"Totalnya satu juta tujuh ratus ribu, Kak," ucap seorang kasir perempuan yang baru saja selesai menghitung barang belanjaan Zia. Zia pun mengangguk, lalu mengeluarkan dompet dari tas selempang yang ia bawa. "Mau bayar pakai cash, kartu, atau qris, Kak?" Kasir itu kembali bertanya. "Pakai kartu," jawab Zia sembari membuka dompet bermerk miliknya. Dalam dompet itu terdapat lima kartu kredit. Tiga di antaranya adalah asli miliknya, sementara dua yang lainnya adalah milik Azka yang diberikan kepadanya beberapa hari yang lalu. Istri siri Azka itu kemudian mengambil salah satu kartu kredit miliknya. Ia tak berminat untuk memakai kartu kredit Azka, karena merasa itu tidak perlu. Zia kemudian menyerahkan kartu kreditnya kepada kasir untuk menyelesaikan proses pembayaran. Tak berapa lama, kasir itu mengembalikan kartu kredit tersebut. "Kenapa, Mbak?" tanya Zia heran. "Kartu ini tidak bisa digunakan, Kak," jawab sang kasir. "Coba yang ini." Zia menyerahkan kartu kredit miliknya yang lai
Di walk in closet, Zia mencoba beberapa pakaian yang akan dikenakannya malam ini. Ia sudah berhasil membujuk Azka untuk pulang, maka kali ini ia akan berusaha berpenampilan terbaik demi menyambut suaminya itu. "Huh! Baju cuma ini ini aja," gerutu Zia, setelah merasa tidak ada yang cocok untuk dipakai malam ini. Sebenarnya Zia punya banyak pakaian. Mulai dari pakaian santai sehari-hari di rumah, pakaian kerja, sampai gaun pesta pun ia punya yang tentu saja semuanya bermerk, dan berharga mahal. Namun kini percuma, karena semua itu tidak ia bawa dari rumah sang ayah. Kepergiannya dari rumah setelah akad nikah waktu itu cukup mendadak, sehingga Zia tidak punya banyak waktu untuk membawa banyak pakaian. Setelah beberapa hari tinggal di kota ini pun ia belum sempat berbelanja pakaian. Pakaian yang ia bawa dari rumah ayahnya itu kebanyakan adalah pakaian formal untuk kerja, selebihnya baju santai. Menurut Zia, itu semua tidak cocok dipakai untuk makan malam bersama Azka. Membuka kopernya,
Azka terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya dari mulut Zia. Memaksanya untuk tetap tinggal, dan tak malu menawarkan hubungan suami istri. Menatap Zia dengan ekspresi bingung, Azka merasa harus segera menemukan kata-kata untuk menjawab perkataan istri sirinya tadi. "Ayo, Mas, kalau kamu mau, mari kita lakukan sekarang," ucap Zia, sebelum Azka sempat menjawab. Kini tangan Zia sudah menyentuh lengan Azka. Sudah tidak ada lagi rasa canggung ataupun merasa tidak enak. Di benak Zia sekarang adalah mempertahankan Azka agar tidak pulang ke rumah sang eyang, dan berakhir bertemu dengan perempuan bernama Sheila. Zia terlalu tidak rela. Suami siri Zia itu mengerjap. Ucapan Zia kembali membuatnya terkejut. Mengapa istrinya jadi blak-blakan sekarang? "Zia, apa yang kamu katakan?" Azka bertanya dengan hati-hati, mencoba meredakan ketegangan di sekitarnya, dan Zia. "Apa masih kurang jelas, Mas?" kata Zia dengan agak kesal. "Aku nggak bolehin kamu pergi malam ini. Dan aku juga menawarkan
Setelah makan malam, Azka dan Sheila duduk di ruang tamu untuk berbincang. Tentu saja itu pun karena disuruh oleh sang eyang. "Bagaimana masakanku tadi, Kak Azka? Suka nggak?" tanya Sheila sambil tersenyum ramah. Ia duduk di sofa bersebelahan dengan Azka. "Suka. Rasanya sangat enak. Terima kasih telah repot-repot memasaknya, Sheila," jawab Azka. Sheila tampak senang mendengar jawaban Azka. Ia kemudian mulai bercerita tentang bagaimana selama ia mempersiapkan makan malam itu bersama sang eyang. Sebaliknya, Azka justru tak fokus mendengar celotehan Sheila. Hati, dan pikirannya tertuju pada Zia, terlebih mengingat tingkah, dan ucapan Zia tadi yang mengajaknya berhubungan suami istri. "Aku harap kita bisa lebih dekat setelah ini, Kak Azka," ucap Sheila seraya menyentuh lengan Azka, yang sontak membuat Azka terkejut. Azka menolak sentuhan itu, dan sadar dari lamunannya. "Ya." Hanya itu yang keluar dari mulut Azka, tetapi Sheila justru kembali tersenyum senang. Sheila kini mulai bert
