Share

Bab 9 : Sang Ulama dan Masa Lalu

"Assalamualaikum, Pandhita." Larasati memberi salam. 

Pria bersorban berbalik, memperlihatkan sosoknya yang berbeda dari yang Larasati kira. " Waalaikumsalam." 

Seketika Larasati terkejut, ternyata sang Ulama bukanlah Syekh Maulana Ngali Samsujen, meski memiliki postur tubuh yang hampir sama dan sama-sama berwajah Persia. 

"Siapa, Nona, ini?" Pria tersebut bersikap ramah.

Sadar telah salah orang, Larasati mengedipkan mata sembari tersenyum bodoh. "Maaf, tadi saya mengira Anda ... guru saya." 

Sang Ulama tersenyum menyikapi. "Silakan duduk dulu." 

Pria bersorban mengarahkan sebelah tangan dan mengambil tempat duduk bersila di lantai. Begitu juga Larasati yang segera menekuk lutut agar dapat bersimpuh. 

"Bagaimana Nona bisa mengira saya guru Nona? Siapa guru Nona?" tanya sang Ulama. 

"Saya akan menceritakan suatu kisah. 900 tahun yang lalu ...." Ingatan Larasati mulai menerawang. 

*** 

Jayabhaya kedatangan seorang ulama dari Mekkah. Dia segera turun dari singgasana menyambut baik tamu yang berbeda negara tersebut. 

"Salam, Raja." 

Syekh Maulana Ngali Samsujen. Ulama berusia enam puluh tahun yang memiliki tinggi sekitar 185cm serta mengenakan jubah berwarna putih tulang tersebut merupakan guru spiritual Jayabhaya. Sang Raja sangat menaruh hormat, baginya Syekh Maulana Ngali orang istimewa yang berkedudukan setara dengan Baladewa. 

"Guru Maulana, suatu kehormatan Pandhita datang ke istana." Jayabaya tersenyum ramah. 

"Raja, ada perihal yang ingin kusampaikan padamu ...," ungkap sang Ulama. Dia melirik Jaya Amijaya sebelum melanjutkan pembicaraan. 

Raja tersenyum menyikapi, lalu menoleh Jaya Amijaya. "Jaya, tolong tinggalkan kami."

Setelah putranya mematuhi dengan menyatukan kedua telapak tangan sembari menunduk lalu pergi, Jayabhaya kembali menatap pria berjenggot putih tersebut di hadapan. 

"Ada apa, Guru Pandhita? Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting?" tanya sang Raja.

"Ki Hajar melakukan kesalahan, dia membuka tabir ilmu yang belum waktunya ...." Sang Ulama menceritakan permasalahan yang teramat panjang dan rumit dijelaskan. Raja mengerti, setelah berpikir cukup lama dan menimbang-nimbang, akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil tindakan.

***

"Jaya, siapkan dirimu, beberapa hari lagi kita akan melakukan perjalanan ke Gunung Padang!" perintah Jayabhaya yang baru saja mengantar Syekh Maulana Ngali pulang sampai halaman istana. 

"Baik, Ayah, tapi, untuk apakah kita ke sana?" tanya Jaya Amijaya yang tak mengerti. 

"Untuk bertemu Ki Hajar, aku harus berbicara dengannya," jawab raja berambut sedada bergelombang serta berkumis itu. 

"Ya, Ayah." Jaya Amijaya menunduk memberi hormat. 

*** 

Raja Jayabhaya dan Jaya Amijaya melakukan perjalanan ke Gunung Padang. Setelah menempuh waktu lebih dari setengah hari serta melewati perbukitan terjal, akhirnya, mereka sampai pada tujuan. 

Ki Hajar menyambut baik kedatangan mereka berdua dan mempersilakannya masuk ke dalam pondok bambu beratap jerami. 

Putri Ki Hajar yang adalah seorang Endang atau putri Resi, juga sangat antusias. Gadis cantik berpakaian putih dengan rambut disanggul itu menyatukan kedua telapak tangan sembari menunduk untuk memberi salam. 

Ki Hajar melangkah lebih dulu ke dalam pondok lalu duduk bersila pada tikar pandan di lantai, sedangkan Jayabhaya dan Jaya Amijaya yang menyusul di belakang, kemudian bergabung. Posisi mereka saling berhadap-hadapan. 

"Saudara Jayabhaya, gerangan apakah yang membuatmu datang kemari?" Ki Hajar bertanya dengan ramah. 

Sang Raja tersenyum, meski memiliki maksud tertentu juga bersikap baik seperti apa yang diamanahkan sang Guru. 

