Mobil melaju dengan kecepatan diatas rata-rata, seseorang berhasil lolos dari situasi yang tak bisa dipahaminya. Ia menghela nafas berat. Sesekali memukul stir mobil.“Arrggghhh!!” pekiknya. Dadanya terlalu sesak. Darahnya mendidih. Entah mengapa ia pun tak bisa memahami. Ia merasa terjebak dalam situasi ini. Anjani telah berhasil membuatnya frustasi.Arjuna tiba di sebuah bar daerah Senopati. Ia gegas duduk di kursi tinggi, di hadapan bartender berperawakan indo-china. Dengan setelan kemeja hitam lengan pendek serta casual short pants berwarna khaki, Arjuna memesan minuman alkohol yang sudah lama tidak ia cicipi. Sejak berambisi merebut tahta serta membalaskan rasa sakit akibat trauma yang diterima, Arjuna merasa hari-harinya kian menderita.Lama sudah terasa setelah ia menginjakkan kaki di Indonesia, Arjuna tidak mendatangi tempat-tempat hiburan malam di tengah kota. Hari-harinya dihabiskan untuk berkerja dan menyusun rencana menduduki posisi utama. Arjuna ingin membuktikan pada me
Arjuna memandang layar ponsel itu sambil mengutuk dirinya sendiri. Tak dipungkiri—apa yang dilihatnya adalah nyata. Arjuna lupa bahwa dirinya salah seseorang yang berpengaruh di dunia bisnis, hingga gerak-geriknya begitu disoroti. Kini ia hanya mampu menelan ludah. Untuk kedua kalinya isu tak sedap menyeruak. Entah apa yang akan terjadi di kehidupannya setelah beredar video dirinya tengah mabuk bersama seorang gadis yang bukan istrinya. Dunia akan mencaci maki. Arjuna lagi-lagi menelan ludah. Matanya memerah. Apakah ini jebakan? Pikirannya menerka-nerka.“Kau ingin mengelak?” Arjuna diam membisu. “Bukankah kau tahu rasanya terluka karena orang ketiga? Kau ingin mengulangi apa yang mendiang ayahmu lakukan? Kau tidak pernah berpikir bagaimana perasaan istrimu saat ini? Kau sungguh mengecewakan Nenek, Arjuna!” Tanpa jeda sang nenek berhasil mengorek luka lamanya. Sungguh, Arjuna tak pernah berpikir untuk lakukan hal itu. Ia hanya terjebak dengan keadaan yang membuat hatinya ta
“Arjuna,” gumam gadis itu. Setelah melihat layarnya menyala. Anjani sama sekali tak berniat meresponnya. Ia menggeser ikon merah lalu menyalakan mode pesawat. Hatinya begitu hancur—seperti tak bisa tertata lagi. “Are you ok?” Rama memastikan dan Anjani mengangguk pelan. Meski tak jelas menunjukkan, Rama tentu tahu bahwa Anjani sedang tidak baik-baik saja. Ia berusaha menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Bagaimana bisa seorang gadis bisa baik-baik saja sementara melihat sang suami bersama gadis lain? Bahkan seluruh dunia mengetahuinya. “Hmm … bukankah dirimu seharusnya bersama Kayla?” Anjani mengalihkan perbincangan. Demi hati yang tak mampu berdamai, sudah seharusnya Anjani menghentikan perbincangan tentang Arjuna. Rasanya begitu sakit jika harus mengingat pemberitaan yang ada tentang mereka. Memandang keraguan di wajah pria itu, Anjani memastikan kembali. “Hei?!”Rama terlihat ragu. Ingatannya kembali pada kejadian tadi pagi ketika mendapati Arjuna ada di unit sang k
Anjani kembali ke rutinitas hariannya sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Resiko. Pagi itu ia sudah berangkat lebih awal demi menghindari Arjuna. Berada di atap yang sama sungguh membuatnya tak bisa bernafas. Segalanya jadi serba terbatas. Sejak ia menyatakan tentang perasaannya, Anjani merasa tak memiliki nyali untuk bertemu. Rasanya ia ingin sekali menyembunyikan wajahnya entah dimana. Sebab, menghadapi pria itu membuatnya semakin kesulitan. Pagi itu jalanan ibu kota sudah padat merayap. Anjani bersyukur berangkat lebih. Ia mengendarai sendiri mobil pemberian Arjuna beberapa waktu lalu. Sesungguhnya, jika ia ingin mengutuk, Anjani akan lakukan dirinya sendiri yang tetap memakai fasilitas pemberian pria itu. Mobil mercy keluaran terbaru memasuki lobby utama Barathaland Group—Anjani berhenti lalu memberikan kunci pada petugas. Ia gegas memasuki kantor karena sepuluh menit lagi rapat bagiannya di mulai. “Pagi, Bu Anjani!” sapa hangat seorang office boy yang tengah mengelap lanta
