Ada yang masih baca???? đ
Rafka tidak terlalu percaya dengan ucapan Fariz. Ia melangkah santai menuju ruangan sang CEO. Sementara Fariz mengikutinya di belakang. Dengan perlahan Rafka membuka pintu ruangan itu. Seketika ia kaget saat di atas mejanya ada banyak sekali kotak hadiah untuknya. Dan tidak hanya itu saja. Di depan tumpukan itu ada seorang perempuan yang tersenyum senang kepadanya. "Selamat atas pernikahannya," ucap wanita itu ceria. "Nina? Kamu ada di sini?" tanya Rafka hampir tidak percaya. "Ya, maaf ya. Beberapa hari ini aku membantu Fariz menyelesaikan pekerjaannya. Dia kerepotan bekerja seorang diri." "Hm, aku dengar kamu ada di luar negeri saat acara pernikahanku." Rafka mempersilahkan Nina untuk duduk. Dan ia pun menyadari jika Fariz ada di belakangnya. "Itu benar, Raf. Dan aku menyesal tidak hadir di acara pernikahan kamu dengan wanita yang sangat kamu cintai." Nina berjalan menghampiri Fariz. Ia memeluk tubuh lelaki itu dari samping. "Dan sekarang aku sudah menerima Fariz sebagai keka
Keesokan harinya Rania mondar-mandir seorang diri. Pikirannya kacau tidak karuan. Sejak semalam ponsel sang suami dan Aluna tidak dapat dihubungi. Serta keduanya sama-sama tidak pulang ke rumah. "Sebenarnya ke mana mereka?" Rania terlihat tidak tenang. "Mas Rafka, kenapa kamu jadi hilang begini?" Wanita itu mencoba menelepon kembali suaminya. Tetapi tetap saja tidak bisa. Beberapa kali Rania melihat dari balik gorden rumahnya untuk memastikan apakah Rafka sudah pulang atau belum. Hingga ia merasakan perutnya sakit karena malas makan. Setelah selesai dari toilet, terdengar bel pintu rumah berbunyi. Rania segera memeriksanya. Ia yakin jika yang datang adalah suaminya. Rania membuka pintu sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Tetapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan baginya. Rafka dan Aluna datang secara bersamaan. Terlihat rambut Aluna masih sedikit berantakan. Gadis itu memegangi lehernya yang terasa kaku. Tanpa sengaja pandangan Rania berhenti pada leher adiknya. Terdapat ta
Aluna kaget bukan main. Ia segera menjauhkan diri dari tubuh Rafka. "MâMbak Rania?" Dengan terbata Aluna bertanya kepada kakaknya. "Kamu mau ngapain Aluna? Jangan bilang mau merebut Mas Rafka dariku?!" Rania terlihat kesal. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Aluna segera menggelengkan kepalanya. "Tiâtidak, Mbak. Tadi aku mau mencari Mbak Rania. Aku pikir Mbak di dalam kamar. Kebetulan pintunya tidak dikunci." "Bukankah kamu sudah tahu kalau aku tidak ada. Kenapa kamu tetap masuk? Aku lihat kamu mendekatkan wajahmu kepada Mas Rafka." Aluna terdiam. Mencoba mencari alasan yang tepat. Ia takut jika Rania akan mengusirnya dari rumah itu. Maka rencananya akan gagal. "Sumpah, Mbak. Tadi ada nyamuk di dekat bibir Kak Rafka." "Nyamuk?" Rania tampak tidak percaya. Mana mungkin ada nyamuk di kamarnya. Sungguh tidak masuk akal. Wanita itu hendak menyanggah Aluna kembali. Tetapi tiba-tiba Rafka terbangun dari tidurnya. Mungkin karena mendengar perdebatan istri dan adiknya. "Ada apa ini? Men
Setelah keduanya merasa puas dan lelah melanjutkan ikhtiar untuk mendapatkan momongan di kamar hotel itu, Rafka tertidur di samping Rania dengan sangat lelapnya. Sementara wanita itu masih terjaga. Kesulitan memejamkan kedua matanya. Ia jadi kepikiran dengan Aluna. Akhirnya Rania memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada adiknya. "Lun, kamu di mana? Ada di rumah? Malam ini aku dan Mas Rafka tidak pulang. Kita sedang berbulan madu di suatu tempat. Kamu hati-hati ya di rumah?" Di tempat lain Aluna merasa sangat kesal setelah membaca pesan dari kakaknya. Ia memang sengaja tidak pulang ke rumah agar Rafka dan Rania khawatir. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. "Ih, nyebelin. Pasti Mbak Rania sengaja banget mau manas-manasin aku. Lihat saja Mbak. Akan aku bongkar kebusukan suamimu itu. Akan aku buat Kak Rafka menikahiku dan bertanggung jawab atas anak yang aku kandung ini." Aluna tersenyum jahat. Ia tidak memperdulikan lagi perasaan kakaknya. Gadis itu sudah terlanjur sakit hati deng
