Share

5. Kucing Elit

Aku mengabaikan tatapan mama dan om Rendi yang melihatku kembali dengan baju basah. "Lunar ke atas dulu mau mandi dan ganti baju," kataku sambil melewati mereka. 

"Iya, Lunar buruan mandi nanti sakit," jawab mama. 

Saat aku sudah sampai di kamarku. Aku melirik ke arah kamar Serafin dia sedang berdiri di balkon dengan baju basahnya. Sesekali dia memasukkan cookies yang kuberikan tadi ke mulutnya. 

"Lunar, cookies enak banget. Pasti karena kita membuatnya dengan penuh cinta," teriaknya dari arah balkon. Aku langsung keluar dari kamarku dan menuju balkon.

"Cinta, matamu!" kataku sewot. Dia langsung ngakak sampai gigi yang berbaris rapi miliknya terlihat. 

"Duh galaknya jadi pengen gigit," katanya lalu menirukan ekspresi sedang menggigit. 

"Matamu! Dasar buaya, kadal buntung, kucing garong!" balasku lagi. 

"Gue bukan buaya, bukan kadal apalagi kucing garong. Gue hanya seorang laki-laki yang sedang berjuang mendapatkan cinta."

"Gila! Mending ke psikiater sana, sebelum lo tambah parah," kataku dan memasang wajah garang. Bak harimau marah.

"Obatnya gampang lo tinggal terima lamaran gue dan kita menikah." Serafin naik turunkan alisnya. Senyum jenaka terus menghiasi wajahnya. 

"Gila," kataku. Setelah mengatakan hal itu aku langsung meninggalkan dan menuju kamar mandi. Lebih baik mandi saja daripada harus meladeni Serafin yang otaknya sudah sangat miring. 

Selesai mandi aku mengeringkan rambut ku dengan handuk. Saat seperti ini, aku malah ingat kejadian dimana Serafin mencium rambut ku dan mengatakan kalau rambutku sangat wangi. 

Kenapa aku jadi ingat dengan Serafin terus sih? Dia itu menyebabkan, jago pencitraan dan mesum. Buaya darat yang profesional pasti.

"Lunar-lunarku yang cantik. Sini dong perlihatkan wajah cantikmu," teriaknya. Nah kan, dia membuat ulah lagi. 

"Lunar… Lunar… Lunar… main yuk. Lunar ayo main," katanya lagi. Kalau aku tidak keluar dari kamarku dan ke balkon dia pasti akan terus berteriak. Aku sudah pernah mengabaikan dan Serafin terus memanggil dan berteriak sampai tengah malam. 

"Apa sih? Teriakan-teriakan mulu kayak kucing minta kawin," kataku kesal masih membawa handuk untuk mengeringkan rambutku. Aku memilih duduk di kursi yang ada di balkon. Kursi berwarna putih yang cantik dan dilengkapi meja berwarna putih juga. 

"Gue kan minta nikah sama lo, tapi lo malah mengabaikan gue terus," katanya dengan wajah cemberut. Bibirnya sedikit dimajukan, tapi matanya masih berkilat jail. 

"Emang lo pikir nikah itu gampang. Kalau lo orang aneh, psikopat, buaya darat, tukang selingkuh gimana?" kataku sewot dia malah ngakak. 

"Ternyata lo mikirin gue sedalam itu. Aduh gue jadi gak bisa tidur. Bentar ya," katanya dan masuk kedalam kamarnya. Membawaku bantal guling ku dan meletakan di kursi nya. Dia juga membawa panah mainan dan dua cup mie instan yang mengepulkan asap. 

"Habis hujan enak makan mie," katanya mengambil busur dan anak panah mainan.

Serafin kemudian membidik jendela kaca kamarku. Melepaskan satu anak panah yang sudah diikatkan tali. Selah dia yakin jika  anak panahnya menempel dengan kuat jendela kamarku. Dia mengikat ujung talinya di dinding kamarnya. Dia mengikat ember dengan tali, lalu mengikat longgar tali yang mengikat ember ke tali yang menghubungkan antara kamarnya dan kamarku. 

"Nih makan, biar gak galak," kata Serafin meletakan satu cup mie instan di ember itu lalu mendorong hingga ember itu mengikuti arah tali dan berakhir di balkon kamarku. 

"Gak ada racunya. Aman kok, makan aja. Mana berani aku meracuni anak pengacara kondang," katanya. Serafin kemudian memakan mie instan.

