Share

7. Tidak Terhitung

Aku sudah mulai terbiasa setiap pagi dibangunkan oleh alaram hidup yaitu Serafin. Tetangga sebelah yang ganteng, tapi rada sinting dan mesum.

Setiap pagi juga dia selalu memberiku hadiah dan surat cinta, yang isinya unik dan ajaib. Kadang aku bisa tersedak ludah sendiri jika membaca isi suratnya. Pokoknya hari-hariku sangat luar biasa karena ada Serafin. 

"Tetangga, kamu cantik hari ini dan aku mau nikahi," kata Serafin yang sedang duduk di balkon kamarnya. Menikmati secangkir teh yang masih mengepulkan asap dan kue. 

"Tetangga… woy tetangga, tidakkah kamu mau menikmati secangkir teh denganku. Kalau bisa dalam pangkuanku." 

Aku keluar kamarku dan menuju balkon. Bersandar pada pagar pembatas, dengan kedua tangannya menggenggam besi pagar yang di cat putih. 

"Masih pagi Serafin, jangan ngerusuh kenapa sih," kataku kesal, tapi kalau Serafin tidak merusuh dipagi hari. Ada rasa penasaran kemana tetanggaku itu pergi. 

"Bukan ngerusuh tapi merayu bidadari. Biar cepat ACC proposal yang sedang aku ajukan," kata Serafin. Dia mengangkat cangkir tehnya. Jari-jari lentiknya sangat indah saat menggenggam pegangan cangkir. 

"Bidadari matamu. Kalau mau nikah sama bidadari cari di surga. Syaratnya lo harus mati duluan," kataku bercanda. 

"Gak perlu ke surga. Tinggal nyebrang ke rumah tetangga sebelah ada bidadari di sana. Marah aja kelihatan cantik, apalagi pas di samping gue di ranjang yang sama."

"Serafin bego," kataku kesal. Dia malah tertawa dan menunjuk ember yang sudah nangkring di balkon kamarku. 

Aku memeriksa ember itu. Penasaran apalagi isinya. Ternyata ada sebotol susu almond dan coklat. Serafin tersenyum menunjukan barisan gigi yang rapi dan putih. 

"Thanks," kataku sambil mengambil susu almond dan coklat dari ember. Meletakkan di atas meja dan kembali bersandar ke pagar pembatas balkon ku. 

Sejak tinggal disini, rasanya berat badanku naik. Serafin selalu memberiku makanan dan minuman manis. Sama halnya dengan om Rendi, tiap pulang kerja selalu membawa makanan enak. 

Mau dimakan berat badanku rasanya akan naik terus. Kalau tidak dimakan, takut om Rendi merasa tidak dihargai. Jadi aku menghabiskan semuanya. Makan aja semuanya, berat badan nanti menjadi urusan lain. 

"Serafin, lo gak lelah kah, menghadapi gue," kataku penasaran. Serafin meletakan cangkir yang digenggam ke atas meja. Dia kemudian berdiri dan menyandarkan badannya ke pagar balkonnya. 

"Memang aku kelihatan lelah, gunung yang tingginya ribuan meter aja gue daki. Gue taklukin, gue gak kenal apa itu menyerah. Gue cuman kenal, berjuang sampai darah titik penghabisan."

Setelah aku berpikir apa yang membuat Serafin berjuang untuk mendapatkan aku. Aku tidak terlalu istimewa, aku yakin di luar sana banyak yang mengejar seorang Serafin.

Dia itu hampir sempurna. Wajah tampan, pendidikan tinggi, keluarga terpandang dan sedang berada di puncak karir. Sejujurnya itu membuatku ragu dia benar-benar mencintaiku. Hati kecilku selalu mengingat aku tidak sebanding dengannya sehingga aku tidak boleh jatuh cinta padanya. 

Namun tanpa kusadari, aku sudah terlena dalam pesonanya. Dia yang tampan dan unik benar-benar membuatku mudah jatuh. Hanya saja hati kecilku masih tidak percaya diri dengan segala kelebihannya.

"Jangan melamun. Gue gemes jadi pengen cium jadinya."

Nah, mulai lagi sifat mesumnya. Dasar Serafin dia memang tidak pernah bisa jauh dari hal-hal seperti ini.

"Mesum," kataku kesal. 

"Ke lo doang kok. Gak masalah, asal kelainnya gak. Kalau ke lo gak apa-apa. Calon istri, calon ibu dari ke 12 anak-anak gue kelak," katanya bangga.

