Semoga segera terkuak kejahatan Riko dan secepatnya masuk penjara.😡
"Itu masalahnya, Bu. Tiba-tiba perut saya sakit. Belum lagi banyak sekali panggilan masuk di hp saya." Rania menoleh ke arah Rafka. "Mas, bagaimana ini? Apa perlu kita selidiki Aluna?" tanya Rania kemudian. Rafka manggut-manggut. "Ya, tentu saja kita akan menyelidikinya." Sekali lagi Rania dan Rafka berterima kasih kepada Rendi. Mereka akan menyelidikinya nanti di saat yang tepat. Rendi akhirnya pamit untuk pulang. Ia harus segera kembali untuk melanjutkan pekerjaannya yang terbengkalai. "Hati-hati ya, Ren. Kapan-kapan kita atur waktu lagi untuk bertemu," ungkap Rafka. "Siap, Bos!" Rendi melihat ke arah Rania dan Julio. "Mari Bu Rania dan Julio." Rania dan Julio langsung mengangguk. Mereka kembali mengobrol sebentar. Rosita ikut penasaran dengan apa yang disampaikan oleh Rendi. Tetapi ia tidak ingin gegabah dalam bertindak. Wanita paruh baya itu memilih untuk mengajak Julio masuk ke kamar. "Lebih baik kita istirahat, Sayang. Kita tidur yuk?" ajak Rafka setelah memastikan pint
Setelah beberapa menit lamanya, Rafka keluar dari kamar mandi. Pandangannya langsung tertuju ke tempat tidur. Tidak ada Rania di sana. Lelaki tampan itu mengedarkan pandangannya. "Sayang, kamu di mana?" lirih Rafka khawatir. Pintu kamar terbuka. Menampilkan sosok Rania yang telah mengganti pakaiannya dengan sebuah lingerie seksi pemberian mamanya. Rafka terdiam di tempatnya. Ia menelan berat saliva-nya. Tiba-tiba ingatannya tertuju pada malam panas yang pertama kali mereka lakukan saat itu. Rania tampak tersipu malu. Ia membawakan sebuah nampan dengan dua gelas berisi minuman di atasnya. "Minum dulu Sayang," lirih Rania setelah meletakkan nampan itu dan mengambil minuman untuk diberikan kepada suaminya. "I–iya Sayang. Terima kasih," balas Rafka terbata. Kedua netranya tak berhenti menatap keindahan dua benda padat dan kenyal yang menyembul dari balik pakaian tipis itu. Lelaki itu tanpa sadar menghabiskan minuman di tangan kanannya. Setelah itu tubuhnya mulai berkeringat dingin.
Rafka menggeleng lemah. Ia merasa bersalah karena tidak bisa menangkap penjahat itu. "Maaf, aku tidak berhasil membawanya ke sini." "Tidak apa-apa, Mas. Jangan sedih." Rania berusaha menghibur suaminya. "Apakah Aluna mengenalnya? Atau jangan-jangan lelaki itu adalah Riko?" Rafka berjalan mendekati Aluna. Ia melihat gadis hanya tertunduk dan tidak berani menatapnya. "Tolong katakan sesuatu, Aluna. Apakah benar orang yang menembak Mas Amar adalah Riko? Apa benar ia telah mengancam kamu? Kamu mengetahui semuanya, bukan?" tanya Rafka menyelidik. Aluna tidak menjawab pertanyaan dari Rafka. Ia malah menangis kencang. "Sudahlah, Mas. Cukup! Aluna hampir saja diperkosa. Lelaki tadi memakai penutup wajah. Jadi Aluna tidak mengenalinya." Rania mulai terbawa emosi. Ia merasa kasihan dengan adiknya. "Aku minta maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaan Aluna." Semua orang terdiam. Rumah itu mendadak hening. Sedangkan Rania berusaha menenangkan Aluna dengan memeluk dan menge
Kedua mata Rafka menatap tajam ke arah tangan Aluna. Ia tidak suka jika gadis itu bertindak melampaui batas. Aluna segera melepaskan genggamannya. Sebenarnya ia sedikit merasa takut jika Rafka akan memarahinya. "Bantuin Aluna bawa semua barang ini ke kamar ya, Kak? Barang-barangnya cukup banyak. Please." Aluna menyatukan kedua telapak tangannya di hadapan Rafka. Memohon agar lelaki itu mau membantunya lagi. "Astaga!" Sebenarnya Rafka merasa kesal. Tetapi ia tahu jika Aluna baru saja mendapatkan kemalangan. Sungguh ia merasa sangat jahat jika membiarkan adik dari wanita yang sangat dicintainya kesulitan. Apalagi sekarang Aluna ada di rumahnya. Rafka menghembuskan nafas kasar. Tidak ada pilihan lain. Terpaksa ia harus menolong Aluna terlebih dahulu daripada mengejar istrinya ke kamar. "Baiklah. Maaf jika Kakak bersikap keterlaluan kepadamu." Rafka pun segera membawa barang-barang Aluna ke dalam kamar gadis itu. Ia bisa melihat seulas senyuman terbit di bibir adik iparnya tersebut.