“Kau sedang tidak cemburu ‘kan?” Arjuna terkejut. Melihat tatapan Naomi membuat dirinya seketika gugup.Tak ada jawaban atas pertanyaan itu, ia tak membantah juga tak mengiyakan. Arjuna memalingkan wajahnya. Namun, dengan jailnya, Naomi menuntut jawaban pada pria itu. “Bukankah aku pernah bertanya tentang perasaanmu padanya?” Naomi terdiam, mengamati gerak gerik pria yang masih bergeming itu. Meski tak ada gerakan—ia bisa melihat ada sebuah kegugupan. Bibir Arjuna berkedut. “Aku tanya sekali lagi … kau menyukainya?”Terakhir kali mendapat pertanyaan itu, Arjuna dengan tegas menjawab tidak. Namun, kini ia tak mampu mengatakannya. Lidahnya kelu. Arjuna tak mengerti mengapa bibirnya begitu berat. Tak ada kalimat yang terlontar. Arjuna pun menelan ludah. “Tak perlu dijawab kalau begitu … sudah jelas bahwa dirimu mulai menyukai gadis itu.” Naomi menarik kesimpulan. Sebagai seorang sahabat, ia banyak memberi nasihat pada pria itu. Meski usia mereka terpaut jarak dan Arjuna lebih tua
“Apa kau pernah melihat Anjani bahagia bersama pria itu?”Pertanyaan Ammar kontan membuat Naomi tak berkutik. Ia tahu Ammar sosok yang begitu vokal. Ia tak akan begitu saja percaya dengan omongan yang orang lain katakan. Sementara ia bisa melihat fakta yang berbeda dari omongan tersebut. “Itu ….”“Aku sudah jauh mengenal kalian, Naomi. Apapun yang terjadi, aku sudah bisa membacanya.”Kris yang tak bisa memasuki ranah persahabatan itu, hanya mampu menyetir dengan kecepatan tinggi hingga tanpa sadar mobil mereka telah terparkir. “Kita sudah sampai,” sela Kris membuat mereka menghentikan obrolan itu.Ammar dan Naomi mengitari pandangan. “Oh, ya,” gumam Naomi. Disebuah restoran Jepang.Waktu berlalu sekitar lima belas menit setelah ketiganya tiba di restoran Jepang. Di sebuah bilik, Naomi dan lainnya menanti kedatangan sepasang suami istri. Hening. Ketiganya sibuk dengan gawai masing-masing hingga akhirnya sebuah suara mengisi suasana. “Maaf kami terjebak macet …” ujar Anjani setiba
“Mengapa hanya aku yang paling tidak mengerti dirimu,” gumam Anjani, dengan air mata mengambang di pelupuknya. Hatinya begitu terluka. Ia kian terisak. Pun demikian, genggamannya tak kunjung usai di jemari sang suami. Dengan siku bertumpu, Anjani berulang kali mengecup jemari tersebut. Ia tertunduk lesu dengan air mata yang tak kunjung henti berlinang. “Maafkan aku,” lirih Anjani. Hatinya begitu terluka. Ia mengutuk kebodohannya karena tak mengenal tentang pria itu. Rasanya percuma mereka tinggal bersama, hal remeh seperti itu pun ia tak tahu. Anjani menggeleng, gusar dengan dirinya sendiri. “Aku menyesal karena tidak tahu apapun tentang dirimu.” Lagi-lagi isak tangis terdengar dibersamai suara alat medis. Tak lama, suara pintu berdecit. Anjani gegas menghapus jejak air mata di pipinya. Ia menangkap sosok wanita yang semakin mendekat. Disaat yang sama ketika langkah kaki itu terhenti, Anjani mendekap erat tubuh wanita itu. Samar-samar mulai terdengar isak tangis. Kini Anjani me
Anjani berlari sejak mendengar percakapan kedua orang di ruang rawat. Hatinya teriris mengetahui bahwa gadis tersebut masih mencintai sang suami. Akankah mereka kembali bersama ketika hubungan kontrak antara dirinya dan Arjuna berakhir? Pikiran itu memenuhi ruang otaknya—hingga tanpa sadar ia menabrak seseorang. “Maaf—” Anjani hampir saja terpelanting jika orang tersebut tak mencekal lengannya. Ia masih tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah dipenuhi air mata. “Maafkan aku,” ucapnya lagi saat melihat sepasang sepatu masih tak bergerak dari hadapannya. “Hei, ada apa?” Anjani lantas mendongak. Suara itu sangat familiar di telinganya. “Ammar—” Sorot mata gadis itu terlihat berbinar dibersamai rasa sesak yang mendalam. Disaat berikutnya, ia meremas lengan jas sang sahabat dengan begitu erat. Meski tak menjelaskan apa yang terjadi, nyatanya Ammar mampu memahami apa yang dirasakannya. Ia pun membawa Anjani ke sebuah tempat. Tiga puluh menit berlalu. Anjani hanya bergeming