alis. "Pekerjaan? Kenapa harus kau yang melakukannya? Bukankah ada banyak pembantu?""Tidak-tidak. Itu kemauanku, aku ber
Di lokasi syuting, Li Jing yang telah mengenakan pakaian tradisional China berwarna putih mengibaskan pedang dan beradu akting dengan beberapa aktor lain. Di tempat yang sama Ying Fei sedang didandani oleh beberapa penata rias artis, sementara Han duduk di kursi membaca skenario. Tak jauh dari mereka, Larasati tersenyum memperhatikan Li Jing yang terlihat tampan saat berpenampilan seperti pendekar. Bidadari tersebut juga ramah menyikapi para kru yang sesekali menyapa saat sedang lewat. Han berjalan menghampiri dan berdiri di samping Larasati sembari menatap ke arah Li Jing. “Apa Li Jing memang memperkerjakanmu sebagai asistennya?” “Ada masalah?” Wanita tersebut balik bertanya.“Di mana ada dia, kau selalu bersamanya,” jawab Han. Larasati menoleh dan tersenyum menggoda. “Bukannya ... dengan begitu aku bisa bertemu denganmu?” “Kau benar-benar wanita yang sulit di mengerti.” Han mengalihkan perhatian pada Larasati dan tertawa kecil. “Siapa yang menulis cerita dari tokoh yang kalian