Anita memesan nasi campur dan es jeruk untuk menu makan siangnya di kantin kantor.
“Ini, Bu. Silakan,” ucap seorang pramusaji wanita yang usianya hampir sepantaran dengan Anita.
Anita yang tampak muram jadi kian muram karena panggilan pramusaji kantin itu padanya.
“Ina, bukannya sudah aku kasih tahu untuk tak memanggilku seperti itu? Aku belum cukup tua untuk kau panggil seperti itu!” protes Anita.
“Maaf kak,,, tapi jabatan kakak yang tinggi itu membuatku harus memanggil seperti itu,” kilah Ina sambil tersenyum lebar.
“Jabatan itu hanya di saat jam kerja, sekarang aku lagi istirahat. Lagi pula jabatanku–” Anita segera menghentikan ocehannya.
Hampir saja dirinya bicara soal jabatannya yang terancam di tempat yang lagi banyak orang. Kalau sampai ada yang mendengar, bisa gawat jadinya. Kalau orang yang mendengar merasa iba sih masih mending. Namun kalau sampai yang mendengar malah suka dengan terancamnya posisi yang di tempatinya. Bisa-bisa ia mendapat tepuk tangan keras dan siap-siap dipermalukan.
“Hei-hei, ada apa dengan jabatan kakak? Apa dapat promosi lagi?” tanya Ina memecah lamunan Anita.
“Ku harap begitu,” jawab Anita dengan wajah muram yang masih sama. Lalu pergi menuju meja yang sering ia tempati untuk makan siang.
Anita mengambil meja kosong di ujung kantin dekat tanaman Monstera untuk menghabiskan makan siangnya. Ia memang sering duduk di sana karena senang dengan suasana yang sedikit lebih sunyi.
Tak lama Anita duduk manis sambil melahap sesuap demi sesuap nasinya. Seorang pria tampan dengan tatapan tajam berjalan menghampiri mejanya. Semua penghuni kantin yang mengenali sosok pria tampan itu langsung memberi salam hormat.
Entah itu yang sedang mengantri makanan atau yang sudah duduk makan, mereka menyempatkan diri untuk memberi salam. Namun pria tampan itu tak menoleh atau membalas salam hormat mereka. Ia hanya terus berjalan dan berhenti di meja yang Anita tempati, lalu duduk tanpa permisi.
Pemandangan itu membuat para penghuni kantin yang sedang istirahat makan siang bertanya-tanya, mereka saling bergumam di meja mereka satu sama lain.
Anita yang fokus pada dilema di hatinya tak menoleh sedikit pun saat pria tampan itu duduk tepat di depannya. Bahkan ia tak tahu siapa pria yang berani duduk di depannya saat kondisi hatinya lagi gundah gulana.
“Hei, apa makananmu tak seenak itu sampai wajahmu kusut seperti itu?” ucap pria itu pada Anita.
“Bukan urusanmu. Kamu enggak akan–” jantung Anita berhenti berdetak saat matanya melirik sekilas sosok yang ada di depannya.
‘Anjirlah, mati aku,,, kenapa orang ini bisa ada di sini sih?!’ pekik Anita dalam hatinya merengek.
“Enggak akan, apa?”
“Eng-enggak kok Pak. Ss-sa-saya cu-cuma lagi melamun,” kilah Anita gagap. Keringat dinginnya mengucur di kening dan ubun-ubun.
“Melamun? Kau ini sangat tidak sopan sekali. Waktu makan kau buat melamun. Lagi pula apa yang kamu lamunkan? Lagi kangen sama pacarmu? Atau melamunkan hutangmu yang belum lunas?” tanya pria itu yang tak dan tak bukan adalah Sagara. CEO perusahaan DA.crop ini.
‘Melamunkan nasibku di tanganmu setan!’ umpat Anita dalam hati.
“Bu-bukan kok Pak. Ah, em,,, ini tumben kok Bapak makan di kantin? 2 tahun saya kerja di sini, baru kali ini saya lihat Bapak makan di kantin,” Anita berusaha merubah topik pembicaraan.
“Kenapa? Tak boleh?”
