Otakku mulai berpikir. Aku rasa, membuat Dion jatuh cinta denganku maka akan lebih memudahkan aku dalam menggali informasi darinya."Dion, apa kamu benar sudah punya pacar?" tanyaku sembari bergelayut manja di lehernya, aku yakin Dion pasti akan mengira aku sudah mabuk."Nona ... to ... tolong jangan seperti ini," ucap Dion seraya berusaha melepas tanganku dari lehernya."Kenapa, Dion? Apa karena aku sudah tua, jadi kamu tidak tertarik denganku?" tanyaku dengan tatapan nakal dan berakting layaknya orang mabuk."Bukan begitu, Nona Riana. Saya ... saya takut khilaf."Aku pun terkekeh. Lucu sekali lelaki muda ini. Dia sangat berbeda dengan Reza. Jika Reza, dia sangat menantang dan justru mengganas saat hendak melahap kenikmatan bersamaku. Beruntung saja waktu itu aku segera tersadar, sehingga selamat kesucianku.Sejenak aku menatap wajah Dion, lelaki yang sebenarnya cukup manis jika dipandang. Yang aku suka darinya adalah sikap lugu, bahkan di hadapanku saja dia sudah gugup."Dion, apa k
Udara pagi di Puncak benar-benar menggigit tulang. Sinar mentari masih malu-malu untuk menerobos awan, sehingga menyisakan hawa dingin yang tak kunjung usai. Aku pun semakin merapatkan selimut.Namun, ketika hendak memejamkan mata kembali, ingatanku langsung ke Dion. Aku mendengkus, kemudian menggeliatkan badan. Rasanya sangat malas untuk bangkit dari tempat tidur.Segera aku raih ponsel, kemudian menekan tombol panggilan ke nomor kontak Dion. Namun, panggilan urung karena terdengar suara ketukan di pintu."Nona, apakah hari ini Nona tidak ingin pergi ke kantor atau kembali ke rumah?" tanya Dion setelah mengetuk pintu.Aku masih terdiam tak menyahut.Terdengar kembali ketukan pintu hingga beberapa kali dengan diiringi panggilan. "Nona Riana ... bangun, Nona."Kembali aku mendengkus kesal. Entah mengapa aku merasa Dion berusaha sedang membujukku agar mau pulang."Masuklah!" perintahku seraya menarik selimut hingga menutupi wajah.Terdengar suara pintu dibuka, tetapi aku memilih tetap m
Tiga hari sudah aku di villa bersama Dion. Akhirnya aku bisa meluluhkan kerasnya prinsip dia, bahkan dia bersedia menikah denganku. Rencananya, sore ini aku akan membawa Dion ke rumah dan mengenalkan pada orang tua.Semua resiko atas keputusanku sudah aku perkirakan, dan aku siap menerima semua konsekuensinya. Jika Papa dan Mama saja tidak peduli atas masalahku, lalu untuk apa aku harus peduli dengan mereka?Perjodohan bukan lagi masanya. Ini bukan jaman Siti Nurbaya, tidak ada yang namanya menikah dijodohkan dengan alasan apapun, kecuali untuk political marriage atau tujuan tertentu.Dion mengemudikan mobil Ferarri kuning milikku. Sepanjang perjalanan, senyum lelaki muda itu terus mengembang. Sesekali mengelus pipiku, kemudian menarik kepalaku agar bersandar di bahunya. Rasa canggung sudah tak ada lagi, dia lebih bisa menunjukkan ekspresi rasa sayangnya terhadapku."Sayang, apa kamu yakin dengan hubungan kita?" tanya Dion seraya mengecup puncak kepalaku, kemudian fokus kembali ke jal
Pandanganku tertuju pada wajah Raka yang berubah panik. Begitu pun saat aku menoleh ke arah Papa, tatapan Papa penuh arti ke arah Raka. Sepertinya ada yang mereka sembunyikan dariku selama ini. Huff ... persekongkolan macam apa ini?"Apa maksud kamu, Dion? Jangan coba-coba fitnah saya ya!" bentak Raka dengan emosi."Saya sudah lelah dengan permainan Anda, Pak Raka. Lagipula, kasian Nona Riana. Dia harus menikah dengan lelaki yang tidak dia cintai," tutur Dion seraya merengkuh bahuku.Tangan Dion meremas bahuku, ada getaran dalam suaranya. Aku yakin, saat ini dia sedang mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Raka. Mantan bos-nya itu sudah pasti memiliki power untuk menghancurkan dia, tetapi saat ini dia memilih untuk melawan.Sesuatu hal yang sungguh mengejutkan, karena selama ini banyak orang yang tak berani pada Raka. Pebisnis sukses itu merupakan pemasok bahan baku berkualitas terbesar di negeri ini, jelas akan berpengaruh pada pasokan bahan baku ke perusahaan mereka.Orang berpe
