Hm, hm, gimana nih????? Akankah semuanya menjadi berantakan????? 😐
Rania tidak mengerti mengapa Aluna bersikap seperti itu. Ia melihat sekilas ke arah Rafka. Lelaki tampan itu menggeleng lemah. Ia juga tidak paham apa tujuan Aluna yang sebenarnya. Aluna segera merapatkan tubuhnya. Ia memeluk Rania sambil menangis. "Maafkan Aluna, Mbak. Aluna merasa kehilangan Mbak Rania." "Kenapa kamu bilang seperti itu sih, Lun. Aku akan tetap menjadi kakak kamu." Aluna sedikit merasa tenang. Ia duduk di samping Rania dan meminta agar acaranya dilanjutkan. Rafka memaklumi sikap Aluna. Ia segera menegakkan tubuhnya kembali dan menatap ke arah depan. Pengucapan ijab kabul pun segera dimulai. Rafka mengucapkan dengan lantang dan penuh rasa percaya diri. Sehingga dalam satu kali pengucapan, ia telah berhasil. "Bagaimana saksi, sah?" "SAH." "Alhamdulillah." Bacaan hamdalah menggema di seluruh ruangan tempat di mana berlangsungnya pernikahan Rania dan Rafka. Dengan perlahan Rafka mengangkat kepala Rania yang masih tertunduk. Air mata jatuh perlahan. Namun bibir
"Hallo, Bu Rania. Bu Rania sangat cantik." Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah Rafka. "Bos Rafka. Selamat atas pernikahannya. Akhirnya kalian dipersatukan." "Rendi? Ini benar kamu? Kamu sangat tampan dan terlihat gagah." Ehem! Rafka berdehem. Ia terlihat cemburu karena sang istri memuji pria lain di hadapannya. "Kamu lebih tampan, Sayang," ujar Rania cepat. Wanita itu merasa gemas dengan sikap Rafka. Rafka mencoba tersenyum kembali. Ia menepuk pelan pundak Rendi. "Terima kasih sudah mau datang ke sini. Jadi sekarang kamu sudah menjadi Pak Aryan, ya?" celetuk Rafka. Rendi tertawa senang. Ia berterima kasih kepada Rafka. Berkat lelaki itu kini ia menjadi sukses dan tak lagi menjadi seorang sopir. "Selamat ya, Ren. Cita-citamu terkabul. Aku ikut bahagia mendengarnya." "Sekarang saya tidak perlu menjadi Aryan, Bu Rania. Karena Pak Rafka lah, saya bisa menjadi aktor tampan. Bagaimana? Saya sudah seperti Shah Rukh Khan dong?!" canda Rendi. Mereka bertiga pun tertawa bahagia
"Terima kasih, Mas. Aku akan berusaha mengikhlaskan Amar. Aku yakin dia sudah menjadi lelaki yang baik. Dan Tuhan Maha Pengampun kepada hamba-Nya." Melihat sang bapak yang telah menemani Rosita, Rania memilih untuk meninggalkan makam itu. Ia mencari keberadaan Rafka dan ingin menghiburnya. Di saat Rania hendak masuk ke dalam kamar, di sana sudah ada Rendi yang menjaga di depan pintu. "Ren ... Rafka ada di dalam?" tanya Rania berusaha bersikap tenang. "Iya, Bu Rania. Dari tadi Pak Rafka tidak mau ke luar. Pak Rafka mengurung diri di kamar," jawab Rendi. Rendi terlihat khawatir. Ia takut jika Rafka berbuat nekat dan melukai dirinya sendiri di dalam ruangan itu. "Aku akan mencoba berbicara kepadanya." Rania mengetuk pintu beberapa kali dan memanggil nama Rafka. Tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Wanita memegang gagang pintu kamar. Dan ternyata pintunya tidak dikunci. Rania membukanya secara perlahan. Ia mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan suaminya. "Sayang, kamu di
"Boleh Paman masuk?" tanya Delvin dari luar. "Masuklah Paman," jawab Rania. Lelaki paruh baya itu masuk dan menghampiri Rafka. Ia menepuk pelan pundak keponakannya. "Paman turut berduka atas kematian Amar. Padahal dia bersungguh-sungguh dalam bekerja dan tidak pernah mengecewakan. Paman tidak pernah menyangka jika Amar akan pergi secepat ini. Kamu yang sabar ya, Raf. Paman dengar semua berita tentangmu." Delvin melihat ke arah Rania yang hanya diam mendengarkan ucapannya. "Kamu harus tetap semangat. Kamu baru saja memperistri Rania. Tolong jangan kecewakan keponakan kesayanganku." "Paman?!" Rania memprotes. Ia tahu Rafka masih sedih. Kehadiran Paman Delvin malah membuat keadaan bertambah runyam. "Paman bercanda, Ran. Paman pulang dulu, ya? Kalian yang akur." Delvin pun pergi meninggalkan mereka berdua. Saat tiba di dekat pintu, Rafka baru mau berbicara. "Saya berjanji akan selalu menjaga Rania. Paman tenang saja." Delvin menoleh. Lalu tersenyum tipis. "Paman percaya sama kamu
