“Anita?! Kamu mau ikut makan malam di depot Pojok tidak? Pak Niko yang traktir...” teriak Cika, asisten Chef Niko. Ia meneriaki Anita yang lagi fokus mengetik sesuatu di layar handphone-nya.
“Maaf, lain kali saja. Aku masih ada urusan soalnya,” sahut Anita dari kejauhan.
Anita sebenarnya sudah terlebih dahulu pulangnya karena tidak ikut menunggu Chef Niko selesai beres-beres dapur. Namun karena ada pesan singkat masuk dan isinya cukup penting, membuat Anita berhenti sejenak untuk membalas pesan singkat tersebut.
“Ya sudah. Kamu hati-hati di jalan, kami duluan.” seru teman-teman sekerjanya yang akhirnya pergi duluan meninggalkan Anita
Kelinting!!! Bel lonceng kafe berbunyi.Anita memasuki kafe dengan wajah lesu.“Pagi semua...” sapanya pada semua pegawai yang sudah terlebih dahulu datang.Pak Karim, Cika dan Melodi yang sedang sibuk menurunkan kursi-kursi dari atas meja menyambut kedatangan Anita. Melodi yang menyempatkan diri menoleh ke arah Anita menangkap sesuatu yang aneh di wajah Anita.“Kamu habis dipukuli orang, Ant?” tanya Melodi menemukan lingkaran hitam di kedua kantung mata Anita. Ditambah, ia merasa jika kelopak Anita terlihat sedikit membengkak.“Enggak kok Kak,” jawab Anita.“Lah itu? Mata kamu kok bengkak begitu?” Melodi menuding mata Anita.Cika yang mendengar ikutan nimbrung. Ia juga ikutan mengecek mata Anita. Dan ia setuju dengan apa yang disampaikan Melodi. Mata Anita memang terlihat b
“Loh Bapak kok ada di sini?” celetuk Anita terkejut. Ia bahkan sampai menghentikan aktivitasnya karena terpaku dengan kemunculan Sagara yang tak diduganya.“Bisakah kau bersikap biasa saja saat melihatku?”“Se-sebentar, tunggu. Jangan-jangan yang pesan semua makanan ini, Bapak?”Sagara memasang wajah kesal. “Bisakah kau memanggilku dengan nama? Kamu pikir aku Bapakmu? Lagi pula kita sudah bukan rekan kerja lagi. Jadi bersikaplah biasa saja. Tidak perlu formal.”“Mana bisa. Aku sudah biasa memanggil seperti itu,” telak Anita.“Sudah biasa? Waktu kamu kerja di tempatku, kamu sering memanggil diriku kau, kamu, sambil berteriak. Bahkan kamu mengumpat di belakangku. Apa kamu lupa de
Sesuai janjinya, Sagara menunggu Anita di depan kafe hingga jam kerjanya selesai. Mulai dari pukul setengah 6 sore, sampai sekarang pukul 9 kurang 15 menit, Sagara tetap setia menanti. Sebagai seorang pria yang merasa memiliki kehormatan dan martabat yang tinggi, janji yang sudah terlanjur keluar dari mulutnya, harus di tepatinya meski nyawa taruhannya. Entah dari mana munculnya moto itu. Namun yang pasti Sagara tidak akan melanggar janji atau ucapannya sendiri.Pukul 9 kurang 5 menit, tepat. Kafe Jasmine sudah terlihat siap-siap tutup setelah 2 orang wanita keluar dari dalam kafe. Pak karim yang tahu bahwa dia wanita itu merupakan pelanggan terakhir untuk hari ini, langsung bergerak membereskan meja-meja dan kursi yang ada di depan. Serta membawa masuk papan menu promosi.Sagara yang tahu bahwa sebentar lagi Anita akan pulang, langsung menyiapkan dirinya. Ia merapikan baju serta rambutnya yang sedikit berantakan. Tak lupa ia kembali menggun
Pada sebuah bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat komedi putar berada. Anita duduk sambil memangku kepala Sagara, yang masih tak sadarkan diri di atas pangkuannya. Sambil memangku, tangan lentik Anita juga membelai lembut rambut kepala Sagara. Dirinya membelai rambut itu dengan sangat berhati-hati. Seolah tak ingin Sagara sampai terbangun karena terganggu akan belaian tangannya.“Bukan kah, Bapak terlalu tampan untuk menjadi orang yang menyebalkan?” kata Anita sembari memandang dalam wajah Sagara.Senyumnya tercurah, tipis. Ada keraguan di balik senyum itu. Terlihat seperti senang. Namun juga terlihat seperti takut.Angin malam mendadak berembus menerpa lembut tubuh Anita. Angin malam yang dingin memaksa Anita untuk memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya. Mata yang telah sedikit memerah karena letih dengan aktivitas yang sudah ia lalui seharian, mendongak ke arah langit. Matanya mengedar, m
