VIOLA“Nda, Ayah sama Yanda ke mana sih? Kok lama banget dari tadi nggak pulang-pulang?” Lakeizia mulai resah ketika sudah berjam-jam berlalu namun Ben dan Kenzio masih belum kembali.“Mungkin sebentar lagi, kita tunggu aja ya,” jawabku sambil membelai kepala si gadis kecil. Dia sudah nggak sabar ingin quality time dengan ayahnya.“Nanti kita ke pantai sama Ayah dan Yanda ya, Nda?”“Om Zio nggak bisa, Nak. Om Zio lagi sibuk,” jawabku menolak keinginan Lakeizia.“Yaaa … kok gitu sih? Mana seru kalau nggak ada Yanda.” Lakeizia mengerucutkan mulutnya tidak terima.Aku membungkukkan badan. Menyejajarkan posisi tubuh dengannya. Lalu kuberi dia pengertian.“Dulu waktu kita tinggal di Batam nggak ada Om Zio, kita selalu pergi bertiga. Tapi tetap seru kan?”“Tapi waktu itu kita kan belum kenal sama Yanda, jadi mana bisa jalan sama-sama.”Aku salah jika berpikir Lakeizia akan berhenti mendebatku. Dia malah mengeluarkan argumen lain yang membuatku nggak habis pikir pada alur pikirannya. Yang di
KENZIOSetelah pembicaraan dengan Ben tadi aku pulang ke rumah. Ben juga pulang ke rumah Viola. Aku sengaja nggak mengekorinya karena semua sudah terungkap. Ben menyerahkan semua padaku untuk menyelesaikan masalah dengan Viola. Mengingat betapa keras hati Viola, aku yakin ini semua nggak akan mudah. Tapi untungnya aku memiliki banyak waktu di sini. Aku nggak menyesali keputusanku untuk tidak mengambil job dulu karena ternyata di balik keputusan-keputusan itu ada hikmah yang begitu besar.Tok ... tok ... tok ..."Zio!"Suara Rhiannon terdengar bersama ketukan di depan pintu. Ternyata dia sudah pulang dari Lombok."Masuk aja, Rhi, nggak dikunci."Pintu terbuka setelah aku menyahut.Rhiannon melangkah ke dalam lalu ikut naik ke tempat tidur dan berbaring di sebelahku."Duh, capek banget. Badan aku berasa mau rontok," keluhnya."Ya jangan sampai rontok dong. Kalo nggak punya badan gimana?""Zio, ah, becanda mulu. Ini beneran aku capeknya nggak main-main.""Ya udah, istirahat kalau gitu."
VIOLASudah kuduga sebelumnya. Berdua dengan Kenzio akan membuatku terjebak dalam momen ini. Kami harus membicarakan sesuatu yang selama ini sangat aku hindari. Dan dugaanku tadi bahwa Kenzio merencanakan semuanya dengan matang semakin mendekati nyata.“Aku mohon kamu jangan menghindar lagi, Vio. Sudah saatnya kita bicarakan masalah ini secara dewasa. Aku tau akulah yang salah dalam hal ini. Aku nggak akan menyangkal. Sepenuhnya ini memang salahku. Tapi tidakkah aku berhak atas kesempatan kedua?” Kenzio membicarakannya tanpa kata pembuka atau basa-basi. Dia sedikit pun nggak membahas mengenai sandiwara yang kulakukan. Seakan kejadian tadi pagi tentang aku yang mengakui Ben sebagai suami nggak pernah terjadi.“Sorry, Zio, seharusnya kamu nggak perlu meminta kesempatan apa pun padaku karena kesempataan itu mutlak punya kamu. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu membuangnya, kamu melempar kesempatan untuk bersamaku jauh-jauh. Kamu lebih memilih untuk bersama Clara. Jadi kesempatan apa lagi?