Aku yang awalnya enggan memakan mie instan ini. Tapi setelah aku melihat serafin yang memakan mienya dengan lahap. Aku menjadi lapar juga dan mengambil cup mie instan dari ember kecil itu. 

Aku membuka tutupnya. Ternyata sudah diseduh. Juga terdapat potongan telur rebus, suwiran ayam dan potongan sosis. Setauku mie instan ini tidak menyediakan topping yang seperti ini. 

"Lo buat sendiri?" tanyaku penasaran. Serafin mengangguk semangat. 

"Iya gue buat sendiri. Lagian lo mandinya lama jadi sempat ngasih topping. Tatanannya bagus kan, cantik kayak lo."

Serafin masih sempat-sempatnya menggombali aku. Sepertinya dia menang serba bisa. Bisa masak, bisa pencitraan dan bisa menarik hati orang dengan mudah. Dia seperti pemain profesional saja. 

"Idih," cibirku. Aroma micin yang sangat kuat membuat nafsu makanku semakin kuat. Aku menyuap mie instan kedalam mulutku. Entah karena lamar atau apa, mienya terasa lebih enak. 

Aku memakan mie instannya sampai tidak tersisa. Serafin tersenyum setelah melihat, aku menghabiskan mie instan yang dibuatnya.

"Jadi gimana lo mau gak nikah sama gue. Gue bisa masak, cari nafkah, bersih-bersih rumah dan bikin anak. Gue ini paket komplit, minus sangean doang," katanya naik turunkan alisnya.

Aku melempar cup mie instan pada Serafin. Dia langsung menangkapnya dan memakannya diatas lantai dekat kursi yang didudukinya. 

"Jangan gitu dong. Nanti benda berharga gue kotor, mau ganti rugi lo. Kalau kotor gue angkut kasur lo tar," ancamnya serius. Serafin mengelus-elus gulingku yang berada di pelukannya. Melihat hal itu aku menjadi makin kesal. 

Guling dan bantal kesayanganku kini sudah berpindah tangan. Tetangga sebelah dengan bangga memeluk guling hasil curiannya. 

"Kenapa lo mau nikah sama gue? Terus jangan-jangan lo bikin bantal dan guling gue jadi bahan bacol(bahan col*i) lo lagi," tuduhku padanya. 

"Karena gue cinta lo. Enak aja lo, gue sangean sama lo doang ya. Gue gak sesaiko itu jadiin bantal dan guling lo jadi bacol," katanya sewot. 

"Mana ada maling ngaku?"

"Gua ngaku, gue nyuri guling dan bantal lo. Ini juga cuman gue pakek tidur aja. Biar gue gak kangen terus sama lo. Kalau buat bahan bacol, mending gue curi dalaman lo," katanya lalu ngakak. Aku memandang tajam.

"Awas aja lo kalo lakuin hal itu. Gue laporin polisi lo," ancamanku.

"Gak lah. Gue akui gue otak gue emang sangean, tapi kalau kelakuan gue masih aman."

"Gue gak percaya. Mana ada kucing yang dikasih ikan asin nolak," bantahku.  " Gak dikasih aja dia nyuri, apalagi punya kesempatan," kataku melanjutkan. 

"Gue jenis kucing elit berarti. Kucing yang gak mau makan ikan asin walaupun dikasih. Kucing elit mah beda mending gak makan daripada makan, makan murahan. Kalau gak percaya lihat kucing gue," katanya Serafin berapi-api. 

Memang ada jenis kucing yang gak makan ikan asin. Kucing temanku juga ada yang sombongnya minta ampun. Hanya makan ikan tuna dan salmon. 

"Gue cuman mau lo aja. Gue tau ini sulit dipercaya tapi gue ngomong yang sebenarnya. Gue bakal buktiin," katanya sungguh-sungguh. Matanya penuh tekad dan kemudian tersenyum lembut. 

"Gue setipe sama kucing elite. Enggak, gue ini serigala. Kelihatan aja buas, tapi setia sama pasangan sampe mati."

"Idih pede sekali anda. Menginginkan diri sendiri."

"Yaudah gue rendahin nih. Minusnya gue sangean tapi sama lo doang."

"Gila!" teriakku tapi tanpa sadar aku tersenyum. Pesona Serafin ternyata sangat kuat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status