Duh, ada yang degdegan ketemu emak mertua. Semangat Anjani, you can do it!
“Silahkan duduk!” seru wanita itu. Anjani pun kembali duduk dan diikuti oleh wanita tersebut. Setelah mereka duduk berhadapan, Zivaa menatap Anjani yang terlihat gugup. “Kau boleh memanggilku, Ibu ...” Seulas senyum tak biasa membuat bulu tengkuk Anjani berdiri. Lidahnya mendadak kelu. Tenggorokannya kian tercekat. Matanya tak henti memperhatikan wanita yang tampak awet muda di hadapannya. Sungguh tidak main-main, penampilannya bak seorang diva. Penampilan elegan dengan wajah tegas. Anjani menelan saliva saat melihat dua pria berjas hitam menjaga ibu mertuanya dari kejauhan. “Kau suka makan apa?” tawar wanita itu sembari membolak-balikkan buku menu. “Hmmm … apa saja, Nyo—eh Bu.” Terdengar tawa tipis dari wanita itu. Anjani lantas memandang Zivaa dengan penuh kekhawatiran. Ia takut sikapnya salah di mata sang ibu. “Kau tak perlu gugup—aku hanya ingin makan malam bersama menantuku.” Semakin wanita itu melontarkan ucapannya, semakin Anjani tak bisa menahan rasa gugup. Zivaa memes
“Jangan pergi,” gumamnya, membuat Anjani tak mengerti. Anjani membisu. Ia begitu terkejut saat Arjuna tiba-tiba menarik tubuhnya kedalam dekapan itu. Erat seolah tak ingin lepas. “A-ada apa?” tanya gadis itu, bingung. Arjuna terdiam. Bukan menjawab pertanyaan gadis itu, Arjuna makin mengeratkan pelukannya. Aroma tubuh Anjani bagai candu yang membuat dirinya menjadi tenang. Deru nafas pun mulai stabil dan ketakutannya lambat laun menghilang.“Jangan pergi!”Lagi-lagi kalimat itu terlontar dari bibirnya. Anjani masih tak mengerti arti kalimat yang baru saja ia dengar. “Baiklah, aku tak akan pergi.”Anjani membalas dekapan Arjuna lalu mengusap lembut punggung pria itu. “Jika kau sedang tidak sehat, kau istirahat saja. Aku akan ke kantor urus beberapa pekerjaan,” terang Anjani. “Tidak—kau tidak perlu ke kantor hari ini.”Mendengar kalimat itu membuat Anjani terkejut. Ia mendorong tubuh pria itu. Memandangnya penuh tanda tanya. “Kau mengizinkan aku tak pergi ke kantor?” setelah itu
Langkah kaki mereka berderap berdampingan. Ditengah semilir angin menuju pintu keluar area pemakaman tersebut, genggaman tangan terus bertaut seolah tak bisa lepas. “Terima kasih—Anjani.” ujar Arjuna, tiba-tiba hingga membuat gadis itu menoleh. Seulas senyum pun menghiasi wajah Anjani. “Aku yang seharusnya berterima kasih padamu—” Ucapan Anjani jeda sesaat. Berada disisi Arjuna membuatnya begitu nyaman, berjalan berdampingan sambil berpegang tangan, membuat dunia serasa milik mereka. “—terima kasih, karena kau membawaku menemui ibumu,” sambungnya. Sore itu awan hanya sekedar mendung. Hujan yang dinanti tak kunjung turun. Arjuna lantas membawa sang istri menyusuri kota Paris dengan mobil yang di sewa mereka untuk beberapa hari. Perjalanan itu merupakan perjalanan pertama bagi mereka. Arjuna mencoba menciptakan kenangan baru antara dirinya dan Anjani. Mobil yang dikemudikan tiba di sebuah menara terkenal di kota Paris, ya, Eiffel tower. Arjuna menggamit pinggang Anjani, lalu mengg
“Apa kau mempercayaiku?” tanya Arjuna, membuat Anjani semakin memandangnya. Sekitar beberapa detik tak ada jawaban. Anjani diam membeku. Matanya terus memandang pria di sana lalu mencoba meyakinkan hatinya. Tak lama, Anjani mengangguk pelan. Jemarinya bergerak cepat menarik Arjuna, lalu mengecup bibir pria itu dengan lembut. Suasana hening. Dua insan kini lupa bahwa ada perjanjian yang telah mereka sepakati. Disaat berikutnya, Arjuna mulai mengecup kening Anjani perlahan. Lambat laun, turun ke mata hingga mengulum lembut bibir ranum gadis disana. Tak ada penolakan. Anjani hanya terpejam, mencoba meresapi. Ia membiarkan dirinya hanyut dalam kisah cinta yang sejak dulu dirindukan. Ia melingkarkan kedua tangan di leher pria itu, ketika sang suami mulai mencium bibirnya dengan penuh gejolak. Deru nafas terdengar beriringan. Tautan bibir yang masih menyatu membawa mereka bergerak, bak dua insan yang tengah menari di lantai dansa. Kaki Arjuna menuntun langkah gadis itu menuju kamar. Sesek
