Dipta tahu jika Ela tidak nyaman duduk di sampingnya dalam sebuah ruko tiga lantai yang di bagian depannya tertulis sebagai toko elektronik dan reparasi barang. Mereka saat ini berada di lantai tiga dengan interior seadanya serta asap rokok yang masih membumbung tinggi meskipun Dipta memaksa anak buah papanya untuk membuka jendela ruko agar terjadi pergantian udara.
“Seharusnya aku nggak menuruti keinginanmu untuk ikut ke sini, Ela.” Dipta berbisik di telinga Ela.
Dia menyesal mengikuti keinginan tuan putri yang justru mengkhawatirkan dapat membahayakan Ela.
“Nasi sudah menjadi bubur, uhuk-uhuk–” balas Ela sambil terbatuk-batuk.
Dengan susah payah gadis itu mengibaskan asap yang lewat di depan mukanya dengan kedua tangannya. “Duh untung aja ak
“Jangan kebanyakan omong, keluar aja sekarang.” Perintah papanya sambil menatap tajam ketiga anak buahnya yang Dipta terka masih berada di level terbawah.Tidak ada inner circle papa yang sebegitu bodohnya tak bisa menebak suasana hati bosnya seperti cecunguk ini. Dengan patuh ketiga orang tersebut akhirnya mengikuti perintah papa dan hanya menyisakan empat orang saja di dalam ruangan ini.“Sorry, Jaka nggak bisa cabut. Dia harus tetap berada di sisi saya. Kamu ingat Jaka, bukan?” Papanya menunjuk satu orang yang tetap berada di belakang papa tanpa bicara satu patah kata pun.Dipta melirik ke arah pria d
ELA“Mas Dipta,” tegur Ela saat mereka sudah memasuki gerbang perumahan Dipta. Suasana di dalam mobil pun tak kondusif selepas mereka berbicara dengan Jeremy Rustam. Sepertinya Dipta menyimpan segudang kemarahan yang butuh pelampiasan. “Nggak sekarang, Ela. Please biarin aku menenangkan diri dulu.” Hanya itu jawaban Dipta. “Tapi aku mau ikut–” Ela tak ingin membiarkan Dipta sendirian dalam kekalutannya. “Aku mau sendirian dulu,” ulangnya sekali lagi. Ela kembali terdiam mendengar penolakan Dipta. “Kamu nggak nyaman sama aku?” tanya Ela dengan hati-hati. Sudut hatinya berdenyut, takut jika Dipta menjawab iya. Pikirannya sudah melayang ke mana-mana. Dia tahu selama ini dialah yang membutuhkan Dipta, bukan sebaliknya. Tapi jika Dipta melisankannya entah bagaimana Ela menerimanya–“Bukan, tapi aku yang lagi nggak bisa sama siapa-siapa dulu, please–” Namun sanggahan Dipta membuat hatinya sedikit lega, meskipun hatinya tetap berdenyut sakit. Apa karena dia ikut merasakan kesedihan ya
Kepala Mas Dipta langsung tersentak tatkala mendengar ucapannya barusan.“Apa kamu bilang?” Dipta mengernyitkan dahinya sesaat setelah mendengar ucapan paranoid Ela yang spontan keluar begitu saja.“Apa kita harus membatalkan pernikahan ini? Rasanya nggak adil kalau aku membuat dirimu jadi kayak begini–” Ela kembali mengulang ucapannya.Menegaskan kembali ketakutannya karena pernyataan Dipta yang multi tafsir.“Jangan bicara yang aneh-aneh, Ela.” Dipta menepisnya dengan cepat.Dipta menghembuskan napasnya. Tak berapa lama pria di sampingnya itu akhirnya menarik tangan Ela dan mengecup punggung tangannya. Setelah puas melakukan itu, kini Dipta memainkan je
Ela memandangi layar Macbook-nya dengan tatapan kosong. Dia tak tahu apakah resume terbarunya cukup menarik untuk disebar ke berbagai portal kerja, mengingat pengalaman kerjanya yang minim. Dia hanya bekerja selama kurang dari dua tahun setelah lulus itu pun dengan posisi yang tidak terlalu signifikan. Hanya sebagai staf humas sebelum dimutasi ke bagian digital marketing perusahaannya. Sebenarnya ini sudah genap hampir dua bulan dia menganggur sejak resign dengan alasan mempersiapkan pernikahan dengan mantan kurang ajarnya–Dhanu. Sebulan sebelumnya Ela merasa begitu senang karena dia tak perlu lagi pusing menghadapi rentetan omelan atasannya atau sikap pasif agresif rekan kerjanya yang memandang Ela setengah iri setengah dengki dan lebih banyak julidnya. Bahkan waktu itu ketika Dhanu bilang jika kelak Ela menjadi istrinya, maka Ela harus siap menjadi stay at home wife and mother untuk anak mereka kelak. Awalnya Ela menyetujuinya dengan senang hati. Well, siapa sih yang tidak su
