Sejak pertemuan Jan dengan Renzo, Jan dipenuhi oleh ketidak nyamanan yang begitu mendesak dengan hebat dalam jiwanya. Dia tidak mampu menemukan cara yang paling tepat untuk menentukan pendekatannya dengan Indira.
Jalan itu terlihat buntu dan semua terlihat tertutup rapat.
Mustahil mendadak dirinya muncul dan bertemu tanpa alasan yang jelas. Tidak ada satu pun yang bisa ia kerjakan. Kembali ke Salatiga memenuhi benak kusutnya.
Akhirnya, Jan memutuskan untuk tegas pada dirinya sendiri. Sudah saatnya bagi Jan menjalani kehidupan yang lebih matang dengan menjalin hubungan yang serius. Mendiang kekasihnya, Lea, mungkin jauh dari karakter Indira.
Lea adalah wanita yang energik yang selalu membuatnya tertawa dan merasa hidup dalam antusias. Jan memejamkan matanya. Dia dulu juga menjadi pribadi yang lebih baik dari sekarang ini.
Semenjak Lea divonis sakit kanker, semua berubah. Hubungan mereka tadinya adalah perjodohan yang orang tua angkatnya prakarsai. K
Indira masih terisak dan kini hatinya makin sakit ketika menyadari bahwa Jan memang sempat malu untuk mendekati dirinya.“Ndi, jangan nangis,” pinta Jan kembali dengan suara lirih. Pria itu masih tidak berani beranjak dari tempat duduk karena Indira terlihat tidak ingin kehadirannya.“Aku nangis karena kamu menganggap status jandaku memalukan!” seru Indira dengan jengkel.Jan menunduk. Mulutnya yang terlalu lancang mengatakan ungkapan jujur hatinya, kini justru menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.“Kalo aku jujur, dan itu malah salah, aku minta maaf. Tapi …,”“Tapi apa, Jan? Dari awal aku mengutukmu karena memperlakukan Bea dengan buruk! Sekarang aku justru terlibat dengan perasaan yang nggak jelas dan kamu ada di dalamnya!” isak Indira.“Ya udah. Aku pergi. Mungkin kamu pengen berpikir dulu dan menimbang lebih baik.” Jan mengalah dan meninggalkan Indira dengan langkah gon
Sejak memikirkan tantangan ibunya, Jan berusaha mencari waktu yang tepat untuk kembali ke Salatiga dan menemui Indira kembali. Jan hanya mampu meminta pendapat orang tua angkatnya yang selama ini begitu dekat dan menjadi segalnya dalam hidup Jan.Tidak memiliki sahabat atau teman, bukan karena Jan tidak bisa bersosialisasi. Selain karena kesibukan, Jan kurang begitu menyukai hubungan pertemanan yang terlalu dekat. Dirinya cenderung acuh dan lebih menyukai bekerja.Jan meneruskan sebagian usaha ayah angkatnya selama ini dan mengukir prestasinya sendiri. Dalam bidang bisnis, insting Jan juga tajam dan perlu diperhitungkan. Reksa Antareja, ayah angkatnya, begitu membanggakan dirinya sebagai putra yang akan mewarisi segalanya.Walau ibu angkatnya, Helen, juga menyayangi Jan seperti anak kandung sendiri, tapi Jan tahu, ada beberapa sifat Helen yang tidak begitu ia sukai. Ibunya terlalu protektif dan ingin mengontrol segalanya. Kedua kakak Jan, anak kandung dari Reksa
Jan masih terlihat jengah ketika mengungkapkan tentang masa lalunya yang begitu memalukan. Indira mendengarkan dengan sabar dan penuh perhatian. Entah kenapa, ia menyukai saat Jan bicara. “Aku salah dan nggak bisa membedakan mana cinta dan hanya kesenangan sesaat,” akunya Jan dengan pelan. “Terjebak sampe parah?” tanya Indira mulai khawatir. Dia tidak ingin berakhir seperti dengan Alden. “Dalam hubungan toxic?” tanya Jan berbalik. “Iya. Maksudku apakah petualanganmu parah?” jelas Indira kembali. Mata Jan terbeliak. “Kamu pikir aku pria brengsek?” seru Jan dengan kesal. “Nggak tahu diri banget kalo aku sampe resek dan ngumbar nafsu kayak gitu!” Indira cukup lega dengan jawaban Jan yang terdengar kesal karena asumsinya. “Aku kan cuman nanya, Jantayu. Bukan menuduh,” jelas Indira dengan kata-kata santai. Pria itu terdiam dan mengusap mulutnya dengan tisu. “Makasih atas sarapan paginya. Aku harus perg
Lamaran Jan yang Indira terima tiga hari lalu masih belum mampu ia putuskan. Selain bimbang, Indira merasa ini terlalu cepat. Akan tetapi ketika berdiskusi dengan Shana dan Siwi, mereka justru mengatakan jika masa pacaran itu tidak terlalu penting. Pengenalan pribadi masing-masing akan berjalan seiring waktu.Keenan memiliki pendapat yang lain. Selain karena dia masih menginginkan Alden untuk kembali pada Indira, Keenan juga menganggap Jan terlalu baik dan, mungkin, akan menjadi pasangan yang tidak sepadan dengan Indira.“Kenapa gitu? Aku lihat Jan, sebagai pribadi baik dan mau mendengarkan. Biar dia nggak punya pengalaman banyak, tapi justru itu yang aku inginkan. Menikah dengan orang yang tidak memiliki masa lalu yang rumit,” ungkap Indira dengan serius.Keenan mengedikkan bahu dan tetap tidak setuju.“Aku dan Shana tidak memiliki lembar putih masa lalu. Tapi lihat sekarang ini. Kami bisa melewati pernikahan yang, sebenarnya cukup meng