“Eng-enggak begitu Pak,,, boleh-boleh saja kok Pak. Saya cuma sedikit terkejut saja,” terang Anita sambil mempertahankan senyum manisnya yang semakin dipaksakan untuk tersenyum, semakin terlihat aneh dan menggelikan.
“Yah, aku memang baru sih makan di kantin. Biasanya pesan di luar kalau enggak begitu nanti ada yang mengantar ke ruanganku. Tapi hari ini ada hal menarik yang ingin aku lihat.”
“Hal menarik yang ingin bapak lihat? Hal apa itu Pak?”
Sagara tersenyum penuh makna sebelum akhirnya memberi jawaban, “Tentu saja dirimu. Lebih tepatnya wajah murammu.”
Deg! Untuk ke dua kalinya, jantung Anita serasa seperti berhenti. Rasa sungkannya pada atasan, membuatnya lupa, jika dirinya ada problem dengan orang berpangkat paling tinggi di depannya. Tentu saja Sagara kemari untuk melihat wajah frustrasinya, sekaligus untuk mengejek dirinya. Kalau tidak, untuk apa lagi Sagara sampai repot-repot makan ke kantin kalau tak untuk melihat wajah putus asanya.
Melihat Anita yang membeku, membuat Sagara tak mampu menahan tawanya. Beberapa orang kantor yang ada di kantin sampai melihat ke arah meja Sagara dan Anita berada. Ada yang bertanya-tanya penyebab Sagara tertawa. Ada pula yang merasa iri dengan Anita. Karena bisa makan bersama dengan seorang CEO tampan di perusahaan ini. Terlebih, jika di lihat dari jauh, keduanya tampak bersenang-senang sampai-sampai Sagara yang terkenal cuek plus dingin jadi tertawa.
“Apa bapak berniat mempermainkan saya?” suara lirih Anita menggema di telinga Sagara. Sehingga menghentikan tawanya.
“Tentu tidak. Apa kau pikir aku orang yang seperti itu? Malah sebaliknya.”
“Sebaliknya?” celetuk Anita tidak mengerti.
“Kau pasti tak bisa mengingat kesalahanmu bukan?”
Anita diam.
“Kalau begitu cepat selesaikan makan siangmu itu, lalu ikut ke ruanganku.”
***
Saat Sagara selesai dengan makan siangnya lalu kembali ke ruangannya. Anita masih berdiam di meja sambil menahan rasa sakit dan kesedihan hatinya. Ia merasa jika Bos besarnya itu telah mempermainkan nasib yang sudah di raihnya dengan susah payah.
Beberapa orang kantor yang dekat dengan Anita mencoba mengorek informasi, bertanya soal tawa Bos besar mereka dan mengapa keduanya bisa makan di meja yang sama. Namun Anita tak memberi jawaban apa-apa. Bahkan saat teman-temannya baru duduk dan baru memberi beberapa pertanyaan beruntun, Anita langsung bangkit tanpa berkata-kata.
Banyak di antara mereka yang merasa kecewa atas sikap Anita. Namun Anita seakan tidak peduli dan terus berlalu meninggalkan kantin.
“Apa seperti itu sikap yang mesti ia tunjukkan? Sebagai seorang CEO, bukankah sikapnya sudah seperti anak TK? Mempermainkan perasaan orang sesuka hatinya! Apa karena dia seorang CEO, jadi seenaknya menghakimi? Lagi pula kesalahan apa yang sudah aku perbuat sampai dia berani mengancam posisiku? Tak bisa di ampuni. Akan aku buat dia menyesal jika sampai penyebabnya bukan sesuatu yang serius!” gerutu Anita sepanjang kakinya melangkah menuju ruang CEO di lantai paling atas. Yang ruangannya berada di paling ujung.
Di depan pintu ruangan Sagara, Anita mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum akhirnya mengetuk pintu.
Tok tok tok!
“Masuk!”
Anita membuka pintu dan masuk. Dalam ruangan yang begitu nyaman dan luas, terlihat Sagara sedang duduk di kursinya sambil menatap ke arah Anita tajam. Tatapannya sangat tajam sampai-sampai membuat Anita merasakan tekanan batin dan merinding pada lututnya.
“Duduklah,” perintah Sagara dengan nada datar namun terasa dingin.
