***"Ini susunya Mbak.""Oke, makasih ya Mbak Rania.""Sama-sama, saya ke depan dulu ya.""Siap."Minggu pagi Aludra sudah duduk manis di kursi yang berada persis di pinggir kolam renang setelah sebelumnya selesai membereskn kamar juga mandi.Aludra siap sarapan. Namun, dia harus menunggu Arka yang beberapa menit lalu pergi ke rumah Aksa untuk menemui Amanda karena memang pagi sekali, Amanda berpamitan untuk sarapan di rumah si anak sulung."Mas," panggil Aludra ketika melihat Arka menghampirinya."Lu."Arka menarik kursi lalu duduk di depan Aludra dengan wajah yang sedikit murung dan tentunya semua itu cukup disadari oleh Aludra."Kamu kenapa?""Enggak apa-apa," ucap Arka."Bohong banget," celetuk Aludra tak percaya. "Enggak kenapa-kenapa, tapi mukanya ditekuk gitu."Arka menghela napas pelan lalu meneguk susu miliknya sebelum akhirnya memandang Aludra. Haruskah dia katakan semuanya pada Aludra? Haruskah dia bilang jika sampai saat ini Amanda masih marah setelah tahu dia dan sang istr
***"Mas Arka kenapa belum pulang ya."Aludra yang tiduran di sofa ruang tengah sambil menonton televisi, beberapa kali mengalihkan pandangannya ke arah ruang tamu ketika kini—tepat ketika jam dinding yang berada di ruanh tengah sudah menunjukkan pukul tujuh malam.Hari minggu yang seharusnya dihabiskan bersama, kacau. Setelah debat tadi pagi saat sarapan lalu pergi, Arka belum kembali sampai sekarang dan tentu saja semua itu membuat Aludra khawatir.Dia tak tahu Arka di mana sekarang, karena setiap kali dihubungi, Arka menolak panggilannya.Semarah itu Arka pada Aludra sampai menolak panggilan? Tentu saja. Bagi laki-laki setia seperi Arka, diminta menikah lagi memang seperti sebuah penghinaan, terlebih lagi tadi pagi Aludra mengucapkannya dengan santai—seolah menikah lagi bukanlah perkara yang sulit."Mbak Lula belum makan malam? Saya udah masak lho."Alula menoleh ketika suara Rania terdengar dari arah dapur. "Eh Mbak Rania," ucapnya. "Belum Mbak, belum lapar. Mau nunggu Mas Arka pu
***Pagi ini Arka bangun tanpa membangunkan Aludra, karena memang sejak semalam dia sudah berniat untuk mendiamkan Aludra untuk beberapa saat.Bukan apa-apa, Arka hanya ingin Aludra merenungi kesalahannya. Dia hanya ingin Aludra menyadari jika ucapannya kemarin sudah sangat keterlaluan dan membuatnya marah—bahkan sangat marah."Lho, Pak Arka udah siap?" tanya Rania ketika dia bertemu Arka—tepat saat Arka baru saja keluar dari kamar dengan setelan kantornya yang rapi.Ini baru pukul enam pagi, tapi Arka sudah siap ke kantor karena memang dia akan pergi sebelum Aludra bangun dan Aludra biasanya bangun pukul enam lebih sepuluh. Sebenarnya Aludra sudah bangun pukul setengah lima pagi tadi untuk menunaikan kewajibannya. Namun, setelah itu Aludra selalu tidur lagi."Udah," jawab Arka singkat.Dua minggu lebih Rania bekerja menjadi asisten rumah tangga, sikap Arka masih tetap sama—dingin. Terlebih lagi itu di belakang Aludra, karena memang sampai detik ini dia belum bisa percaya jika Rania a
***"Mas Arka udah makan siang belum ya."Aludra yang sejak tadi duduk di kursi balkon samping rumah, lantas menutup novel yang sedang dia baca ketika pikirannya tertuju pada Arka.Sejak tadi pagi, jujur saja dia khawatir—apalagi setelah tahu Arka tak enak badan, tapi apa boleh buat. Beberapa pesan yang dia kirim pun hanya dibaca saja tanpa dibalas oleh pria itu.Ternyata begini rasanya didiamkan seorang suami. Tak nyaman. Arka yang biasanya selalu bersikap sabar—sekalipun Aludra menyebalkan, kali ini sepertinya memang benar-benar marah.Selama sebulan lebih hidup berdua bersama Arka, ini kali pertama Aludra didiamkan seperti ini dan ini kali pertama pula Arka bersikap begitu dingin, karena biasanya semarah apapun Arka, dia memilih untuk mengomeli Aludra secara langsung."Ih enggak dibalas," gumam Aludra saat dia melihat pesan terakhir yang dikirimkan pada Ark statusnya masih centang biru. Dibaca, tapi tidak dibalas.Aludra menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia menatap langit-langit