"Silakan, Tuan," ucap sang gadis ajudan menyerahkan selembar map berisikan dokumen-dokumen yang Hakim tertinggi minta.
"Kau sudah mengecek semuanya?" tanyanya hati-hati. Ia tentu tidak ingin rencananya gagal. Karena ia sudah berjalan sejauh ini, ia tidak bisa kembali memulai segalanya lagi dari awal. Terlalu melelahkan!Gadis itu mengangguk mantap. "Sudah saya cek semuanya, saya pastikan tidak ada seorang pun yang akan mempertanyakan keputusan yang akan Tuan ambil.""Kerja bagus. Lalu, bagaimana dengan permintaanku yang satunya?" Gadis itu kembali melangkah maju. Menyerahkan sebuah map berwarna hitam pada atasannya. "Target sudah ditemukan, Tuan. Tepat seperti dugaan kita ketika para anak-anak bergerak, target memang berada di sana. Sebuah gubuk kecil yaTerima kasih sudah mendukung SoFG 🤗
Cuaca yang hangat dengan semilir angin yang membelai wajah menawannya. Matanya berkilau melihat indahnya sajian pemandangan yang alam berikan pada mereka. Rambutnya yang merah berkilau, berkibar seiring dengan melodi keindahan debar misterius yang datang menghampiri Helio perlahan. Segalanya benar-benar sempurna dengan bibir melengkung ke atas, menandakan kebahagiaan tengah tumbuh dan hidup dalam hatinya. "Kau suka?" tanya Helio masih menatap Anastazja yang terpukau dengan pemandangan dengan dominasi hijau membentang di hadapan mereka. "Kau gila? Ini menakjubkan!" ucapnya dengan nada penuh kekaguman. "Syukurlah," ucap Helio tersenyum. Dia tidak mengerti mana yang membuatnya lebih bahagia. Apakah itu hamparan bunga-bunga yang cantik di ladang sana lengk
"Hei, aku sudah selesai." Helio berjalan keluar pintu kamar mandi sambil menggesekkan handuknya di atas rambut. Namun, ia melihat Anastazja hanya diam saja duduk manis di tempatnya seraya menghela napas panjang. Gadis itu bahkan tidak menyadari keberadaan Helio yang berjalan makin dekat. Sampai akhirnya, Helio menepuk pundaknya pelan, membuat Anastazja terkejut sampai setengah melompat. "Kau baik-baik saja?" tanya Helio menaikkan salah satu alisnya. "Ah, ya, aku baik-baik saja. Tidak masalah," jawab Anastazja gugup. "Kau yakin?" "Ya, tentu saja ... ya, aku baik-baik saja." Anastazja menatap Helio tersenyum. Kini lelaki dengan rambut kuning keemasan itu sudah bisa menangkap ras
"Jadi, sepertinya ada yang harus kita bicarakan dengan serius." Cleon memandangi pintu lemarinya yang terbuka sedikit demi sedikit. Pelayan yang sebelumnya memaksa masuk, keluar dengan mata sembab dari sana. Setelah ia menutup pintu lemari, ia kembali menghadap Cleon dan Vahmir, lalu membuka maskernya perlahan. "A—sialan! Apa yang kau lakukan di sini?" Bukan hanya Cleon, Vahmir pun terkejut melihat wajah gadis yang ternyata itu adalah Aldephie. "Dengar kawan-kawan, a-aku tidak bisa pergi meninggalkan kalian begitu saja ...." "Ough! Sial! Al, kau tahu apa yang kau lakukan?" Cleon menepuk keningnya. Rencana yang seharuanya berjalan lancar, kini semua kembali dimulai dari awal. Meski begitu, Cleon t
"Kau akan keluar hari ini?" tanya Anastazja melihat Helio sibuk dengan perlengkapannya memancing. "Ya, aku sedikit bosan dengan daun-daunan hijau atau apa pun itu. Aku mulai merindukan ikan bakar, kau tahu itu kan?" ucapnya riang. Sambil memasukkan beberapa kail memeriksa umpan-umpan yang akan digunakannya nanti, Helio bersenandung bahagia. Membuat Anastazja juga turut merasakan kebahagiaannya tersebut. "Kalau begitu kau harus semangat! Aku akan membersihkan pondok kita setelah kegiatan kita seminggu kemarin ... mungkin kalau ada waktu aku akan menyusulmu nanti," ucapnya sambil memperhatikan sekeliling pondok yang mulai berantakan. Memang seminggu yang lalu hanya mereka gunakan untuk bersantai, saling mengenal, dan berjalan-jalan di daerah sekitar. Mer