Nada bicaranya tak sama seperti waktu di kantin tadi. Yang masih terdengar begitu bebas dan santai seakan sedang berbicara dengan teman. Kali ini nada bicaranya sudah seperti seekor naga yang sedang berbicara dengan seekor kelinci. Begitu menakutkan dan dingin. Memang seperti inilah nada bicara sesungguhnya Sagara pada bawahannya. Bahkan pada pak Braham pun Sagara sanggup berbicara dingin seperti ini.
Anita berjalan menuju kursi yang berada di depan Sagara lalu duduk. Kepalanya sedikit menunduk. Wajah Sagara yang tampak serius membuat nyali Anita yang sebelumnya gagah, berubah menjadi layu. Bahkan firasatnya mengatakan, agar tidak menunjukkan keberanian di depannya.
“Apa kau tahu kenapa aku sampai memanggilmu kemari?” tanya Sagara.
Anita menggeleng pelan, “Tidak Pak.”
“Apa kau benar-benar tak mampu mengingatnya?”
“Maaf Pak. Saya benar-benar tak mengerti dan tak mampu mengingat apa-apa.”
Sagara lalu membuka laptopnya dan menunjukkan sebuah video berdurasi sekitar 10 menit pada Anita.
“Lihatlah, ini video saat aku mengadakan rapat tentang proyek DC di kafe Jasmine beberapa hari lalu.”
Anita melihat video itu dari awal sampai akhir. Seiring video itu berputar, mata Anita mendelik dan keringatnya mengucur deras.
“I-ini,,,” gagap Anita.
“Benar. Wanita yang ada di video itu adalah kau! Sang pengacau,” tandas Sagara.
Anita membeku, ia begitu terkejut sampai tak mampu bergerak atau berkata apa-apa. Kini ia tahu kesalahan yang ia perbuat. Pikirnya, menurunkan jabatannya saja tak akan mampu menghapus kesalahan yang ia perbuat. Jika harus mendapatkan pemecatan. Ia sudah siap untuk menerimanya sebagai konsekuensi atas kesalahannya.
“Sa-saya minta maaf, Pak. Saya benar-benar sangat menyesal atas perbuatan saya. Sa–”
“Maaf katamu? Apa kau tahu? Bagaimana malunya diriku waktu itu? Apa dengan maafmu itu saja, bisa memulihkan nama baikku? Apa dengan maafmu itu saja, bisa menghapus rasa maluku?” nada bicara Sagara begitu datar dan tak meninggi sama sekali. Namun aura yang terpancar melalui suaranya itu, mampu membuat semua yang mendengar terkencing-kencing. Tak terkecuali dedemit.
“Maaf Pak. Saya benar-benar menyesal. Apa pun hukuman yang akan bapak berikan akan saya terima. Bapak bisa memecat saya. Saya mengerti, ini merupakan kesalahan yang besar yang pernah saya buat.”
“Pecat? Apa kau mau melarikan diri?”
Anita tercekat.
“Lalu? Saya harus bagaimana, Pak?” air mata Anita tidak terbendung. Wajahnya yang semakin tertunduk itu kini pasrah di basahi oleh air matanya sendiri.
“Jalan dari lantai atas sampai lantai bawah. Tanpa pakaian. Mungkin itu sebanding dengan rasa malu yang aku alami waktu itu.”
Sontak saja Anita langsung mengangkat kepalanya. Matanya mendelik tak percaya, dengan apa yang baru di dengarnya.
“Tu-tunggu pak. A-apa tak–”
“Kenapa? Kau menolak? Kau pikir itu berlebihan dan tak sebanding? Kalau begitu, begini saja. Mulai besok. Kau akan jadi OB.”
“OB? Maksud Bapak?”
“Apa kau tuli? Mulai besok, kau sudah tak jadi asisten Pak Braham lagi. Mulai besok, kau akan melayaniku sebagai Office Girl.”
Wajah Anita yang sebelumnya sangat depresi usai mendengar permintaan Sagara yang menyuruhnya berkeliling kantor dengan bertelanjang dada. Kini perlahan membaik dan mulai menunjukkan wajah penuh syukur. Pikirnya, penurunan jabatan ini tak sebanding dengan kesalahan yang ia buat. Namun dari pada harus menebus kesalahannya dengan berkeliling tanpa pakaian. Lebih baik menjadi office girl pribadi Sagara. Toh tak ada salahnya bekerja seperti itu.
