***"Mas Arka udah makan siang belum ya."Aludra yang sejak tadi duduk di kursi balkon samping rumah, lantas menutup novel yang sedang dia baca ketika pikirannya tertuju pada Arka.Sejak tadi pagi, jujur saja dia khawatir—apalagi setelah tahu Arka tak enak badan, tapi apa boleh buat. Beberapa pesan yang dia kirim pun hanya dibaca saja tanpa dibalas oleh pria itu.Ternyata begini rasanya didiamkan seorang suami. Tak nyaman. Arka yang biasanya selalu bersikap sabar—sekalipun Aludra menyebalkan, kali ini sepertinya memang benar-benar marah.Selama sebulan lebih hidup berdua bersama Arka, ini kali pertama Aludra didiamkan seperti ini dan ini kali pertama pula Arka bersikap begitu dingin, karena biasanya semarah apapun Arka, dia memilih untuk mengomeli Aludra secara langsung."Ih enggak dibalas," gumam Aludra saat dia melihat pesan terakhir yang dikirimkan pada Ark statusnya masih centang biru. Dibaca, tapi tidak dibalas.Aludra menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia menatap langit-langit u
***"Jadi sekarang gimana?"Rania yang tengah duduk santai di kursi yang berada di balkon apartemennya lantas menaikkan sebelah alis—menatap penuh tanya wajah Raina yang berada di layar laptopnya.Izin pada Aludra untuk menemui seseorang, Rania nyatanya pulang ke apartemen untuk sekadar beristirahat. Menjadi asisten rumah tangga selama dua minggu di rumah Aludra dan Arka ternyata membuat Rania lelah.Ingin mengistirahatkan tubuhnya, dia memilih untuk bersantai di apartemen—setidaknya sampai sore nanti, dan waktu beristirahatnya sekarang dia pakai untuk menelepon Raina—sang adik yang masih sibuk dengan studynya di Korea selatan."Apanya yang gimana?" tanya Rania."Ya perkembangan rencana Kakak, gimana?" tanya Raina. "Udah berhasil lakuin apa aja sama si Alula itu? Jangan bilang belum apa-apa ya. Ini udah dua minggu sejak kakak diterima kerja di sana. Ya kali belum ngapa-ngapain."Tak langsung menjawab pertanyaan sang adik, Rania mengambil cup coffee dari atas meja dengan label brand te
***"Gimana dokter?""Demam biasa, Bu. Kelelahan dan sedikit stress sepertinya. Minum obat penurun panas, istirahat yang cukup, merileksasikan pikiran, Mas Arka pasti cepat sembuh seperti biasa.""Oh baik terima kasih dokter."Bukan Aludra, yang baru saja bertanya pada dokter Giza adalah Amanda yang datang dua puluh menit lalu. Menjadi ibu yang sigap sejak dulu, Amanda tentu saja panik dan langsung datang setelah mendapat kabar dari Dirga tentang Arka yang pingsan di kantor."Sama-sama Bu, kalau begitu ini resep obatnya ya, bisa ditebus di apotek terdekat," kata dokter Giza sambil memberikan selembar note kecil yag tulisannya sangat sulit dimengerti orang awam."Terima kasih dokter Giza," kata Amanda untuk yang kedua kalinya. Seolah mengambil alih, Amanda memang berdiri persis di samping dokter Giza, sementara Aludra duduk di ujung kasur."Sama-sama Bu Amanda," kata dokter Giza. Dia kemudian menoleh pada Arka yang masih bersandar pada tumpukkan bantal. "Cepat sembuh ya Mas Arka. Tolon
***Aludra pergi mengantar dokter Giza, Amanda melangkahkan kaki menuju kaca besar di kamar tersebut. Tanpa meminta izin, dia membuka kaca besar tersebut agar ada udara segar yang masuk."Ar, ini kaca kalau pagi suka dibuka enggak?" tanya Amanda setelah dia selesai membuka kaca tersebut.Arka yang masih meresapi pusingnya menoleh. "Enggak kayanya.""Kok enggak?" tanya Amanda sambil menatap kedua putranya dengan kedua alis yang bertaut. "Emang kamu enggak pernah lihat di rumah Aksa? Setiap pagi, Ananta selalu buka jendela sama kaca supaya masuk lho. Angin pagi kan bagus.""Iya nanti lagi dibuka," jawab Arka.Selesai membuka kaca dan membiarkan angin siang masuk, Amanda berjalan menghampiri sang putra lagi lalu duduk di bagian pinggir kasur—tepatnya di samping kaki Arka."Masih pusing?" tanya Amanda sambil memijat kedua kaki putranya itu, karena memang itulah yang sering dia lakukan ketika si bungsu sakit."Masih," jawab Arka."Jangan lama-lama sakitnya, mama suka enggak tenang kalau