"Terima kasih atas makan malam yang sangat lezat, An," ucap Helio membereskan mangkuk dan piring yang ia gunakan. Sementara Anastazja hanya terdiam sambil mengaduk-aduk supnya dengan sendok di tangannya. Seolah dunia menjauh dari matanya, dari pikirannya. Entah apa yang kini berkuasa hingga merajalela di dalam sana. Anastazja bagai tubuh tanpa nyawa, kecuali pergelangan tangannya yang masih sibuk. "Halo ...." Helio melambai-lambaikan kedua telapak tangannya di depan wajah Anastazja. Namun, lagi-lagi gadis itu hanya menghela napas panjang. Seolah Helio transparan. 'Mungkin ada hal yang sedang dipikirkannya,' batin Helio mengangkut piring dan mangkuknya. Helio tahu ini sudah menjadi perjanjian mereka, tetapi menyuruh gadis yang baru dikenalnya beberapa hari untuk mencucikan piring bekas makannya? Hell, nope! Tidak a
Helio terjatuh dari atas tempat tidur dengan bunyi debum yang sangat keras. Setelah ia bisa membuka mata dengan sempurna, ia bisa melihat sosok itu berdiri tegak di depannya sambil membawa tebah berbahan rotan yang digunakan olehnya untuk mendorong Helio hingga jatuh. "Argh! Apa yang kau lakukan?" Helio mengelus bagian belakang kepalanya yang di tempeleng dengan pelan oleh Sean. "Aku yang bertanya padamu, bocah tengik! Kenapa kau belum bangun, hah?" Sean berbicara dengan mata yang membola besar. Seolah bola mata itu ingin keluar. "Aku kan tidur larut semalam. Kau terlalu banyak memberiku pekerjaan rumah!" Sean segera menyabetkan rotan itu ke lantai. Sebuah peringatan tanda bahaya bila Helio masih bersantai-santai. Itu sebabnya dia kabur keluar kamar. Tawanya meledak m
"Sudah kubilang bocah itu pasti senang," ucap Ramirez melompat masuk melalui jendela ruang kerja Sean. Sean tidak menggubris Ramirez dan masih setia menatap pintu yang tertutup rapat di hadapannya. "Ohooo ... rupanya master Sean Alastor sangat terharu sampai-sampai tidak bisa mengatakan sepatah kata pun bukaaan? Iya kaaann?" Ramirez menempelkan telunjuknya ke lengan Sean. Membuat dorongan kecil hingga tubuh Sean bergoyang-goyang. Sean yang merasa kesal segera menyingkir dari dekat Ramirez. "Ck! Jangan berpikiran bodoh! Sepertinya hidup terlalu lama membuat kinerja otakmu menurun drastis!" umpat Sean kesal. Mendengar umpatan Sean, Ramirez tidak lagi mengganggu Sean. Pria itu berjalan dan menjatuhkan dirinya di sofa panjang. Matanya seolah menatap jauh p
"Boleh aku duduk di sini?" Gadis itu datang. Dengan rambut merah gelap dan mata hitam pekatnya, gadis itu telah memperdaya Helio kecil sejak perjumpaan pertama mereka. Helio menatap wajah gadis yang samar karena sinar matahari yang menyorot tepat ke arah matanya. Meski ia mengerjap ratusan kali, ia tetap tidak bisa melihat wajah itu. Ia hanya mengangguk, lalu kembali menatap pelabuhan yang mulai ramai tanpa berniat merubah posisinya sedikit pun. Helio bisa merasakan gadis itu sedang melakukan sesuatu. "Apa yang kau lakukan?" "Hm ... hidup." "Hidup?" Gadis itu mengangguk. "Aku ingin hidup." "Bukankah kau