Lanjut nggak nih???? đ¤
"Mana mungkin Ibu berbohong." Dewi mencubit pelan hidung putrinya. Ia heran kenapa Rania bertanya seperti itu kepadanya. Sementara Rania berusaha untuk percaya saja. Ia tidak memberitahu ibunya jika Aluna telah berbohong. Menyatakan jika akan menjemputnya malam itu, tetapi nyatanya tidak jadi datang. Bahkan tidak memberi kabar sama sekali setelah kejadian waktu itu. "Ya sudah. Kita tunggu saja ya, Bu." Kalimat itulah yang keluar dari mulut Rania. Ia mencoba mengalihkan tema pembicaraan. Wanita itu lebih menanyakan tentang keadaan di kampung. "Tenang saja, Ran. Bapak kamu sudah menyuruh orang untuk mengurus sawah beberapa hari selama kami ada di sini." "Kenapa Ibu dan Bapak nekat datang ke sini, sih? Terlalu merindukan Aluna, ya?" ledek Rania kemudian. Ujung-ujungnya pun membicarakan tentang Aluna kembali. "Sebenarnya bukan Ibu yang memaksa datang ke sini. Tapi Bapakmu itu. Ngebet banget pengen ke kota." Rania mengernyit heran. Ia merasakan jika Romi terlihat lain. Lelaki itu sepe
"Mama tidak tahu, Kak. Makanya Jio cepat-cepat pulang tadi. Dan Jio tidak sempat bertemu dengan Kak Rania," ungkap Julio sedih. Sesungguhnya ia ingin berjumpa dan mengobrol kembali dengan Rania. Rafka menepuk pelan bahu Julio. Kemudian merangkul adiknya tersebut dengan penuh rasa sayang. "Terima kasih, Jio. Kamu sangat peduli dengan Kak Rania. Bagaimana kalau besok kita menjenguknya?" usul Rafka. "Kakak tidak bisa tenang jika belum bertemu dengannya." "Julio besok ada ujian di sekolah, Kak. Tidak boleh bolos." Seketika Rafka menatap Julio dengan tatapan dalam. "Lalu kenapa kamu masih di sini? Belajar dulu, Jio. Setelah itu beristirahat." Sebenarnya Julio tidak bersemangat untuk belajar. Ia masih kepikiran dengan Rania. Tetapi apa boleh buat. Jika sampai nilai ujiannya jelek, pasti dia akan dimarahi Rosita. "Ayo, Kak. Kita masuk," ajak Julio kemudian. "Iya, nanti Kakak nyusul." Rafka mencoba meyakinkan Julio. Julio pun mengangguk dan segera melangkah pergi menuju ke kamarnya. Se
Rafka terlihat gelisah. Ia tidak mau Aluna tahu bahwa dirinya ada di tempat itu. Karena memang lelaki itu datang secara diam-diam."Raf, ada apa?" tanya Rania yang ikut gelisah. "Aluna tengah berjalan ke mari, Ran. Apa yang harus aku lakukan?" ucap Rafka dengan suara yang sangat lirih. "Kamu masuk ke toilet saja, Raf. Cepat!" ujar Rania. Ia menyuruh Rafka masuk ke toilet khusus pasien yang ada di dalam ruangan itu. Rafka mengangguk dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia segera mengunci pintunya dari dalam.Pintu ruangan Rania terbuka setelah beberapa detik Rafka berhasil masuk ke kamar mandi. Rupanya Aluna yang datang bersama Rendi."Mbak Rania, sudah bangun? Maaf ya,bak Rania malah Aluna tinggalin sendirian di sini. Habisnya Kak Rendi maksa Aluna buat nemenin dia," jelas Aluna panjang lebar. Ia tidak ingin Rania salah paham terhadapnya. Rania mencoba untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, Luna. Mbak ngerti kok." Aluna memegangi perutnya. Tiba-tiba ia merasa ingin kencing. Gadis itu
Aluna terperanjat dan seketika menjauhkan tubuhnya dari samping Bayu. Ia malu karena kepergok teman baiknya tersebut. "Eh, iya nih. Kak Riko ngirim pesan. Katanya mau ajak aku ke acara pesta temannya. Pasti seru, ya?" ujar Aluna riang gembira. Raut wajah Bayu berubah serius. Ia kembali merapatkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Luna. "Kalau saran aku sih, Lun. Sebaiknya kamu tidak usah datang. Perasaanku nggak enak. Takut kamu kenapa-napa." "Kok kamu gitu sih, Bay?! Nggak sejalan banget otak kita." "Lun ... sejak awal kamu kenalin Kak Riko, aku pikir dia bukan lelaki baik-baik. Percayalah. Aku khawatir sama kamu." "Udahlah, Bay. Aku jadi bete, nih. Aku mau ke toilet dulu." *** Siang harinya Romi membawa berita baik untuk Rania dan Dewi. Wanita itu sudah diperbolehkan pulang di sore hari. "Aku mau ke luar sebentar ya, Wi." Tiba-tiba Romi izin pergi setelah mengabarkan berita baik itu kepada istri dan anaknya. "Mau ke mana, Pak?" tanya Dewi penasaran. "Ada urusan sebentar. T