"Itu masalahnya, Bu. Tiba-tiba perut saya sakit. Belum lagi banyak sekali panggilan masuk di hp saya." Rania menoleh ke arah Rafka. "Mas, bagaimana ini? Apa perlu kita selidiki Aluna?" tanya Rania kemudian. Rafka manggut-manggut. "Ya, tentu saja kita akan menyelidikinya." Sekali lagi Rania dan Rafka berterima kasih kepada Rendi. Mereka akan menyelidikinya nanti di saat yang tepat. Rendi akhirnya pamit untuk pulang. Ia harus segera kembali untuk melanjutkan pekerjaannya yang terbengkalai. "Hati-hati ya, Ren. Kapan-kapan kita atur waktu lagi untuk bertemu," ungkap Rafka. "Siap, Bos!" Rendi melihat ke arah Rania dan Julio. "Mari Bu Rania dan Julio." Rania dan Julio langsung mengangguk. Mereka kembali mengobrol sebentar. Rosita ikut penasaran dengan apa yang disampaikan oleh Rendi. Tetapi ia tidak ingin gegabah dalam bertindak. Wanita paruh baya itu memilih untuk mengajak Julio masuk ke kamar. "Lebih baik kita istirahat, Sayang. Kita tidur yuk?" ajak Rafka setelah memastikan pint
Setelah beberapa menit lamanya, Rafka keluar dari kamar mandi. Pandangannya langsung tertuju ke tempat tidur. Tidak ada Rania di sana. Lelaki tampan itu mengedarkan pandangannya. "Sayang, kamu di mana?" lirih Rafka khawatir. Pintu kamar terbuka. Menampilkan sosok Rania yang telah mengganti pakaiannya dengan sebuah lingerie seksi pemberian mamanya. Rafka terdiam di tempatnya. Ia menelan berat saliva-nya. Tiba-tiba ingatannya tertuju pada malam panas yang pertama kali mereka lakukan saat itu. Rania tampak tersipu malu. Ia membawakan sebuah nampan dengan dua gelas berisi minuman di atasnya. "Minum dulu Sayang," lirih Rania setelah meletakkan nampan itu dan mengambil minuman untuk diberikan kepada suaminya. "I–iya Sayang. Terima kasih," balas Rafka terbata. Kedua netranya tak berhenti menatap keindahan dua benda padat dan kenyal yang menyembul dari balik pakaian tipis itu. Lelaki itu tanpa sadar menghabiskan minuman di tangan kanannya. Setelah itu tubuhnya mulai berkeringat dingin.
Rafka menggeleng lemah. Ia merasa bersalah karena tidak bisa menangkap penjahat itu. "Maaf, aku tidak berhasil membawanya ke sini." "Tidak apa-apa, Mas. Jangan sedih." Rania berusaha menghibur suaminya. "Apakah Aluna mengenalnya? Atau jangan-jangan lelaki itu adalah Riko?" Rafka berjalan mendekati Aluna. Ia melihat gadis hanya tertunduk dan tidak berani menatapnya. "Tolong katakan sesuatu, Aluna. Apakah benar orang yang menembak Mas Amar adalah Riko? Apa benar ia telah mengancam kamu? Kamu mengetahui semuanya, bukan?" tanya Rafka menyelidik. Aluna tidak menjawab pertanyaan dari Rafka. Ia malah menangis kencang. "Sudahlah, Mas. Cukup! Aluna hampir saja diperkosa. Lelaki tadi memakai penutup wajah. Jadi Aluna tidak mengenalinya." Rania mulai terbawa emosi. Ia merasa kasihan dengan adiknya. "Aku minta maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaan Aluna." Semua orang terdiam. Rumah itu mendadak hening. Sedangkan Rania berusaha menenangkan Aluna dengan memeluk dan menge
Kedua mata Rafka menatap tajam ke arah tangan Aluna. Ia tidak suka jika gadis itu bertindak melampaui batas. Aluna segera melepaskan genggamannya. Sebenarnya ia sedikit merasa takut jika Rafka akan memarahinya. "Bantuin Aluna bawa semua barang ini ke kamar ya, Kak? Barang-barangnya cukup banyak. Please." Aluna menyatukan kedua telapak tangannya di hadapan Rafka. Memohon agar lelaki itu mau membantunya lagi. "Astaga!" Sebenarnya Rafka merasa kesal. Tetapi ia tahu jika Aluna baru saja mendapatkan kemalangan. Sungguh ia merasa sangat jahat jika membiarkan adik dari wanita yang sangat dicintainya kesulitan. Apalagi sekarang Aluna ada di rumahnya. Rafka menghembuskan nafas kasar. Tidak ada pilihan lain. Terpaksa ia harus menolong Aluna terlebih dahulu daripada mengejar istrinya ke kamar. "Baiklah. Maaf jika Kakak bersikap keterlaluan kepadamu." Rafka pun segera membawa barang-barang Aluna ke dalam kamar gadis itu. Ia bisa melihat seulas senyuman terbit di bibir adik iparnya tersebut.