“Kita coba aja dulu, ya? Kamu kenal dengan dengan Ibu Dewi Sastrowilogo? Nah sekarang dia yang pegang Yayasan Seni Sastrowilogo Foundation. Nanti aku coba bicarakan sama beliau, sekaligus kita atur lunch atau dinner kali ya, biar kamu bisa ngobrol sama Ibu Dewi?” Kini Rengganis membawa nama baru yang membuat Ela lebih aware dengan hubungan Rengganis dengan keluarga konglomerat Sastrowilogo. “Oh, aku kenal sama Ibu Dewi.” Ela mengangguk singkat. Dia tahu siapa Ibu Dewi Sastrowilogo. Beliau adalah istri dari Jaya Krisna Sastrowilogo. Salah satu putra dari punggawa Abisena Sastrowilogo, tokoh sentral yang membuat korporasi Sastrowilogo berkembang pesat sejak 40 tahun terakhir di bawah kepemimpinannya yang kini diteruskan kepada empat putranya. Duh–tapi sepertinya ibunya ada sedikit beef dengan beliau perkara ibunya tak diundang di acara soiree Ibu Dewi dalam rangka charity hari kanker sedunia beberapa bulan lalu di kediaman Ibu Dewi. Ela menggigit bibir bawahnya, bimbang dengan
DIPTA“Ayahmu Jeremy Rustam? Sungguh?” tanya Hendra tak percaya setelah menyelesaikan pesanannya sparkling water tiba diantarkan oleh waitress The Cafe di Hotel Mulia siang ini. Dipta menganggukkan kepalanya singkat tatkala mendengar pertanyaan yang sama kembali diulang oleh Hendra Dharmawan di hadapannya saat ini. Hendra tertawa lepas mendengar pengakuan Dipta. “Saya nggak menyangka, anak buah yang biasa ngawal saya ternyata anaknya Jeremy Rustam. Seharusnya saya langsung ngeh waktu melihat cv dan nama belakangmu.” Hendra Dharmawan kembali mengangguk-anggukkan kepalanya puas. “Kenapa baru bicara sekarang, huh? Kamu pikir dengan memberikan nama papamu maka saya akan terbuka dan setuju dengan rencana pernikahan gila kalian, begitu?” Jelas sekali nada angkuh yang dilontarkan oleh papanya Ela. Dipta tetap tenang dalam mengutarakan tujuannya, dan tidak terprovokasi oleh seragan yang dilancarkan pria di hadapannya. “Saya akan datang bersama orang tua saya untuk melamar Elaina secepat
Dua puluh tahun yang lalu, ketika Dipta menjejakkan kaki pertama kali di gedung perkantoran ini–suasananya tak seperti sekarang. Gedung perkantoran ini dahulu dimiliki oleh salah satu taipan ibukota dan papanya membeli satu unit gedung kantor yang luasnya paling kecil. Itu adalah suatu peningkatan setelah sebelumnya kantor ormas mereka berada di rumah, kemudian berpindah ke ruko, lalu berlanjut melebarkan sayap dengan membuat korporasi yang menggerakkan bisnis tambang dan sawit yang tersebar di pulau Kalimantan dan Sumatera. Kini gedung ini sudah berganti wajah. Rustam Group saat ini memiliki seluruh gedung dan menghancurkan gedung lama untuk diganti menjadi gedung lima puluh lima lantai yang modern dan premium dengan tingkat okupansi hampir mencapai 90%. Dipta menukar ktp-nya dengan id card gedung, dan ketika dia mengatakan kalau dia ingin berkunjung ke lantai lima puluh, seketika resepsionis gedung menghubungi seseorang lewat panggilan telepon dan meminta Dipta untuk menunggu s
Dipta tidak ingat secara pasti kapan terakhir kali dia melihat sosok kakaknya–Hakim Adrian Rustam. Mungkin ketika Dipta pertama kali bekerja sebagai pengawal di umur dua puluh tiga tahun. Ketika dia mengawal seorang putra politisi ke sebuah kelab malam yang merupakan salah satu kekuasaan ormas papanya. Pertama kali mereka bertemu saat itu, tak ada tukar sapa apalagi tukar senyum dan menanyakan keadaan masing-masing. Baik dirinya maupun Hakim berlagak seperti tak mengenal satu sama lain. Semua berlalu begitu saja seakan tak ada darah seorang Jeremy Rustam yang mengalir dalam tubuh mereka berdua. “Duduk,” perintah Bang Hakim sambil menunjuk satu kursi yang terletak di seberang posisi duduknya. “Apa kabar, Bang?” tanya Dipta basa-basi. Tentu saja pertanyaan ini hanyalah retorika. Dia tak terlalu peduli dengan keadaan Bang Hakim sekarang. “Still arrogant as usual, huh?” tambalnya sambil tersenyum mengejek. “Dan lo masih saja bodoh seperti biasa, Dipta.” Bang Hakim membalas ejekannya