Anita pun segera mengiyakan permintaan Sagara.
“Terima kasih pak. Terima kasih atas kebaikan Bapak. Saya janji, saya tak akan melakukan kesalahan lagi. Saya janji akan melakukan yang terbaik untuk perusahaan ini.”
Mendengar pernyataan syukur Anita yang menggebu-gebu membuat Sagara merasa geli dan tertawa. Bahkan sampai menitikkan air mata.
“Ah, kamu ini sangat menghibur sekali. Tapi yah, semoga ucapanmu itu bukan hanya bualan.”
“Te-tentu saja pak. Saya bersungguh-sungguh,” ucap Anita yang entah kenapa kini merasa sedikit ragu.
Pasalnya, tawa Sagara barusan membuat ia merasa, jika keputusan yang ia ambil, terdengar salah. Bahkan berjalan mengelilingi kantor dengan telanjang terdengar lebih baik ketimbang menjadi office girl pribadinya.
Namun sebisa mungkin Anita membuang jauh-jauh rasa yang mengganggu itu. Dan menerima pekerjaan barunya sebagai seorang office girl.
“A-apa?! Jadi dia CEO di perusahaan tempatmu bekerja?” pekik Cecilia begitu terkejut saat mendengar cerita Anita. Wanita cantik dengan tubuh ideal dan rambut panjang sepinggang yang selalu memakai sebuah bando berwarna merah itu sudah merasakan firasat buruk saat Anita mengoceh di depan 3 pria berjas kemarin. Apalagi saat melihat wajah kesal pria berwajah dingin yang sekarang ia ketahui bernama Sagara itu.Anita tersenyum kecut melihat reaksi Cecilia setelah dirinya bercerita mengenai dirinya yang dipindah tugaskan dari asisten manajer menjadi OB pribadi.“Sungguh sial nasibku, bukan? Tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Ya, walaupun mungkin besok menjadi hari yang berat, tapi paling tidak aku masih ada pekerjaan untuk memenuhi kehidupanku,” ujar Anita menghibur diri
Pukul 7:55 pagi. Dari arah pintu masuk kantor, Anita berlari sambil memeluk sebuah tas seharga ninja 250cc. Beberapa orang yang juga hendak masuk ke kantor, di serobotnya.“Maaf,,, permisi, permisi,,,” ucapnya saat menyerobot beberapa karyawan yang berjalan santai di depannya.Beberapa pegawai yang di serobot secara tidak sopan menjadi geram. Namun saat mereka tahu orang yang menyerobot adalah Anita, mereka malah cepat-cepat memberi jalan sekaligus memberi salam.“Pagi, Bu,,,” ucap beberapa dari mereka dengan penuh hormat.Tak ada yang tidak menyapa Anita. Satpam yang berjaga pun juga melepas senyumnya untuk Anita.