u
***"Jadi sekarang gimana?"Rania yang tengah duduk santai di kursi yang berada di balkon apartemennya lantas menaikkan sebelah alis—menatap penuh tanya wajah Raina yang berada di layar laptopnya.Izin pada Aludra untuk menemui seseorang, Rania nyatanya pulang ke apartemen untuk sekadar beristirahat. Menjadi asisten rumah tangga selama dua minggu di rumah Aludra dan Arka ternyata membuat Rania lelah.Ingin mengistirahatkan tubuhnya, dia memilih untuk bersantai di apartemen—setidaknya sampai sore nanti, dan waktu beristirahatnya sekarang dia pakai untuk menelepon Raina—sang adik yang masih sibuk dengan studynya di Korea selatan."Apanya yang gimana?" tanya Rania."Ya perkembangan rencana Kakak, gimana?" tanya Raina. "Udah berhasil lakuin apa aja sama si Alula itu? Jangan bilang belum apa-apa ya. Ini udah dua minggu sejak kakak diterima kerja di sana. Ya kali belum ngapa-ngapain."Tak langsung menjawab pertanyaan sang adik, Rania mengambil cup coffee dari atas meja dengan label brand te
***"Gimana dokter?""Demam biasa, Bu. Kelelahan dan sedikit stress sepertinya. Minum obat penurun panas, istirahat yang cukup, merileksasikan pikiran, Mas Arka pasti cepat sembuh seperti biasa.""Oh baik terima kasih dokter."Bukan Aludra, yang baru saja bertanya pada dokter Giza adalah Amanda yang datang dua puluh menit lalu. Menjadi ibu yang sigap sejak dulu, Amanda tentu saja panik dan langsung datang setelah mendapat kabar dari Dirga tentang Arka yang pingsan di kantor."Sama-sama Bu, kalau begitu ini resep obatnya ya, bisa ditebus di apotek terdekat," kata dokter Giza sambil memberikan selembar note kecil yag tulisannya sangat sulit dimengerti orang awam."Terima kasih dokter Giza," kata Amanda untuk yang kedua kalinya. Seolah mengambil alih, Amanda memang berdiri persis di samping dokter Giza, sementara Aludra duduk di ujung kasur."Sama-sama Bu Amanda," kata dokter Giza. Dia kemudian menoleh pada Arka yang masih bersandar pada tumpukkan bantal. "Cepat sembuh ya Mas Arka. Tolon
***Aludra pergi mengantar dokter Giza, Amanda melangkahkan kaki menuju kaca besar di kamar tersebut. Tanpa meminta izin, dia membuka kaca besar tersebut agar ada udara segar yang masuk."Ar, ini kaca kalau pagi suka dibuka enggak?" tanya Amanda setelah dia selesai membuka kaca tersebut.Arka yang masih meresapi pusingnya menoleh. "Enggak kayanya.""Kok enggak?" tanya Amanda sambil menatap kedua putranya dengan kedua alis yang bertaut. "Emang kamu enggak pernah lihat di rumah Aksa? Setiap pagi, Ananta selalu buka jendela sama kaca supaya masuk lho. Angin pagi kan bagus.""Iya nanti lagi dibuka," jawab Arka.Selesai membuka kaca dan membiarkan angin siang masuk, Amanda berjalan menghampiri sang putra lagi lalu duduk di bagian pinggir kasur—tepatnya di samping kaki Arka."Masih pusing?" tanya Amanda sambil memijat kedua kaki putranya itu, karena memang itulah yang sering dia lakukan ketika si bungsu sakit."Masih," jawab Arka."Jangan lama-lama sakitnya, mama suka enggak tenang kalau ka
***"Daritadi kok ngelamun terus Mbak, ada apa?"Aludra yang duduk di samping kiri Rania langsung menoleh dan mengukir senyum."Enggak apa-apa," jawab Aludra."Enggak apa-apa, tapi daritadi saya lihat Mbak Lula ngelamun," ucap Rania. "Cerita aja Mbak, kalau ada apa-apa. Saya siap dengerin kok.""Enggak Mbak Rania, aku enggak apa-apa."Rania menghela napas pelan. Sedang mengemudi, dia memilih fokus ke jalanan karena sekarang mercedes benz yang sedang dia kemudikan baru keluar dari gerbang komplek perumahan. Tak memakai Range Rover yang biasa dipakai Arka, Rania memang diminta memakai mobil sejenis sedan itu untuk mengantar Aludra ke apotek. Selain ukurannya yang lebih kecil, mobil pemberian Aksa itu juga lebih nyaman untuk perempuan."Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita Mbak, saya siap dengerin dan kasih solusi kalau bisa," ungkap Rania.Lebih tepatnya solusi buruk. Aludra punya masalah dengan Arka, Rania siap memberi solusi seburuk mungkin yang bisa memperkeruh suasana."Iya Mbak