"Kamu bicara apa, Sayang? Kamu tidak percaya kepadaku?" tanya Rafka lembut. Di dalam hatinya merasa risau. Apakah mungkin ia bisa mengutarakan kejadian itu kepada Rania? Lelaki tampan tersebut takut kehilangan istrinya. Ia sangat mencintai Rania. Rania terdiam mendengar sang suami yang justru bertanya balik kepadanya. Mungkinkah hatinya meragukan cinta Rafka? "Aku percaya kepadamu, Mas. Maaf, ya?" balasnya tak ingin mengecewakan Rafka. "Setelah ini mau ke mana?" Rafka mencoba mencari topik baru. Ia masih ingin jalan-jalan berdua dengan sang istri. Rania tampak berpikir sejenak. Kemudian ia mendekatkan bibirnya pada telinga Rafka seraya membisikkan sesuatu. "Kamu yakin?" tanya Rafka memastikan. Rania mengangguk cepat. Ia terlihat bersemangat. "Baiklah kalau kamu mau. Dengan senang hati aku akan mengajarinya." Mereka berdua pun melanjutkan makan pagi dan setelah itu mandi bersama lalu bersiap-siap pergi sesuai rencana. Di sebuah kantin, Aluna tampak mengerucutkan bibirnya. Ia se
Rania segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia tidak ingin merusak suasana kebahagiaan di antara mereka berdua. âTidak, Mas. Aku bahagia kok. Siapa yang bersedih?â ujar Rania sambil memamerkan senyuman terbaiknya. Ia kemudian mengajak Rafka untuk segera memasukkan semua barang-barang yang masih tertinggal âKamu serius 'kan? Tidak sedang memikirkan sesuatu?â tanya Rafka lagi. âIya. Aku tidak apa-apa kok. Beneran, Mas.â Tangan Rafka mengusap kepala Rania dengan sambil tersenyum. Lalu ia segera menjalankan mobil kembali menuju rumah sang mama. Beberapa waktu berlalu, mereka telah tiba di depan rumah Rosita. Wanita paruh baya itu langsung menghampiri dan tersenyum kala menyadari siapa yang datang berkunjung. âRafka, Rania ....,â sapanya antusias. âMa ... sehat?â balas Rafka kembali bertanya. Ia dan Rania bergantian bersalaman dengan Rosita. âAlhamdulillah, sehat.â âIni kami bawakan oleh-oleh buat Mama dan Julio,â ungkap Rania. âWah banyak sekali ini. Ayo silahkan duduk kal
âApaan sih, Mbak. Memangnya Aluna tahu kalau Mbak Rania mau pulang? Sudah pergi nggak pamit dulu. Pulang pun tiba-tiba. Nggak bawa oleh-oleh sama sekali. Mbak Rania nggak peduli âkan kalau Aluna nggak punya uang dan kelaparan sendirian di rumah.â Ucapan Aluna membuat Rania terdiam seketika. Ia pikir uang Aluna masih ada karena ia sudah memberikan sejumlah uang kepada adiknya tersebut. Rania segera meraih tangan Aluna kembali. âLun, maafkan Mbak ya? Mbak pikir uang kamu masih banyak. Kenapa kamu nggak minta transfer sih?â âHandphone Mbak saja nggak bisa dihubungi kok.â Rania kembali terdiam. Ia memang belum mengecek ponselnya lagi. âKalau begitu Mbak masakin ya, sekarang. Kebetulan mbak juga belum makan.â âNggak perlu. Tadi udah dibeliin sama Bayu. Sekarang mau ke kamar. Banyak tugas kampus.â Aluna langsung melenggang pergi begitu saja. Rasanya ia ingin cepat-cepat mengaku bahwa dirinya sedang hamil. Dan meminta sang kakak ipar untuk bertanggung jawab. Rania bisa mendengar saat
Satu bulan kemudian. Pagi-pagi sekali Rania sudah menyiapkan sarapan. Ia juga sudah membersihkan seluruh area rumah bahkan sudah wangi dan rapi. Entah mengapa ia merasa sangat bersemangat pagi itu. Rafka tersenyum manis menghampiri sang istri yang tengah menyiapkan menu makan pagi. Tak lupa ia membantu Rania agar tidak kerepotan. Lelaki itu pun juga terlihat rapi dengan pakaian formalnya. Rencananya ia akan bertemu klien penting yang datang dari luar negeri. Kini perusahaannya semakin berkembang. Rafka duduk di kursi dan menarik satu piring untuknya. Namun tiba-tiba ia merasakan sebuah kecupan di pipinya. Lalu ia tersenyum dan seraya berkata, âWangi banget kamu, Sayang.â :Lelaki tampan itu mengusap pelan kepala sang istri saat Rania duduk di sebelahnya kemudian menyandarkan kepala pada lengannya. âKenapa ya, rasanya pengen dekat-dekat terus sama Mas Rafka. Nggak mau ditinggalin. Aroma parfum Mas selalu bikin kangen.â Rania berucap dengan manja. âAda apa, sih? Kalau saja Mas ngga