"Aku hanya ingin mengunjungi Ki Hajar, lama tidak bertemu. Sejak terakhir di Setana, kita disibukkan oleh diri masing-masing," katanya. 

Ki Hajar manggut-manggut. "Kau adalah seorang raja besar, sementara aku hanyalah seorang resi. Tugasmu mengatur pemerintahan, aku menjadi petapa. Kita tak pernah ketemu, tetapi demi kebaikan dunia, itu bukanlah masalah. Kau tetaplah saudaraku." 

Endang datang membawa suguhan berupa setakir kue ketan, satu umbi bawang putih, sebungkus bunga melati, darah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan sebungkus bunga mojar di dalam sebuah tampah. Dia membungkuk, bahkan sampai bersimpuh saat meletakkannya pada tikar di hadapan Raja Jayabaya dan Jaya Amijaya. 

"Silakan dimakan, Tuan. Hanya ini yang kami punya." Endang menunduk, tetapi tatapan mata gadis bertubuh kurus itu seakan-akan menyembunyikan sesuatu.

Melihat suguhan, Raja menjadi waspada, walau pria berkulit sawo matang tersebut mampu menjaga sikap hingga Endang memundurkan diri. 

"Kau datang tanpa memberitahuku sebelumnya. Kami tidak dapat menyiapkan apa-apa." Resi berambut putih digelung tersebut menyayangkan. 

"Saudaraku, ini sudah sangat istimewa bagiku." Jayabhaya berdiri, dengan gagah melangkah menghampiri Ki Hajar seakan-akan sangat berterima kasih atas kebaikan Resi. Demikian Ki Hajar yang segera memeluk saudara seperguruannya itu. Namun, bukan kehangatan yang diberikan sang Raja, dia justru menusukan Keris 'pusaka magis bergelombang' ke perut Resi. 

Ki Hajar sekarat, seketika jatuh di lantai dengan mata yang masih terbuka. Meski begitu sang Resi tersenyum sebelum mengembuskan napas terakhir. 

Jaya Amijaya segera bangkit dari tikar, sebab tak menyangka ayahnya akan bertidak kejam. 

Jeritan terdengar dari mulut Endang yang histeris menyaksikan kematian Ki Hajar, gadis itu sangat ketakutan. 

Jayabhaya segera mengarahkan tangan dengan kekuatan magis, bagai sihir melempar pedang di punggung Jaya Amijaya menembus dada Endang hingga tewas seketika dan terjatuh di lantai. 

Setelah pedang kembali ke tangan, sang Raja segera melangkah keluar dari pondok. Jaya Amijaya yang masih terkejut, menyusulnya kemudian. 

Sepanjang perjalanan kembali ke Panjalu, pangeran yang memiliki mata tajam tersebut begitu kecewa pada sang ayah sehingga hanya terdiam tanpa mengucap sepatah kata. 

Raja mulai menyadari sikap Jaya Amijaya, jadi menolehnya di samping kiri. "Ada apa, Jaya? Kenapa mukamu seperti itu?"

Jaya Amijaya menghentikan langkah, sejenak menarik napas dan mengalihkan pandangan. "Ayah telah membunuh Ki Hajar." 

"Anakku, sebenarnya ... Ki Hajar telah berkhianat pada guruku Maulana Ngali Samsujen. Dia membuka tabir keilmuan yang seharusnya tidak diketahui khalayak umum. Maka dari itu Ayah membunuh Ki Hajar. Ini demi kebaikan kita bersama," ungkap sang Raja. 

Jaya Amijaya menoleh ayahnya yang sedang tersenyum sembari mengedarkan pandangan pada rerumputan di lereng gunung. 

"Apa yang telah disuguhkan Endang, adalah suatu pertanda buruk yang akan terjadi di masa depan. Ayah akan menyuruh Empu Panuluh untuk mencatat ini, agar suatu hari rakyat mengetahui tanda-tanda akhir jaman, agar mereka mengingatnya sebagai petunjuk atas penglihatanku di masa lalu." 

"Aku mengerti, Ayah." Pangeran bertubuh gagah serta berkulit kuning langsat itu tak ingin berdebat meski kurang setuju. 

Raja Jayabhaya menatap si putra kembali, lalu bertanya, "Jaya, di manakah kakak dan adik-adikmu?" 

"Mereka sedang berburu, Ayah," jawab Jaya Amijaya. 

"Suruh mereka mempersiapkan diri. Kau dan saudari-saudarimu akan kukirim ke pondok Guru Ulama di Setana!" perintah sang Raja. 

"Baik, Ayah." Pangeran kedua Panjalu tersebut mengerti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status