Belum menyingkir dari dekat Zia, eyangnya Azka tiba-tiba melihat Azka, dan Sheila dengan tatapan bahagia, lalu tanpa diduga, eyangnya Azka setengah berteriak. "Azka, Sheila." Eyangnya Azka melambaikan tangan. Hal itu membuat Zia sontak melebarkan matanya, dan tanpa sengaja tatapannya dan tatapan Azka bertemu. Azka tak menyangka bahwa ia akan melihat Zia di sini, dan yang lebih mengejutkan adalah saat ini Zia berada di dekat sang eyang. Mungkinkah istri sirinya itu, dan sang eyang sudah saling mengenal sekarang? Atau mungkin bisa saja Zia nekat mendatangi sang eyang dan mengatakan semua rahasia pernikahan siri mereka karena Zia sakit hati dengannya tadi malam. "Kak, itu ada eyang di sana," kata Sheila seraya menyentuh lengan Azka, dan itu tak luput dari pandangan Zia. "Ayo kita samperin." Anehnya, Azka hanya pasrah saat Sheila menyeretnya menghampiri sang eyang. Tatapan Azka masih tertuju pada Zia. Merasa Azka akan mendatangi tempatnya saat ini, Zia pun buru-buru pergi. Namun sebe
Rutinitas baru Zia setiap pagi adalah berangkat ke kantor. Meski masih gondok dengan Azka, terlebih terkait pembicaraan semalam yang belum menemui titik terang, tetapi hidup harus tetap berjalan. Zia tak mau membuang-buang waktu meratapi nasibnya yang seperti tak diinginkan oleh suaminya sendiri. "Kamu mau ke mana?" Azka yang baru selesai menyeduh teh, mengernyit heran ketika melihat Zia yang sudah rapi, padahal waktu masih menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Zia menatap suaminya sebentar, lalu kembali membuang muka. Merasa heran kenapa pagi ini harus bertemu dengannya. Ia pikir semalam Azka pergi ke rumah eyangnya lagi seperti dua malam sebelumnya. "Aku mau berangkat kerja. Ini hari keduaku di kantor baru," jawab Zia. Ia kini mengambil roti yang sudah terhidang di meja makan. Tebakannya pasti Azka yang menyiapkan ini. "Oh ya? Jadi kamu sudah bekerja sekarang? Saya pikir kamu baru mau mulai mencari pekerjaan," ujar Azka. "Sudah dari beberapa hari yang lalu aku mengirim
Zia tak pernah menyangka sebelumnya bahwa CEO di tempatnya bekerja adalah Azka, suaminya sendiri. Entah permainan takdir seperti apa lagi yang harus ia jalani. "Woi, bengong aja kamu ini semenjak pak CEO keluar dari divisi kita. Kenapa? Naksir ya sama pak CEO?" ledek Lisa seraya menepuk pundak Zia. Zia menoleh ke arah Lisa, lalu berkata. "Kamu tau di mana ruangan pak CEO, Lis?" "Weh, selow, Zia, selow! Naksir sama pak CEO sih boleh-boleh aja, tapi jangan langsung ugal-ugalan gini dong, pake nanyain ruangannya segala," balas Lisa. "Mau apa emang ke sana? Karyawan biasa kayak kita, jarang dapat akses bisa ke ruangan CEO." "Aku nggak naksir dia, Lis," elak Zia, sedikit berdusta, meski sebenarnya ia sudah naksir Azka bahkan setelah tahu dirinya dijebak di kamar hotel yang sama dengan laki-laki itu. "Ada yang mau aku sampein ke dia. Ini penting." "Nyampein soal apa? Kamu udah pernah kenal sebelumnya sama pak CEO?" Lisa menatap Zia penuh selidik. Zia buru-buru menaruh jari telunjuknya
"Zia, bangun! Sudah subuh, ayo sholat." Azka mengguncang-guncang tubuh Zia. "Nanti," jawab Zia dengan suara serak, dan mata yang masih tertutup. Tubuhnya merasa lelah, dan sakit karena kejadian semalam. Sementara itu, Azka tersenyum dengan reaksi Zia yang menurutnya sangat menggemaskan. Terlebih saat Azka kembali mengingat apa yang sudah ia, dan Zia lakukan sebelum tidur. Ya, setelah menggoda Zia di depan televisi tadi malam, Azka lalu membopong istrinya itu ke kamar, lalu mereka menghabiskan malam-malam panjang di ranjang yang sama. Kamar ini adalah saksi percintaan pertama mereka yang cukup panas. "Baiklah, kalau begitu, saya akan mandi dulu. Setelah selesai, giliran kamu yang mandi," ucap Azka. "Hmm." Hanya itu balasan Zia, tapi mampu membuat Azka kembali tersenyum. Suami Zia itu kemudian menuju ke kamar mandi yang berada di dalam kamar mereka untuk melakukan mandi wajib sebelum melaksanakan sholat subuh. Sedangkan Zia, setelah ia mendengar derap langkah Azka yang semakin