“Apa kau akan kembali lagi ke rumah sakit?” tanya Aleta kepada Langit, yang sudah rapi. Mereka berpapasan di depan ruang tamu. Sejak pulang dari rumah sakit, Aleta sudah mempersiapkan sebagian barang jangan ada yang sampai tertinggal.
“Aku akan ke kantor dulu, ada meeting dadakan. Aku akan kembali ke rumah sakit setelah jam kantor.”“Apa kau tidak bisa membatalkan meeting itu? Lalu cepat ke rumah sakit bagaimana dengan anakmu nanti? Kalau ada apa-apa, bagaimana?” desak Aleta.Langit berpikir, ada Jagad yang menemami Danas. “Ada dokter itu yang menjaganya untuk sementara waktu. Jadi, tenang saja.”Aleta menghela napas, mengapa anaknya seperti tidak pedulikan istrinya yang sedang hamil, si?Langit lantas berhenti di ambang pintu. “Apa Mama nanti akan ke rumah sakit?”“Ya, nanti mama akan kembali ke sana. Mama nanti akan berkemas, membawakan beberapa baju untuk Danas. Dan juga baju untukmu.&Setelah Jagad keluar dari ruangan Danas, Aleta menatap Danas dengan pandangan penuh kecurigaan. Wanita itu benar-benar merasa terusik dengan hubungan antara sang dokter dan menantu. Bukan berarti Aleta peduli terhadap kisah cinta Danas ataupun menentangnya. Hanya saja, wanita tua itu tidak suka jika Danas lebih memperhatikan pria itu ketimbang anak yang ada di dalam kandungannya.“Ini sebenarnya menggangguku. Tapi, kau itu punya hubungan apa dengan dokter tadi?” tanya Aleta dengan tatapan dingin kepada Danas.Danas terkejut. Dia tidak mengerti mengapa mertuanya sampai bertanya demikian.“Ka, kami hanya sekadar berteman saja,” jelas Danas ragu-ragu. Dia tidak tahu apakah mertuanya itu akan puas dengan jawaban semacam itu.Aleta mendengkus kesal. “Sebenarnya itu bukan urusanku sama sekali. Kau bebas berhubungan dengan siapa pun. Akan tetapi, aku tidak mau kalau kau sampai lebih memperhatikan kepentingan pribadimu daripada anak putraku.
Sembari membawa bingkisan, Davina berjalan di koridor rumah sakit. Wanita itu ingin segera menjenguk sahabatnya setelah menerima kabar bahwa kondisi Danas sempat drop. Davina tidak sabar untuk menemui sahabatnya itu, ia benar-benar khawatir karena baru sempat untuk datang menjenguknya setelah dikabari oleh Jagad.“Semoga Danas suka,” gumam Davina saat membawa makanan yang ia beli di toko yang sempat viral.Saat berjalan menuju kamar Danas dirawat, seperti biasa, tempat yang terasa familier itu dipenuhi oleh orang-orang. Baik pasien yang didorong dengan kursi roda, perawat yang tampak sibuk dengan urusannya, maupun para pembesuk yang menemui kerabatnya. Pemandangan itu sudah menjadi lumrah bagi Davina. Dia sudah cukup sering ke tempat itu demi menemui kakanya yang bekerja sebagai dokter.Pemandangan di rumah sakit sebetulnya bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dilihat. Lebih banyak orang yang meratapi nasib ketimbang menunjukkan emosi positif. Terdapat or
Aleta mendengkus kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa?" tantang Aleta."Apa kalimat pembelaan yang ingin kamu katakan?" tunjuk Aleta kepada Davina yang kini tengah memendam amarahnya setengah mati agar tidak meledak.Davina mengeratkan pegangan di paperbag yang ia bawa. Ia tak bisa membalas ucapan wanita paruh baya di depannya ini. Apalagi mata Danas sudah memberikan isyarat padanya agar tak membalas ucapan dari mertuanya. Membuat Davina pada akhirnya hanya terbungkam.Melihat hal itu, Aleta pun berdecih. Ia tersenyum miring dengan tatapan sinis yang sangat kentara. Aleta pun membuang wajahnya ke arah lain. Enggan menatap Davina maupun Danas lama-lama."Saya cukup tau saja kalau anak saya yang baik hati itu tidak cukup beruntung karena memiliki sahabat yang menusuk dia dari belakang seperti kalian," maki Aleta dengan kalimat yang sangat menusuk seraya berlalu keluar dari inap itu.Mendengar kalimat kasar yang keluar dari mulut Aleta, membuat Davina yang sudah susah pa
Renata baru saja menempelkan bokongnya ke kursi penumpang, tetapi ponsel yang ia letakkan di sakunya sudah bergetar. Wanita itu berdecak kesal. Suara notifikasinya sudah ia bedakan sebelumnya. Membuat Renata sudah mengetahui siapa orang yang sudah menghubunginya itu.Wanita itu mengacuhkan panggilan dari orang itu dan lebih memilih untuk mengambil sebotol minuman yang ada di depannya. Ia lantas meneguknya hingga tandas.Sebuah peringatan untuk mematikan daya ponsel sudah terdengar. Renata pun segera mematikan jaringan data di ponselnya dan membuatnya menjadi mode pesawat. Lalu ia memasukkan gawainya itu ke dalam sling bag hitam yang ia bawa. Renata akan memanfaatkan waktu selama tujuh belas jam perjalanan ini untuk beristirahat, tanpa diganggu dengan panggilan dan teror menyebalkan dari pria itu. Setidaknya Renata bisa membebaskan dirinya dari ketakutan sampai ia benar-benar berhadapan dengan pria itu.Renata benar-benar memanfaatkan istirahatnya dengan baik. Ia tertidur saat pesawat