Anita sedang berdiri di depan meja pantri sambil melihat satu persatu jenis kopi hitam yang di belinya kemarin sepulang kerja. Ada sekitar 7 merek kopi yang ia beli. Ia melihat kopi-kopi itu dengan saksama, sambil memikirkan kopi mana yang akan ia buat terlebih dahulu.“Waduh mau jualan nih Bu ceritanya?” sapa Jaka menghampiri Anita sambil cengengesan.Jaka baru saja menyelesaikan tugasnya mengisi galon air di lantai 25 sampai 29. Dan kini sedang istirahat sejenak untuk mengatur kembali nafasnya.“Bisa di bilang seperti itu,” jawab Anita tanpa melirik Jaka yang berdiri disampingnya.Jaka beranjak menjauh dan duduk kembali di kursi sofa yang
Anita mulai menyajikan satu demi satu kopi yang iya beli. Mulai dari Moccacino,“Silakan Pak,,,” dengan senyum lebar.Lalu Cappuccino,“Selamat menikmati, Pak,,,” senyum merekah.Lanjut ke kopi hitam dengan kombinasi gula aren,“Semoga Bapak suka,” masih dengan senyum.Lalu kopi Gajah,“,,,,” hanya senyumDan yang terakhir kopi Ekspresso.“Se-la-mat me-nik-ma-ti Pak,” dengan senyum lebar yang di kombinasikan dengan wajah mengerut menahan amarah.Dan dari semua jenis kopi yang menghabiskan gaji hariannya menjadi OB. Tak ada satu kopi pun yang di teguk habis oleh Sagara. Semua cuma di minum seteguk-seteguk.Jaka, Bu Ida dan Lendra yang sedang di pantri merasakan aura mematikan dari arah Anita
Dalam kamar yang sepi dan sendiri, Anita duduk bersandar pada tembok kamarnya. Laptop yang baru ia beli 3 bulan lalu, yang tergeletak di antara rak buku dan gelas pensil, dipandangnya muram.“Haahh.... Padahal baru saja kau aku beli dengan susah payah. Sampai-sampai aku tidak beli stok jajan bulanan hanya agar aku bisa segera membelimu. Tapi kini kau malah hanya tergeletak di sana tanpa melakukan apa-apa,” kata Anita merasa kecewa.Masih dalam ketermenungan, Anita kembali berpikir tentang semua usaha dan pencapaian yang ia lalui selama bekerja di DA.crop. Semua jerih payah dan pengorbanan yang ia lakukan, kini terasa bagai mimpi yang hanya lewat dalam pikirannya. Semua kenyataan yang beberapa waktu lalu ia rasakan begitu nyata. Kini terasa begitu semu dan menyedihkan.&
Pagi hari, di kantor. Sagara sedang memeriksa beberapa dokumen penting di atas mejanya yang kemarin sempat tertunda. Ia membaca dokumen-dokumen itu dengan teliti dan penuh konsentrasi. Namun konsentrasinya menjadi pecah saat ia mulai menyadari bahwa sudah lebih dari 10 menit Anita berdiri sambil memandanginya.“Ada apa kau melihatku seperti itu terus? Aku tahu aku sangat tampan. Tapi bukan berarti kamu boleh melihatku selama hampir 15 menit tanpa berpaling,” seloroh Sagara yang seketika membuyarkan tatapan kasihan Anita padanya.Sejak pagi Anita tak henti memikirkan kondisi hati Sagara. Anita yang pernah merasakan putus cinta tentu merasa prihatin dengan Sagara. Namun rasa prihatinnya seketika melebur saat Sagara melontarkan kata-kata yang mampu membuat urat kesal Anita muncul ke permukaan kulit kepala
Jam istirahat kerja masih tersisa 15 menit. Anita pun masih duduk mengobrol lepas dengan pak Braham. Namun di tengah obrolan yang terdengar bagai obrolan anak dan ayah, sebuah panggilan telepon masuk di handphone Pak Braham dan menghentikan obrolan keduanya.Pak Braham segera mengangkat teleponnya.Wajah Pak Braham terlihat serius dan tegang saat mendengar pembicaraan orang di balik telepon itu. Sesekali, ia melirik ke arah Anita. Seolah-olah, yang sedang di bicarakan oleh penelepon itu berkaitan dengannya.“Ah, iya Pak. Baik, iya baik, Pak,”Anita memandang wajah Pak Braham selidik. Ia menebak-nebak dalam hati, siapa orang yang telah menelepon Pak Braham sam
Belajar dari pengalamannya, untuk hari ini, Anita sudah membuat 50 gelas kopi sekaligus. Ia mengantar kopi sebanyak itu menggunakan meja troli seperti yang ada di restoran-restoran.Awalnya ia merasa kesulitan saat membawa kopi sebanyak itu. Namun Anita tetap melakukan hal berlebihan tersebut sebagai bentuk protesnya atas sikap Sagara yang kian menjadi.“Hoi! Kau mau membunuhku? Untuk apa kau membawa kopi sebanyak ini? Apa kau lupa kalau aku punya mag? Aku bisa mati karena kopi sebanyak ini!” protes Sagara saat mejanya sudah dipenuhi 20 gelas kopi, sisanya masih ada di meja troli.“Memang lebih baik Bapak mati saja! Aku sudah lelah membuatkan kopi untuk Bapak. Sudah hampir 500 gelas kopi dalam 2 minggu ini, dan Bapak masih t