Pukul 8 tepat, Anita sudah berada di lobi gedung DA.crop. Sambutan hangat dari beberapa karyawan dan security yang ia kenal masih di dapatkannya. Membuat Anita begitu senang seakan ia tak pernah meninggalkan tempat ini.Anita menuju meja administrasi. Sebagai tamu, ia wajib melaporkan maksud kedatangannya. Penjaga meja administrasi yang kenal baik dengan Anita, melayani dengan baik dan ramah. Percakapan mereka seperti teman dekat. Dan Anita, masih di panggil Ibu oleh 3 orang Admin yang ada di meja itu.“Pak Braham baru saja datang, Bu. Sebentar biar saya hubungi dulu beliau,” kata salah satu Admin.Tak lama, Admin yang menelepon ruang pak Braham memberi arahan untuk Anita menuju ke ruangannya.“Pak Braham sudah menanti Ibu. Silakan menuju lantai 30,” ucap Admin itu ramah.Anita tersenyum dan mengangguk. “Oh iya, terima kasih,” ucapnya kemudian
Dalam bus kota yang melaju cepat membawanya menuju kafe Jasmine. Anita tak henti tersenyum memikirkan tentang tanda tangan kontrak yang tadi ia lakukan. Sampai detik ini, dirinya masih tak menduga, bahwa dirinya akan kembali ke meja asisten maneger. Rasanya begitu senang dan melegakan. Namun, di balik rasa senang yang besar itu. Perasaan cemas dan tak enak perlahan mulai menghampiri. Bagai malam yang menelan siang secara perlahan, rasa cemas itu menelan senyumnya perlahan juga.Masalah tanda tangan kontrak, memang sudah teratasi dengan baik. Namun, masih ada satu hal yang harus ia selesaikan terlebih dahulu sebelum ia bisa bernafas lega saat menduduki meja asisten manajer. Satu hal itu adalah bagaimana ia harus menghadapi pak Bena untuk mengatakan jika dirinya akan resign.Meski malam kemarin Sagara sudah mengatakan jika dirinya sudah berbicara langsung dengan pak Bena perihal hal ini. Namun, tetap saja Anita merasa ragu dan sungkan
Kabar kembalinya dirinya ke perusahaan DA.crop dengan jabatan asisten manajer tak di simpannya sendiri. Anita memberitahukan kabar menggembirakan itu pada Cecilia saat keduanya bertemu di kafe Melati, tempat biasa bagi keduanya nongkrong bareng. Cecilia yang mendengar kabar itu langsung mendelik tak percaya. “Serius?!" tanyanya dengan nada terkejut. Anita mengangguk cepat sembari memasang senyum lebar. “Kok bisa sih? Cerita detailnya dong...” bujuk Cecilia. Hal yang paling di suka adalah, saat mereka membuka topik obrolan. Maka pertanyaan dari lawan bicaranya yang membuat semangat bercerita lebih panjang dan lebih lengkap menjadi pemicunya. Anita tersenyum lepas sebelum memulai cerita. “Ya malam itu Pak Sagara kan minta ketemuan. Katanya mau ngobrolin sesuatu. Aku sih awalnya menolak. Karena aku pikir pasti mau maksa aku bua
Dalam bathup besar yang berisi air hangat untuk berendam, Sagara menelepon pak Braham. Ditemani segelas anggur putih, ia menanti pak Braham mengangkat teleponnya.“Iya halo, Pak?” sahut pak Braham saat menerima panggilan telepon Sagara.“Sibuk Pak?” tanya Sagara. Ia bertanya karena pak Braham cukup lama untuk menerima panggilan telepon darinya.“Selesai makan malam, Pak. Ini baru masuk kamar. Di rumah saya ada peraturan tidak boleh bawa handphone atau gadget saat makan. Jadi handphone saya tinggal di kamar.”“Oh.”“Ada apa ya, Pak?”Sagara meminum seteguk anggur putihnya sebelum mulai menerangkan maksud dari dirinya menelepon.“Saya mau mengingatkan untuk jadwal Bapak besok.”“Jadwal menemui Pak Achmad maksud Bapak?”&n