Aleta pun memutuskan untuk mengangkat kakinya dari ruang rawat inap menantunya. Ia tak menyangka, kalau orang yang dulu menjadi sahabat putrinya itu akan berpihak pada seseorang yang membunuh putrinya. Wanita itu mengepalkan tangannya erat. Ia menghentakan kakinya di koridor rumah sakit.Tak peduli dengan tatapan tak nyaman orang di sekitarnya. Aleta berbelok menuju lift untuk turun ke lantai dasar. Wanita itu menekan dengan kasar tombol lift yang bertanda panah ke bawah. Kemudian ia melipat kedua tangannya di depan dada seraya menunggu lift itu terbuka.Kala pintu lift itu terbuka, Aleta pun segera masuk ke dalamnya. Kini ia tak peduli lagi dengan kondisi menantunya. Emosinya yang meledak-ledak saat ini membuatnya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah."Davina! Tega-teganya kau mengkhianati anakku," desis Aleta seraya mengepalkan tangannya. Aleta sudah salah menilai Davina. Ia menyadari di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar akan setia. Aleta sudah menemukan banyak kasus pe
Aleta menggeram kesal saat melihat putranya yang tampak acuh tak acuh. Bagaimana bisa anaknya itu sangat mempercayai sahabatnya. Padahal Aleta dapat melihatnya dengan jelas, kalau sahabat dari putranya itu menyimpan rasa kepada menantunya.Langit yang baru saja usai menghabiskan makanannya langsung beranjak dari tempat duduknya. Aleta membuang tatapan matanya ke arah lain. Bahkan ia tak memedulikan anaknya yang menghampirinya dan mencium keningnya itu.Namun, Aleta masih dengan sikapnya yang tak mau menoleh ke arah anaknya sedikit pun. Langit yang merasa diacuhkan oleh sang mama pun tak ambil pusing. Ia menarik tubuhnya menjauh dan pergi ke kamarnya.Aleta yang melihat itu berdecih kasar. Lalu ia melempar sendok dan garpu yang ada di tangannya. "Ini sangat menyebalkan. Kenapa orang-orang di sekitarku hari ini membuatku kesal," ucapnya sambil menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi dengan kedua tangan terlipat di depan dada."Apa Langit harus melihat secara langsung dulu bagaimana sa
Kesabaran Renata sudah habis, lelaki itu menelepon, memberitahu di mana tempat pertemuan mereka.“Jadi, sampai bertemu, Sayang,” katanya lalu memutus sambungan telepon.Tentu saja sikapnya itu membuat Renata kesal setengah mati. Dia lalu bergegas untuk ke tempat lelaki itu. Langkahnya tergesa meninggalkan hotel tempat dia menginap.Berjalan disisi pedestrian Jerman harusnya menjadi daya tarik tersendiri untuk Renata. Selain panoramanya yang asri dan juga udaranya yang sejuk, penghuni negara ini alias manusianya berbeda dengan Indonesia yang notabene Asia.Namun, bagi Renata pemandangan seperti itu biasa saja, sepanjang berjalan dari hotel hingga apartemen lelaki itu, dia merutuk sendiri. Menyesal mengapa dulu pernah berhubungan dengannya. Dan sekarang sudah menjauh dan menghilang sebisa mungkin, lelaki itu datang lagi. Tubuhnya yang mungil sambil membawa tas berisi uang dan tas kecil berisi ponsel dan dompet, berjalan tergesa diantara kaukasia, membuatnya seperti tenggelam.Jarak anta
Danas hari itu sudah siap-siap akan pulang ke rumah. Dia mengemas pakaian dan barang-barang yang ada di rumah sakit. Davina yang menemani Danas sesekali mendengkus, geleng-geleng kepala melihat Danas yang begitu sabar membereskan barang punya Langit. Suaminya memang ikutan menginap, namun ketika Danas mau pulang, lelaki itu malah tidak muncul. “Memang apa alasannya Langit tidak menjemputmu? Harusnya dia ada di sini demi anaknya juga,” mata Davina melirik ke arah perut Danas yang membesar. “Ini juga membuktikan kalau dia bukan lelaki baik-baik, ck!” Danas mengedikkan bahu, “Dia bilang ada meeting yang tidak bisa ditinggalkan.” Dia lalu menghela napas, lalu duduk di tepian ranjang. Mengelus perutnya yang membesar. Aktivitasnya tidak banyak, tetapi Danas sudah kelelahan. Dia lalu mengeluarkan ponsel yang ada di sakunya. “Kita pulang naik taksi online saja, aku pesankan dulu.” “Jangan!” sergah Davina langsung. “Aku akan meminta kakakku mengantar.” Danas lama kelamaan tidak enak juga ka