***"Gimana dokter?""Demam biasa, Bu. Kelelahan dan sedikit stress sepertinya. Minum obat penurun panas, istirahat yang cukup, merileksasikan pikiran, Mas Arka pasti cepat sembuh seperti biasa.""Oh baik terima kasih dokter."Bukan Aludra, yang baru saja bertanya pada dokter Giza adalah Amanda yang datang dua puluh menit lalu. Menjadi ibu yang sigap sejak dulu, Amanda tentu saja panik dan langsung datang setelah mendapat kabar dari Dirga tentang Arka yang pingsan di kantor."Sama-sama Bu, kalau begitu ini resep obatnya ya, bisa ditebus di apotek terdekat," kata dokter Giza sambil memberikan selembar note kecil yag tulisannya sangat sulit dimengerti orang awam."Terima kasih dokter Giza," kata Amanda untuk yang kedua kalinya. Seolah mengambil alih, Amanda memang berdiri persis di samping dokter Giza, sementara Aludra duduk di ujung kasur."Sama-sama Bu Amanda," kata dokter Giza. Dia kemudian menoleh pada Arka yang masih bersandar pada tumpukkan bantal. "Cepat sembuh ya Mas Arka. Tolon
***Aludra pergi mengantar dokter Giza, Amanda melangkahkan kaki menuju kaca besar di kamar tersebut. Tanpa meminta izin, dia membuka kaca besar tersebut agar ada udara segar yang masuk."Ar, ini kaca kalau pagi suka dibuka enggak?" tanya Amanda setelah dia selesai membuka kaca tersebut.Arka yang masih meresapi pusingnya menoleh. "Enggak kayanya.""Kok enggak?" tanya Amanda sambil menatap kedua putranya dengan kedua alis yang bertaut. "Emang kamu enggak pernah lihat di rumah Aksa? Setiap pagi, Ananta selalu buka jendela sama kaca supaya masuk lho. Angin pagi kan bagus.""Iya nanti lagi dibuka," jawab Arka.Selesai membuka kaca dan membiarkan angin siang masuk, Amanda berjalan menghampiri sang putra lagi lalu duduk di bagian pinggir kasur—tepatnya di samping kaki Arka."Masih pusing?" tanya Amanda sambil memijat kedua kaki putranya itu, karena memang itulah yang sering dia lakukan ketika si bungsu sakit."Masih," jawab Arka."Jangan lama-lama sakitnya, mama suka enggak tenang kalau ka
***"Daritadi kok ngelamun terus Mbak, ada apa?"Aludra yang duduk di samping kiri Rania langsung menoleh dan mengukir senyum."Enggak apa-apa," jawab Aludra."Enggak apa-apa, tapi daritadi saya lihat Mbak Lula ngelamun," ucap Rania. "Cerita aja Mbak, kalau ada apa-apa. Saya siap dengerin kok.""Enggak Mbak Rania, aku enggak apa-apa."Rania menghela napas pelan. Sedang mengemudi, dia memilih fokus ke jalanan karena sekarang mercedes benz yang sedang dia kemudikan baru keluar dari gerbang komplek perumahan. Tak memakai Range Rover yang biasa dipakai Arka, Rania memang diminta memakai mobil sejenis sedan itu untuk mengantar Aludra ke apotek. Selain ukurannya yang lebih kecil, mobil pemberian Aksa itu juga lebih nyaman untuk perempuan."Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita Mbak, saya siap dengerin dan kasih solusi kalau bisa," ungkap Rania.Lebih tepatnya solusi buruk. Aludra punya masalah dengan Arka, Rania siap memberi solusi seburuk mungkin yang bisa memperkeruh suasana."Iya Mbak
***"Lu, udah beli obat sama buburnya?"Amanda yang sedang menonton televisi lantas menoleh ketika Aludra datang diikuti Rania dari belakang, sambil menenteng dua kresek putih di tangan kanan dan kirinya."Udah Ma," jawab Aludra. "Mas Arka masih di kamar?""Masih, pusing katanya," jawab Amanda."Oh ya udah, Lulu mau tuangin dulu buburnya ke mangkok," kata Aludra."Mau mama bantu?""Enggak usah, Ma. Lulu bisa kok," jawab Aludra. Setelah itu dia bergegas ke dapur diikuti Rania yang sepertinya akan mulai memasak makanan untuk makan malam nanti, karena memang jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore."Ma, Lulu mau ke Mas Arka dulu," kata Aludra saat dia kembali dari dapur sambil membawa nampan berisi mangkok bubur dan segelas air putih juga kresek kecil berisi obat.Menjaga keseimbangan, Aludra berjalan dengan sangat hati-hati."Iya, suruh abisin buburnya ya," kata Amanda."Iya Ma," jawab Aludra."Oh ya, Lu. Mama enggak bisa nginep malam ini karena papa juga katanya sedikit