"Bapak jujur saja sekarang. Kenapa tadi pergi ke sekolah Julio?" tanya Dewi dengan menahan diri agar tidak emosi. Sedari tadi ia meminta Romi berbicara yang sebenarnya. Tetapi lelaki itu hanya diam saja. "Apa benar Bapak ada hubungan dengan mamanya Rafka? Atau ada sesuatu yang Bapak sembunyikan tentang Julio?" "Tiâtidak. Tidak begitu, Wi. Kamu salah sangka. Aku hanya ingin mengembalikan benda kecil ini. Sepertinya milik Julio." Dewi segera merebut benda kecil yang dibawa Romi. Sebuah flashdisk yang kemungkinan dipakai untuk menyimpan data-data milik Julio saat ada tugas dari gurunya. Tetapi Dewi tidak begitu paham dengan benda itu. "Ini apa sih, Pak? Dewi tidak mengerti." Dewi pun berterus terang. "Bapak juga tidak tahu, Wi. Tetapi biasanya seperti ini dipakai untuk mengerjakan tugas anak sekolah. Jadi bapak pikir ini sangat penting. Takut jika Julio membutuhkannya." "Oh, jadi begitu. Kenapa Bapak tidak berterus terang saja tadi. Bikin ibu curiga saja." Romi garuk-garuk kepala
Rendi kebingungan harus menjawab apa. Ia takut jika salah bicara. "Itu ... Anuâ" Tangan Rendi menunjuk-nunjuk ke arah Rania yang sudah berada di dalam rumah. "Apakah Rania itu wanita simpanan?" tanya Bu Titin dengan berbisik. "Kalau ibu perhatiin sepertinya dia sedang hamil." 'Duh, mau jawab apa nih? Nanti kalau Bu Titin salah sangka bisa-bisa Bu Rania diusir dari kos-kosan.' Rendi dikejutkan dengan suara ponselnya yang berbunyi. Begitupun dengan Bu Titin yang refleks menjauhi lelaki itu. "Oh, baik, Bu. Terima kasih. Saya akan segera ke sana." Rendi memasukkan kembali ponselnya dalam saku. Ia segera kabur dari Bu Titin agar tidak ditanyai macam-macam lagi. "Eh, Ren. Mau ke mana? Kok buru-buru!" teriak Bu Titin yang sebenarnya sudah sangat penasaran tentang Rania. Rendi segera masuk ke tempat Rania. Tadi wanita itu meneleponnya agar ikut makan bersama. Dewi telah menyiapkan beberapa makanan meski tidak mewah. "Rendi, kamu ke mana saja? Kok langsung menghilang tadi," sapa Rania
Beberapa menit menunggu kedatangan Bayu, akhirnya lelaki itu datang juga. Ia berjalan cepat menghampiri temannya itu. "Lun ... apa yang terjadi?" tanyanya penuh rasa khawatir. Aluna langsung mendekap tubuh Bayu. Ia kembali menangis sejadi-jadinya. "Kak Riko, Bay ...." "Sebaiknya kita segera pergi dari sini." Bayu memakaikan jaketnya pada tubuh Aluna. Lalu memapah tubuh gadis ke dalam mobilnya. Hatinya ikut merasa sakit melihat perempuan yang ia cintai telah direnggut paksa kesuciannya. Lelaki itu sudah paham apa yang terjadi kepada Aluna. Dugaannya selama ini benar. Riko hanya mengintai tubuhnya dan mencari waktu yang tepat untuk melancarkan aksinya. Di dalam perjalanan Aluna terus terdiam. Ia merasa hidupnya tak berguna. Sempat terlintas di dalam hati untuk mengakhiri hidupnya saja. "Lun, kamu sabar ya? Jika ada apa-apa hubungi aku saja. Aku akan selalu ada untukmu." Bayu menggenggam tangan Luna. Ia berusaha untuk menguatkan gadis itu. Aluna hanya diam. Ia benar-benar merasa
Rania berusaha membangunkan Dewi. Tetapi ibunya tersebut tetap tak sadarkan diri. Wanita itu tidak punya pilihan lain. Ia berteriak meminta tolong kepada orang-orang sekitar yang ada di sana. Beruntung ada satu orang yang menawarkan kebaikan agar Dewi masuk ke dalam mobilnya dan segera dibawa ke rumah sakit. Dia adalah seorang lelaki yang cukup tampan. Lelaki itu mengangkat tubuh Dewi dan membantu memasukkan barang-barang belanjaan Rania ke dalam bagasi mobilnya. Ia melajukan mobil cukup kencang agar segera tiba di sebuah rumah sakit. Tak butuh waktu lama mobil lelaki itu telah berhenti di sebuah rumah sakit besar. Ia segera mengangkat tubuh Dewi dan mencarikan seorang dokter. "Terima kasih atas pertolongannya. Saya tidak tahu jika tidak ada Anda tadi pasti Ibu saya tidak segera ditangani," ucap Rania setelah ibunya masuk ke dalam sebuah ruangan di rumah sakit berkat pertolongan seorang lelaki yang tak dikenalinya. "Tidak perlu berterima kasih. Sudah kewajiban kita sesama manusia