Cuaca memang tidak selalu hangat. Namun Alden menyukai tinggal di daerah tersebut. Musim dingin saljunya tidak terlalu ekstrim dan masih bisa ia nikmati tanpa kerepotan membersihkan halaman dan atap dari tumpukan salju.Sudah hampir setahun lebih dia berada di rumah kabin. Setelah memikirkan dengan baik, akhirnya Alden membeli rumah itu dan merenovasi sendiri. Walau sedikit kerepotan awalnya, tapi berkat tuntunan dan bantuan pemilik rumah, yang ternyata seorang pensiunan arsitek yang tidak lagi aktif bekerja, Alden menyelesaikan dalam tempo empat bulan.Puas sekali melihat hasil kerja kerasnya yang tidak sebentar. Rumah kabin itu menjadi lebih fungsional dan mewah. Walau tidak meninggalkan kesan hangat dan nyaman, tapi di antara rumah kabin yang ada di sepanjang danau, rumah Alden yang paling mencolok dan kokoh.Dalam setahun ini Alden memang menghindari bergaul dengan tetangganya. Hanya sekedar menyapa dan mengobrol singkat. Selebihnya, Alden menyibukkan diri d
Tidak pernah terlintas dalam benak Alden jika dirinya bisa kembali mengingat dengan baik memori yang sempat hilang sejak kecelakaan. Foto yang ia temukan dalam kotak kardus tersebut, memicu ingatannya tentang masa lalu.Ketika membuka laptop dan menemukan kembali simpanan gambar kenangan bersama keluarga kecilnya dalam folder terkunci. Alden mendadak merasa lelah dan tidak ingin berlari lagi. Selama ini tindakannya yang mirip dengan pengecut adalah salah. Namun lebih salah lagi jika ia tidak segera memperbaiki dan terus berlari dari kenyataan.Membiarkan benak dan hatinya berperang adalah membingungkan. Satu sisi, Alden ingin kembali ke tanah airnya. Namun di balik kerinduannya, Alden juga nyaman dengan kesendiriannya saat ini. Manakah keputusan yang harus ia ambil?Mungkinkah dia bisa memenangkan kembali hati Indira dan meluluhkan kebencian istrinya tersebut?‘Ah, dia adalah mantan istriku,’ sesal Alden dalam hati. Surat dari Abby, kakaknya,
Memiliki seseorang yang berarti dalam hidupnya kembali, Indira merasakan semangat hidupnya bangkit. Ketika Jan perlahan masuk dan menjadi bagian dari hari-harinya, bukan hanya dirinya tapi Renzo juga membuka diri.Putranya tidak menyulitkan Jan untuk menyesuaikan diri dalam hidup mereka. Keenan masih terlihat ragu dan tidak yakin akan keputusan Indira yang menurutnya terlalu cepat.“Dia udah empat tahun sendiri dan Alden nggak pernah mencoba menghubungi apalagi memperbaiki kesalahannya, Keen! Dia menghilang tanpa kabar sementara Indira memberinya empat tahun untuk menunggu. Kemana dia? Nggak ada yang tahu, bahkan kamu!” kecam Siwi.Keenan membisu, tangannya terus melemparkan remah-remah roti untuk ikan di kolam.Shana masih memilih posisi sebagai pendengar dan tidak ikut campur. Ia tahu jika Keenan masih mengharapkan sepupunya kembali. Tapi menunggu tanpa batas waktu adalah menyebalkan.Keenan tidak menyadari jika itu sulit dan ketika h
Rasa gelisah ini mencekik Alden hingga ia merasa sesak dan tidak sanggup lagi duduk tenang. Tanggal kepulangannya tinggal lima hari lagi. Setiap ada kesempatan, ia merencanakan kalimat yang tepat saat menemui Indira dan sahabatnya di Salatiga.Keenan mungkin akan mengamuk dan memberondong dengan pertanyaan yang menyudutkan. Tapi menghadapi Siwi, Alden butuh strategi khusus supaya tidak mati mendadak.Sementara ia membalas email dari Abby yang mengabari tentang beberapa dokumen yang harus ia tanda tangani, Alden berpikir keras mengenai hal lain.Hingga detik ini, dirinya belum memberitahu hal kecelakaan dan lupa ingatan yang sempat dialaminya. Mungkin menceritakan nanti secara langsung adalah lebih baik.Semakin Alden membayangkan kepulangannya nanti, batin pria itu tidak tenang.“Sial!” umpatnya dengan kesal.Tuntutan tanggung jawab yang terbengkalai selama ia tidak ada di Indonesia, membebani nuraninya dan menimbulkan rasa takut