Sorot mata Raka penuh kemarahan. Mungkin saja, sebelumnya dia juga tidak menyangka kalau Dion mampu bersikap membangkang padanya. Apalagi saat ini, Dion seolah ingin menghancurkan posisinya di hadapan seorang Mariana Leurissa."Dion, kamu tahu akibat setiap ucapanmu? Sekali saja kamu menjatuhkan harga diri seorang Raka Putra Prawira, maka masa depanmu akan hancur!""Lihatlah, Nona Riana. Dia kembali mengancam," Dion sangat pandai memanfaatkan situasi.Melihat perseteruan itu, membuatku semakin yakin bahwa ada keterlibatan Dion dalam membocorkan informasi. Di saat serius berpikir, tiba-tiba Papa menengahi."Sudahlah, Anak muda. Aku sudah tahu maksud kamu," ucap Papa dengan nada tenang, tidak seperti tadi."Ayo kita duduk dulu! Biar Riana tidak bingung, biar aku yang jelaskan semuanya." Pandanganku terfokus pada wajah Papa yang bersikap seolah tak ada masalah. Aneh, apa jangan-jangan Papa yang telah mengatur ini semua? Jika benar Papa dalang dari semua kericuhan hidupku, maka tak dirag
Sudah satu minggu aku pergi dari rumah. Hubungan antara aku dengan semua keluarga semakin meregang. Tak ada komunikasi lagi, bahkan Mama ataupun kedua adikku juga tak ada usaha untuk menghubungiku.Kurasa mereka memang benar-benar sudah kecewa dengan sikapku. Aku sendiri memutuskan pergi dari rumah demi kewarasan mental. Jika aku tetap di sana, maka bisa dipastikan akan semakin panjang urusan.Kepergianku bukan karena membenci sosok ayah yang selalu mengatur, melainkan aku ingin menjalani kehidupanku tanpa harus diatur. Di sini, di kantor ini ... fokusku hanya tertuju pada urusan bisnis perusahaan. Tak ada lagi pikiran tentang cinta, bahkan aku sudah mulai lupa dengan rencana menikahi Dion.Bicara tentang Dion, dia tetap kuberi pekerjaan sesuai keahliannya. Dia mengelola perencanaan advertising untuk setiap produk yang diluncurkan. Beberapa kali terlibat dalam project dan membuatku sering melihatnya.Sebenarnya Dion adalah orang yang berbakat. Dia juga pekerja keras dan memiliki kreat
Bella menghentakkan kaki dengan sangat kesal. Sorot mata kebencian jelas tersirat, apalagi saat ini situasinya berbalik. "Ka ... kau ....""Kenapa, Nona?" tanyaku seraya mengulas senyum dan mendekatinya.Sengaja aku singkirkan anak rambut yang menutupi pipinya, tetapi dengan cepat tangannya menepis. Secepat mungkin aku hindari kibasan tangan Bella, kemudian terkekeh untuk mengejeknya."Anda menyebutku sebagai Nyonya Merry Usbad tanpa memberikan bukti. Bagaimana orang akan percaya? Pastinya, mereka ini bukanlah orang bodoh, Nona Bella. Mereka bisa menilai, mana mungkin seorang Mariana Leurissa berubah menjadi Merry Usbad untuk membeli suami orang?"Sengaja aku memainkan kata agar mereka yang berkerumun mengubah asumsi. Yupz! Sesuai dengan keinginanku, semua mata menatap ke arah Bella. Mereka mencibir habis-habisan kepada wanita itu."Apa menurut kalian, pemilik Leurissa Skincare tidak menarik untuk pria? Coba perhatikan tubuhku, wajahku ... apa aku perlu merebut suami orang untuk mend
Raka sengaja membuatku malu dan terpojok. Dapat aku baca dari pikirannya, dia sepertinya menaruh dendam besar terhadap apa yang sudah aku lakukan. Penolakan terbesar dan paling mengecewakan, bahkan berujung terusirnya aku dari rumah."Sudah cukup, Raka! Aku tahu kamu sakit hati, dan aku ingin melupakan apa yang telah terjadi. Mulai sekarang, anggap kita tak pernah saling kenal!" ucapku dengan tegas.Rosa menarik lenganku. "Riana, bagaimana dengan pasokan bahan baku nantinya?" ucapnya setengah berbisik.Sejenak aku membeku. Mencoba berpikir, bagaimana ke depannya aku akan mendapatkan pasokan bahan baku berkualitas? Aku menatap Raka, membuat dia memgernyitkan dahi. "Kenapa? Mencoba berpikir ulang?" tanya Raka dengan senyum meledek."Nona Leurissa, sebaiknya Anda berpikir dengan baik. Tidak akan ada hal baik yang datang, jika Anda hanya menurutkan emosi semata. Bagaimana kalau kita masuk ke restaurant Bella, kita bicara sambil menikmati menu sajian di sana."Sejenak aku berpikir. Ada ba