enggak
***"Buka mulutnya."Arka menatap ragu Aludra yang kini memegang beberapa pil di telapak tangannya. Selesai menghabiskan satu mangkuk bubur, tentu saja tugas Arka sekarang adalah; minum obat sebelum beristirahat dengan tidur, agar obat yang dia minum bekerja."Aku bisa sendiri," kata Arka—berniat meraih beberapa obat tersebut dari tangan Aludra. Namun, sebelum dia berhasil menggapai obat tersebut, Aludra lebih dulu menjauhkan tangannya dari jangkauan Arka."Aku yang suapin," kata Aludra."Aku bisa sendiri, Lu," ucap Arka."Ish." Jurus andalan, Aludra merengut dan tentu saja Arka pasrah jika sudah seperti itu."Ya udah ... aaaa." Arka membuka mulutnya lebar-lebar dan dengan segera Aludra memasukkan obat di tangannya ke dalam mulut Arka disusul segelas air yang dia pegang di tangan kanan."Minumnya."Tak susah meminum obat, hanya dalam hitungan detik beberapa jenis pil yang terdiri dari paracetamol juga vitamin tersebut masuk ke dalam perut Arka."Pintar," puji Aludra."Iyalah, aku buka
***"Pake bajunya, Mas. Aku bantu.""Makasih, Sayang."Tak tega mengganggu Arka yang sedang terlelap setelah minum obat tadi sore, Aludra baru membangunkan pria itu sekitar pukul tujuh malam.Berusaha menjadi istri yang baik, dengan segera Aludra memanaskan air di kamar mandi untuk suaminya itu mandi. Bahkan—sesuai janji, dia menemani Arka ketika pria itu membersihkan badannya dan tentu saja apa yang dilakukan Aludra pure menemani mandi tanpa melakukan hal lebih bersama Arka."Gimana enakkan?" tanya Aludra sambil mengancingkan satu-persatu kancing piyama satin berwarna navy yang malam ini dipakai Arka."Lumayan, pusingnya udah enggak terlalu," jawab Arka.Selesai mengancingkan piyama, Aludra mengulurkan tangannya lalu menyentuh kening Arka menggunakan bagian punggung tangan. "Udah enggak terlalu panas," ucapnya. "Syukurlah.""Karena kamu," ucap Arka."Kamu itu." Aludra tersipu. Setelah beberapa jam—bahkan sampai sekarang masih dilanda kegalauan karena obrolan Amanda dan Rania tadi sor
***"Habis ini kamu minum obat lagi ya."Sambil berjalan menaikki tangga, Aludra terus merangkul Arka yang berjalan di sampingnya. Menyelesaikan makan malam sepuluh menit lalu, keduanya memutuskan untuk kembali ke kamar tanpa peduli di mana Rania sekarang."Iya," jawab Arka."Ya udah kita ke kamar," kata Aludra lagi."Iya, Sayang. Kan ini juga lagi ke kamar," ucap Arka, setelah itu keduanya tertawa sambil melanjutkan langkah mereka menuju kamar.Di sana—seperti biasa Aludra mengumpulkan beberapa obat untuk diminum Arka yang sudah menunggu di pinggir kasur.Mengerutkan kening, Aludra memandangi beberapa obat di telapak tangannya. "Mas," ucapnya."Kenapa?""Aku kok ngerasa ada yang aneh ya sama obatnya?" tanya Aludra."Maksud kamu?""Tadi tuh sore pas aku buka obat, kayanya enggak ada pil ini deh. Kok sekarang jadi ada ya?" tanya Aludra sambil menunjukkan kapsul yang memiliki dua warna; putih dan coklat. "Eh, apa ada ya? Duh aku lupa, tapi tadi kayanya enggak ada, apa ada?"Arka terkeke
***"Gimana udah enakkan?"Arka mengangguk pelan ketika pertanyaan itu dilontarkan Amanda yang duduk persis di sampinya—tepat di bagian pinggir kasur setelah memberikan obat diare untuk Arka yang dibeli Dirga beberapa menit lalu.Mendapatkan kabar dari Rania, Amanda memang langsung mengajak Dirga ke rumah sang putra karena takut terjadi sesuatu pada Arka, dan tepat ketika dia sampai, ucapan Rania benar.Arka masih muntah-muntah dan sakit perut."Udah. Makasih, Ma," kata Arka."Malam ini Mama nginep di sini," ujar Amanda. "Biar kalau ada apa-apa, kamu bisa langsung panggil mama.""Ada Alula," ucap Arka.Amanda tidak menjawab ucapan Arka. Dia memilih untuk memandang putranya sebagai kode agar Arka tak membantah kehendaknya dan setelah itu Arka yang memang sudah benar-benar lemas memilih untuk patuh."Ya udah gimana mama aja," ucap Arka.Amanda tersenyum lalu menoleh pada Aludra yang duduk di ujung kasur. "Lu," panggilnya. "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Arka bisa sampai diare? Engg