VIOLA Hujan yang turun rintik-rintik di luar sana meniupkan hawa dingin yang menelusup sampai ke tulang. Sesekali terdengar suara guruh yang seakan ingin membelah langit.Aku merapatkan selimut membentengi diri dari udara dingin yang membuat tubuhku menggigil. Di sebelahku Lakeizia sudah tertidur sejak berjam-jam yang lalu. Keasyikannya bermain di pantai tadi membuat anak itu lelah tapi bahagia. Sehingga setibanya di rumah kasur adalah hal pertama yang dicarinya.Sedangkan aku sampai jam segini sepicing pun belum bisa memejamkan mata. Bukan karena insomnia yang datang tiba-tiba, melainkan karena perasaan membuncah akibat terlalu bahagia. Semua beban berat yang selama ini menggayuti pundakku terangkat sudah. Yang tersisa hanya perasaan lega.Notifikasi dari ponsel yang kuletakkan di nakas menjadi bebunyian lain yang menyela suara hujan di luar sana. Bibirku otomatis melengkungkan senyum saat melihat nama ‘Yanda’ tertera di layar. Secepat itu aku mengganti namanya di daftar kontakku. S
KENZIO Semalam aku meninggalkan rumah Viola setelah dia tidur. Sebelum tertidur Viola memberitahu letak kunci cadangan rumahnya padaku sehingga aku bisa mengakses kapan pun aku mau. Lalu pagi ini aku sudah nggak tahan menyimpannya sendiri. Aku nggak mau membuang lebih banyak waktu. Aku nggak akan bisa tenang sebelum menyampaikan pada Papa dan Ayang mengenai Viola dan Lakeizia."Zio, kenapa sih dari tadi duduknya gelisah? Nggak enak masakan aku?" tegur Rhiannon yang duduk di sebelahku, berhadapan dengan Papa dan Ayang. Saat ini kami sedang sarapan pagi."Enak banget," jawabku. "Masih ada lagi nggak?" Pagi ini Rhiannon menyediakan egg muffin untuk kami."Ada tuh di belakang. Mau nambah? Itu kan belum habis." Dia melirik piringku, heran."Bukan untuk aku sih, tapi buat Kei.""Lakeizia?"Aku memberi jawaban anggukan kepala lalu bangkit dari tempat duduk. Seluruh mata tertuju padaku saat aku menyuruh ART kami mengantar dua porsi egg muffin ke rumah sebelah."Yang, Zio kenapa sih perhatian
KENZIO Sudah sejak tadi aku duduk sendiri di tempat menunggu para siswa di sekolah Lakeizia. Anak itu nggak tahu kalau aku akan datang. Dia pikir hari ini akan pulang dengan mobil antar jemput seperti dulu.Lalu saat jam sekolah berakhir dan melihatku berada beberapa meter di depannya Lakeizia berlari ke arahku sambil berteriak girang."Yandaaaa!"Bangkit dari tempat duduk, aku menyusulnya lalu membawa tubuh mungil itu ke dalam gendongan."Yanda kenapa ke sini?" tanyanya setelah kukecup pipinya."Memang nggak boleh Yanda ke sini?""Ih, bukan begitu, tapi Yanda kok nggak bilang dulu mau ke sini?""Tadi Yanda mau bilang tapi Kei udah keburu pergi."Tadi pagi memang bukan aku yang mengantar Lakeizia ke sekolah seperti hari-hari sebelumnya. Tadi pagi aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk berterus terang pada orang tuaku dan mengatakan rencanaku untuk menikahi Viola pada mereka."Kita ke mana dulu, Nak?" tanyaku pada Lakeizia setelah kami berada di mobil."Hmm ... ke mana ya?" Lakeizia
VIOLAAku sedang bersiap-siap. Malam ini Kenzio mengajakku makan malam bersama keluarganya. Sekaligus untuk membicarakan kelanjutan hubungan kami. Hampir setiap hari aku bertemu dengan Om Kevin dan Tante Zeline, namun malam ini debar jantungku begitu menggila."Kei, gimana baju Bunda? Bunda cocok nggak pake baju ini?" Aku meminta pendapat pada Lakeizia mengenai dress biru yang panjangnya di bawah lutut yang membalut tubuhku."Bunda cantik banget pake baju itu.""Beneran?""Beneran, Nda. Yanda pasti makin cinta sama Bunda.""Hei, Kei, siapa yang ngajarin ngomong begitu?" Aku terkejut mendengarnya. Ini untuk pertama kali Lakeizia mengucapkan kata itu. Malah aku nggak yakin dia mengerti apa artinya.Bukan menjawab Lakeizia malah terkikik geli."Kei, jawab Bunda, Nak, siapa yang ngajarin Kei ngomong begitu?" Aku menagih jawaban.Lakeizia berlari keluar kamar. Aku mengikutinya. Lalu saat tiba di depan kami disambut oleh suara bel."Yanda datang!" Lakeizia berseru ketika membuka pintu dan m
KENZIOTidak butuh waktu lama bagiku untuk membawa Viola ke pelaminan. Seminggu setelah aku melamarnya, kami direncanakan menikah. Seminggu dari saat itu berarti besok pagi.Setelah berdiskusi dengan Viola dan rembukan dengan keluarga, kami sepakat untuk menyelenggarakannya secara sederhana, dalam artian pernikahan tersebut digelar tidak berlebihan. Acara tersebut berkonsep intimate wedding. Kami hanya mengundang keluarga serta beberapa orang teman dekat.Seluruh keluarga dan sepupuku yang menetap di Indonesia seperti Bjorka dan Arimbi sudah berkumpul di rumah. Sedangkan Fai dan Cleo terpaksa tidak dapat menghadirinya karena saat ini istri Fai sedang hamil tua.Berhubung aku adalah orang Jawa maka aku menjalani tradisi pingitan. Tadinya aku nggak mau, tapi Oma ngotot. Dia bilang kapan lagi melaksanakan tradisi tersebut? Dulu saat Ayang menikah dengan Papa juga tidak ada. Masalahnya Ayang dan Papa kawin lari karena hubungan keduanya tidak direstui oleh orang tua masing-masing. “Nggak