"Iya?" Rania menekankan ucapannya. "Maaf ya, Mbak. Jadi Aluna pengen banget makan pizza. Jadi aku memesan tiga kotak sekalian untuk Mbak Rania dan Kak Rafka," ungkap Aluna kemudian. Rania sedikit terkejut. Ia tidak menyangka jika Aluna ternyata memesan makanan. Wanita itu jadi merasa bersalah karena belum menyiapkan makanan untuk adiknya. "Oh, jadi begitu." Rania segera menghampiri Aluna dan merangkulnya. "Maafkan Mbak ya, Lun. Tidak masakin yang enak-enak buat kamu. Mbak jadi merasa bersalah." "Tidak apa-apa, Mbak. Santai saja. Kalau begitu kita bikin minuman aja yuk, Mbak?" ajak Aluna kemudian. Ia merasa lega karena Rania percaya dengan ucapannya. Gadis itu mengelus dadanya beberapa kali. Sementara Rafka mencuri pandang ke arah gadis itu. Ia masih belum sepenuhnya percaya dengan Aluna. Tetapi lelaki itu berusaha untuk tidak memfitnah adik Rania. Sementara Rania dan Aluna ke dapur, Rafka memilih duduk di kursi ruang makan. Batinnya sedikit kecewa karena gagal bermesraan dengan
"Lebih baik kamu segera mandi, Lun. Mbak sudah siap, kok masaknya." "Sekali lagi maaf ya, Mbak. Nggak bantuin Mbak masak pagi ini." "Tidak apa-apa, Lun. Cepat gih sana! Nanti telat loh ke kampusnya," perintah Rania. Gadis itu mendekat ke tubuh Rania. Kemudian mengecup singkat pipi kirinya. "Makasih banyak Mbak Rania. Aluna akan segera mandi." Tanpa menunggu jawaban dari Rania, Aluna segera masuk ke dalam kamarnya. Ia bersiap untuk mandi dan mengenakan pakaian terbaiknya. Beberapa menit berlalu, semua sudah siap menikmati makan pagi buatan Rania. Tentu saja Rafka yang paling bersemangat di antara mereka. "Pelan-pelan, Mas. Nggak terburu-buru, 'kan?" Rania mengelap sudut bibir suaminya dengan sebuah tisu ketika melihat Rafka belepotan karena terlalu antusias untuk sarapan. "Terima kasih, Sayang. Maaf, aku terlalu berlebihan. Masakan buatan kamu sangat nikmat dan bikin ketagihan. Sejak dulu." Rafka tersenyum manis sehingga terlihat lesung pipinya. Hal itu membuat Aluna kesulitan
Rafka tidak terlalu percaya dengan ucapan Fariz. Ia melangkah santai menuju ruangan sang CEO. Sementara Fariz mengikutinya di belakang. Dengan perlahan Rafka membuka pintu ruangan itu. Seketika ia kaget saat di atas mejanya ada banyak sekali kotak hadiah untuknya. Dan tidak hanya itu saja. Di depan tumpukan itu ada seorang perempuan yang tersenyum senang kepadanya. "Selamat atas pernikahannya," ucap wanita itu ceria. "Nina? Kamu ada di sini?" tanya Rafka hampir tidak percaya. "Ya, maaf ya. Beberapa hari ini aku membantu Fariz menyelesaikan pekerjaannya. Dia kerepotan bekerja seorang diri." "Hm, aku dengar kamu ada di luar negeri saat acara pernikahanku." Rafka mempersilahkan Nina untuk duduk. Dan ia pun menyadari jika Fariz ada di belakangnya. "Itu benar, Raf. Dan aku menyesal tidak hadir di acara pernikahan kamu dengan wanita yang sangat kamu cintai." Nina berjalan menghampiri Fariz. Ia memeluk tubuh lelaki itu dari samping. "Dan sekarang aku sudah menerima Fariz sebagai keka
Keesokan harinya Rania mondar-mandir seorang diri. Pikirannya kacau tidak karuan. Sejak semalam ponsel sang suami dan Aluna tidak dapat dihubungi. Serta keduanya sama-sama tidak pulang ke rumah. "Sebenarnya ke mana mereka?" Rania terlihat tidak tenang. "Mas Rafka, kenapa kamu jadi hilang begini?" Wanita itu mencoba menelepon kembali suaminya. Tetapi tetap saja tidak bisa. Beberapa kali Rania melihat dari balik gorden rumahnya untuk memastikan apakah Rafka sudah pulang atau belum. Hingga ia merasakan perutnya sakit karena malas makan. Setelah selesai dari toilet, terdengar bel pintu rumah berbunyi. Rania segera memeriksanya. Ia yakin jika yang datang adalah suaminya. Rania membuka pintu sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Tetapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan baginya. Rafka dan Aluna datang secara bersamaan. Terlihat rambut Aluna masih sedikit berantakan. Gadis itu memegangi lehernya yang terasa kaku. Tanpa sengaja pandangan Rania berhenti pada leher adiknya. Terdapat ta