Deg. Jantung Anjani memompa lebih cepat. Matanya membeliak, melihat notifikasi pesan itu.Aku merindukanmu, Arjuna.“Ada apa, Anjani?” Arjuna keluar dari kamar mandi, sontak membuat Anjani tak sengaja menjatuhkan ponsel tersebut. Brugh!Dahi Arjuna mengernyit. Ponsel itu adalah miliknya. Lantas mengapa ada dalam genggaman Anjani. Pikiran negatif pun menyerbu ruang otak pria itu. Ia bergerak mendekat dengan langkah cepat. Menghampiri Anjani yang tengah membeku. Terlihat matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya mengatup namun tampak getaran yang tak bisa disembunyikan. Mereka saling menatap dari kejauhan. “Hei, ada apa?”Arjuna memutar gadis itu menghadapnya, sementara Anjani terus menyembunyikan wajahnya.“Eung?” Anjani gelagapan. Ia tak tahu—lidahnya seketika kelu.“Kau melihat apa?”“A, I-Itu ...” Anjani kian gugup. Gadis itu merasakan cengkraman di bahunya. Arjuna mencekal bahu itu, lalu menengadahkan wajahnya yang berusaha ia sembunyikan. “T-tidak ada.” Anjani bingung. Pesan te
“Bagaimana hubunganmu dengan gadis itu?”Seorang pria terdiam, gelas yang hampir ia taruh di atas nakas seketika tertahan. Senyum mengulum tipis di wajahnya. Disaat berikutnya, ia lanjut menaruh gelas tersebut, lalu bergeser sedikit di tepi ranjang, mencari posisi ternyaman. Netranya memandang lembut wanita tua yang bersandar pada punggung ranjang. “Entahlah, Nek.” “Bukankah kalian berencana untuk menikah?” Lagi-lagi senyum tipis tampak di bibirnya. Dan ya, setelah mendengar kabar kondisi kesehatan neneknya, Rama mencoba mengambil hati Nirwasita dengan meluangkan waktu untuk menjaga wanita tua itu. Setelah kembali dari rumah sakit, Rama selalu ada di sisi sang nenek dan menggeser posisi Arjuna. Kepergian Arjuna tentu menjadi kesempatan bagi Rama untuk merebut hati Nirwasita.“Apa kalian ada masalah?”Melihat respon Rama yang begitu lama. Membuat Nirwasita mengambil kesimpulan bahwa hubungan Rama dan Kayla memang sedang tidak baik-baik saja.Disaat berikutnya, Rama mengangguk. “Ada
Deg. Anjani merasa dentuman keras menghujam jantungnya. Bagai tersambar petir. Otaknya seketika ngeblank. Detak jantungnya berhenti sejenak. Matanya membulat dan bibir pun bergetar. Mendengar kata ‘bercinta’ membuat dadaa Anjani memanas. ‘Jadi foto itu bukan rekayasa? Bahwa mereka tidur bersama…’Nirwasita yang sejak tadi menahan, hatinya seolah hancur berkeping.Anjani hanya bisa membeku, mencerna kata-kata yang keluar dari bibir Rama. Ia menyesal mengapa harus mendengar hal yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. “Cukup!” pekik wanita tua disana. Dibandingkan kondisinya saat itu, Nirwasita jauh lebih mengkhawatirkan perasaan Anjani yang sedari tadi bergeming. Memandang wajahnya saja, Nirwasita bisa menebak seberapa remuk hati Anjani saat ini. Ucapan yang terlontar dari Rama sungguh membuat siapapun yang mendengarnya pasti terluka.Emosi Arjuna meluap, matanya menusuk, rahangnya menggertak. Tatapannya kini berubah menjadi buas. Namun, kakinya tertahan, seperti ada magnet ya
“Mari kita akhiri, disini …” lirih Anjani.Arjuna terperanjat. Matanya membulat tak percaya kata-kata yang baru saja lolos dari bibir gadis itu. Pria itu pun menggeleng. Tak banyak bicara, Anjani gegas menarik ujung koper dan berlalu. Arjuna yang masih tak percaya, lantas menahan tangan gadis itu. “Omong kosong macam apa ini!” Nafas Arjuna terdengar kasar. Jantungnya kian berdebar, dirinya dihantui ketakutan. Anjani tak ingin mendengar, langkahnya semakin mantap keluar dari pintu kamar yang dihadang pria itu. “Apalagi? Bukankah ini akhir yang kau mau? Bukankah kau sudah dapatkan semua keinginanmu?”Dengan mata berkilat, Anjani menghunus netra pria itu. Hatinya tak bisa menerima kenyataan bahwa Arjuna masih berhubungan baik dengan sang mantan, perjanjian yang mereka sepakati semakin tak berguna rasanya. Arjuna telah mengingkari semua yang tertulis di perjanjian itu. Bahkan lebih menyakitkannya lagi, Arjuna telah memiliki gadis itu sepenuhnya. Lalu apa yang diperoleh gadis itu? Kesak