"Gila lo ya, otak lo perlu dibersihkan kayaknya. Emang gue udah bilang, mau jadi istri lo?" 

"Mau aja ya, ya… ya… ya… soalnya gua cinta benget ke lo. Cintanya sebesar semesta."

"Sesat lo mana boleh mencintai manusia lebih dari mencintai tuhan," kataku menyembunyikan rona merah di pipi ku. Untung kami berjauhan sehingga rona merah di pipi ku pasti tidak terlalu kentara di matanya. 

"Gue lebih cinta dan taat ke tuhan deh, tapi cintaku padamu sangat banyak. Banyak sekali sehingga tidak bisa dihitung."

"Idih buaya darat bersaksi."

"Gue serigala yang setia sampai mati. Eh, bidadari malu tuh, mukanya sampai merah. Duh gemes jadi pengen cium dan gigit manja," katanya sambil menaik turunkan alisnya yang tebal. 

Aku buru-buru memalingkan wajahku. Ternyata Serafin dapat melihat rona merah di pipi ku. Mata beriris hijaunya ternyata sangat tajam. Serafin ternyata sangat cocok menjadi serigala. Loh kok malah kepikiran kata-katanya.

"Bodo amat, siapa juga yang malu," kataku langsung pergi meninggalkan Serafin. Aku kemudian mengintip dia dari dalam kamar ku. Serafin tertawa sambil memegang perutnya. 

"Gak usah ngintip. Sini balik lagi, kita cerita masa depan kita," katanya. Membuatku langsung menutup tirai dan berbalik dari sana. 

Matanya sangat luar bisa. Bisa lihat aku yang berjongkok di balik pintu dengan membuka sedikit tirai untuk mengintip. 

Kurasa Serafin banyak makan wortel untuk mempertahankan ketajaman matanya. Sudah cocoklah dia menjadi serigala. Terlibat gagah, dominan, buas, tapi hati yang lembut pada betinanya. Astaga aku kepikiran lagi. 

Daripada memikirkan Serafin terus. Lebih baik turun dan bantu mama memasak. Selama di rumah ini, aku memang tidak kemana-mana, tapi merasa lebih hidup. 

Aku mendapatkan kasih sayang keluarga yang sudah sangat aku rindukan. Selama ini aku bisa menutupi dengan bersifat dingin. Namun semua itu tidak bisa menutupi kerinduan dan rasa haus akan kasih sayang di dalam hatiku. 

Aku bisa berkamuflase, tapi tetap saja rindu dan haus itu sangat menyiksa. Rasa iri dan perih sering sekali tumbuh subur di hatiku saat melihat keluarga bahagia milik orang lain. 

"Aku juga ingin, aku juga mau. Kenapa aku tidak punya?" kata itu sering sekali berputar di otakku, tapi untuk menutupi semua itu. Aku bersifat dingin, menghindari pertemanan dan jatuh dalam jurang kesepian terdalam. 

Saat ada orang yang mencoba mengisinya. Aku senang, sekaligus takut, hal itu hanya sementara. Sehingga aku menolak keras dan akhirnya aku sendiri lagi. 

"Aku mungkin ditakdirkan sendiri," itulah kata yang kuanggap sebagai penguat, tapi ternyata menghancurkan aku.

Seseorang kesepian sepertiku. Pantaskah mendapatkan laki-laki ceria dan berwarna seperti Serafin. Bukankah tidak akan adil baginya, mendapatkan orang segelap diriku.

"Aku mencintaimu sangat banyak. Tidak Terhitung, jadi raihlah tanganku. Genggam yang kuat dan jangan pernah lepaskan," kata Serafin pada malam itu. Membuatku terus berpikir, pantaskah aku mendapat semua itu. Otakku juga selalu bertanya apakah semua itu nyata. Aku takut, semua itu hanya fatamorgana lalu menghilang saat aku mendekatinya.

"Serafin aku harus bagaimana? Aku takut dengan hal penuh cinta seperti ini. Aku sudah terlalu jatuh dalam dalam jurang kesepian. Sehingga hatiku ikut membeku. aku takut, ini semua tidak nyata dan membuat aku menjadi lebih tersiksa," gumamku pelan sambil mengusap wajahku.

Aku senang sekaligus frustasi atas kedatangan Serafin. Bagaimana aku ini anak yang tumbuh tanpa kasih sayang lengkap dan mempertahankan diri dengan bersifat dingin.

Aku tidak ingin terjatuh dan terluka lebih dalam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status