ka
***"Daritadi kok ngelamun terus Mbak, ada apa?"Aludra yang duduk di samping kiri Rania langsung menoleh dan mengukir senyum."Enggak apa-apa," jawab Aludra."Enggak apa-apa, tapi daritadi saya lihat Mbak Lula ngelamun," ucap Rania. "Cerita aja Mbak, kalau ada apa-apa. Saya siap dengerin kok.""Enggak Mbak Rania, aku enggak apa-apa."Rania menghela napas pelan. Sedang mengemudi, dia memilih fokus ke jalanan karena sekarang mercedes benz yang sedang dia kemudikan baru keluar dari gerbang komplek perumahan. Tak memakai Range Rover yang biasa dipakai Arka, Rania memang diminta memakai mobil sejenis sedan itu untuk mengantar Aludra ke apotek. Selain ukurannya yang lebih kecil, mobil pemberian Aksa itu juga lebih nyaman untuk perempuan."Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita Mbak, saya siap dengerin dan kasih solusi kalau bisa," ungkap Rania.Lebih tepatnya solusi buruk. Aludra punya masalah dengan Arka, Rania siap memberi solusi seburuk mungkin yang bisa memperkeruh suasana."Iya Mbak
***"Lu, udah beli obat sama buburnya?"Amanda yang sedang menonton televisi lantas menoleh ketika Aludra datang diikuti Rania dari belakang, sambil menenteng dua kresek putih di tangan kanan dan kirinya."Udah Ma," jawab Aludra. "Mas Arka masih di kamar?""Masih, pusing katanya," jawab Amanda."Oh ya udah, Lulu mau tuangin dulu buburnya ke mangkok," kata Aludra."Mau mama bantu?""Enggak usah, Ma. Lulu bisa kok," jawab Aludra. Setelah itu dia bergegas ke dapur diikuti Rania yang sepertinya akan mulai memasak makanan untuk makan malam nanti, karena memang jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore."Ma, Lulu mau ke Mas Arka dulu," kata Aludra saat dia kembali dari dapur sambil membawa nampan berisi mangkok bubur dan segelas air putih juga kresek kecil berisi obat.Menjaga keseimbangan, Aludra berjalan dengan sangat hati-hati."Iya, suruh abisin buburnya ya," kata Amanda."Iya Ma," jawab Aludra."Oh ya, Lu. Mama enggak bisa nginep malam ini karena papa juga katanya sedikit enggak
***"Buka mulutnya."Arka menatap ragu Aludra yang kini memegang beberapa pil di telapak tangannya. Selesai menghabiskan satu mangkuk bubur, tentu saja tugas Arka sekarang adalah; minum obat sebelum beristirahat dengan tidur, agar obat yang dia minum bekerja."Aku bisa sendiri," kata Arka—berniat meraih beberapa obat tersebut dari tangan Aludra. Namun, sebelum dia berhasil menggapai obat tersebut, Aludra lebih dulu menjauhkan tangannya dari jangkauan Arka."Aku yang suapin," kata Aludra."Aku bisa sendiri, Lu," ucap Arka."Ish." Jurus andalan, Aludra merengut dan tentu saja Arka pasrah jika sudah seperti itu."Ya udah ... aaaa." Arka membuka mulutnya lebar-lebar dan dengan segera Aludra memasukkan obat di tangannya ke dalam mulut Arka disusul segelas air yang dia pegang di tangan kanan."Minumnya."Tak susah meminum obat, hanya dalam hitungan detik beberapa jenis pil yang terdiri dari paracetamol juga vitamin tersebut masuk ke dalam perut Arka."Pintar," puji Aludra."Iyalah, aku buka
***"Pake bajunya, Mas. Aku bantu.""Makasih, Sayang."Tak tega mengganggu Arka yang sedang terlelap setelah minum obat tadi sore, Aludra baru membangunkan pria itu sekitar pukul tujuh malam.Berusaha menjadi istri yang baik, dengan segera Aludra memanaskan air di kamar mandi untuk suaminya itu mandi. Bahkan—sesuai janji, dia menemani Arka ketika pria itu membersihkan badannya dan tentu saja apa yang dilakukan Aludra pure menemani mandi tanpa melakukan hal lebih bersama Arka."Gimana enakkan?" tanya Aludra sambil mengancingkan satu-persatu kancing piyama satin berwarna navy yang malam ini dipakai Arka."Lumayan, pusingnya udah enggak terlalu," jawab Arka.Selesai mengancingkan piyama, Aludra mengulurkan tangannya lalu menyentuh kening Arka menggunakan bagian punggung tangan. "Udah enggak terlalu panas," ucapnya. "Syukurlah.""Karena kamu," ucap Arka."Kamu itu." Aludra tersipu. Setelah beberapa jam—bahkan sampai sekarang masih dilanda kegalauan karena obrolan Amanda dan Rania tadi sor